Counter
Liberalisme Oleh :
Adnin Armas Dunia, kata
Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam istilah Cox, ini
disebut disenchantment of nature, berasal dari terjemahan die Entzauberung der
Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman. Dalam
pandangannya, sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan dari
tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan supernatural yang menjaga
dunia ini.
Disebabkan kekuatan ghaib itulah, maka bagi tokoh-tokoh agama
konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Padahal,
pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi syarat penting bagi
usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi alam
seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Jika
dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa supernatural, maka sains tidak
akan maju dan berkembang.
Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna
ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan
tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi'i (nyata) bukanlah suatu entitas
suci (divine entity).
Bukan hanya terhadap alam sebagai salah dimensi
bagian dunia, sekularisasi juga aspek kehidupan dunia lainnya terutama dalam
politik. Konsep sekularisasi dalam politik diistilahkan dengan Desacralization
of politics, yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral. Jadi, unsur-unsur
ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu juga, peran
ajaran agama terhadap institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat
untuk melakukan perubahan politik dan sosial yang juga akan membenarkan
munculnya proses sejarah.
Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan
agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat
sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas 'kuasa suci'. (Dari gagasan
ini bisa dipahami, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam
dalam kehidupan politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan
politik, sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran
nilai-nilai agama (deconsecration of values). Mereka akan menyatakan, bahwa
kebenaran adalah relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia
sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang
dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang
berhak memaksakan sistem nilainya ke atas orang lain.
Manusia sekular
mempercayai bahwa 'wahyu langit' bisa difahami karena terjadi dalam sejarah,
yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua
sistem nilai, terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan
tertentu. Sekularisasi meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk
membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup
terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan
serta proaktif dalam proses evolusi.
Dengan konsep itu, manusia sekuler
bisa tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak
konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif.
Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat" dan bukan yang
dikonsepkan dalam al-Quran.
Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox,
mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an.
Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari
pemikiran Cox. Karyanya 'Beyond Belief' memiliki banyak kesejajaran dengan apa
yang telah diungkapkan Cox. Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam
bidang politik dengan gagasan 'civil religion'.
Konsep sekularisasi yang
dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox.
Bellah menjustifikasi pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan
Problem-Problem Modernisasi.
Nurcholish Madjid dan
Sekularisasi
Nurcholish Madjid, pada tanggal 3 Januari 1970 mempopulerkan
gagasan sekularisasi dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan
Persami, di Menteng Raya 58, Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah
berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki
Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para
propagandis sekularisasi di Indonesia.
Gagasan sekularisasi Nurcholish
Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh pembaru di Indonesia itu mengadopsi
pemikiran Harvey Cox, Robert N. Bellah dan Talcott Parsons, yang mengelaborasi
gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox, Bellah dan
Parsons dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dalam
ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara
konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.
Menurut
Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna
suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia
berpendapat:
“Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa
Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu,
sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini.
Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang
berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata
waktu, maka mundus adalah kata ruang".
Setelah mengungkap etimologi kata
sekular, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel
dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian
menjelaskan:
"Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah
sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam
dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata
"duniawi" itu diganti dengan kata "sekular", sehingga dikatakan, manusia adalah
makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan
juga secara kenyataan."
Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish,
tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia
adalah makhluk sekular. Ia menjelaskan lagi:
"Dalam permulaan
pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang
dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina.
Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran
Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam
yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang
berlaku umum di dunia Barat waktu itu."
Nurcholish, mengutip pendapat
Harvey Cox ketika membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Nurcholish
menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara "sekularisasi" dan
"sekularisme" semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara
rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi
tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode
guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan
pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode
itu.
Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu
proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah
terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme
adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu
diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.
Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat
Islam.
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari
justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan
sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung
negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa
manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini
dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam
dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis
kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi
besar-besaran pada diri seorang Animis.
Manusia ditunjuk sebagai khalifah
Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio.
Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini.
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi.
Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep "Hari Dunia"
dan "Hari Agama". Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur
hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah
hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang
kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur
perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish
melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga
menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-
Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran
duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut
norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/ spiritual keagamaan bukanlah hasil
kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah
duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai
bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang
erat.
Sebelum Nurcholish menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam
ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar
sekularisasi ada di dalam ajaran- ajaran Bible.* Adnin Armas
(Hidayatullah)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar