A. Definisi Al-Walaa’
-
[الْوَلْيُ] : artinya dekat. [تَبَاعَدَ بَعْدَ الْوَلِيِ]
artinya : “Saling menjauh setelah berdekatan”. [كُلْ مَا يَلِيْكَ] artinya : “Makanlah apa yang
dekat denganmu”.
-
[الْوَلِيُّ] artinya wali, lawan kata dari [الْعَدُوُّ] = musuh. Setiap orang yang
menguasai (berkuasa atas) urusan seseorang, maka dia adalah “wali” dari orang
tersebut.
-
[الْمَوْلَى] artinya : Orang yang
memerdekakan, orang yang dimerdekakan, keponakan, pembela, tetangga, atau
sekutu.
-
[الْمُوَالَةُ], lawan kata dari [الْمُعَادَةُ], artinya : Permusuhan.
-
[الْوِلَايَةُ] artinya : Kekuasaan, atau
-
[الْوَلَايَةُ] artinya : Pembelaan.
Ibnu Faaris rahimahullah
berkata :
الواو
واللام والياء أصل صحيح يدل على قرب، من ذلك : الوليّ القرب. يقال : تباعد بعد
ولي، أي : قرب.....والباب كلّه راجع إلى القرب
“Huruf wawu,
laam, dan yaa adalah huruf asal yang shahih yang menunjukkan makna dekat. Dari
kata tersebut lahir kata : al-waliy, yang bermakna al-qarb
(dekat). Dikatakan : tabaa’ada ba’da waliy (saling menjauh setelah berdekatan);
waliy di situ maknanya dekat. …. Dan seluruh bab ini semuanya akan
kembali pada makna dekat” [Mu’jamu Maqaayisil-Lughah, 6/141-142].
Secara Istilah
:
الْوَلَايَةُ
(al-walaayah) atau الْمُوَالَةُ (al-muwaalah) adalah sesuatu yang
merupakan konsekuensi dari cinta. Dan walaa’
atau walaayah atau muwaalah itu sendiri artinya :
“(memberikan) pembelaan, pemuliaan, penghormatan, dan selalu ingin setia
bersama dengan yang dicintainya baik secara lahir maupun batin”.[2] Jadi al-walaa’
bukan sekedar cinta dalam hati, tetapi mengandung pengertian membela,
memuliakan, mengagungkan, dan setia kepada yang dicintai, lahir maupun batin.
Oleh karena itu, al-walaa’ dalam
terminologi syari’at berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang
dicintai dan diridlai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan
orang. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan
membenci apa yang dibenci Allah, ia condong melakukan semua itu dengan penuh komitmen.
Kata al-muwaalah
yang bermakna seperti penjelasan di atas terdapat dalam Al-Qur’an di antaranya
:
اللَّهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ
الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya” [QS.
Al-Baqarah : 257].
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا
لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ
اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 71].
B. Definsi Al-Baraa’
Secara Bahasa :
-
[بَرِئَ مِنْهُ] artinya : Terbebas darinya.
-
[بَرِئَ مِنَ الدَّيْنِ]
artinya : Terbebas dari hutang.
-
[بَرِئَ مِنَ الْعَيْبِ]
artinya : terbebas dari cela; dan
-
[بَرِئَ مِنَ الْمَرَضِ بُرْءاًَ]
artinya : Terbebas dari sakit (sembuh). Menurut orang Hijaz, [بَرَئَ مِنَ الْمَرَضِ]
artinya : Terbebas dari sakit.
-
[بَرَأَ شَرِيْكَهُ] artinya : Memisahkan diri dari kawannya.
-
[بَرَأَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ]
artinya : Seorang laki-laki memisahkan diri (menceraikan) istrinya.
-
[الْبَرَاءُ] artinya : Malam yang paling
pertama dari sebuah bulan.
Menurut Istilah
:
Baraa’ adalah lawan kata dari Walaa’. Al-Bara’ah artinya Al-’Adaawah (الْعَدَاوَةُ),
yaitu (memberikan) permusuhan dan penjauhan diri. Ibnu Taimiyyah [3] menjelaskan bahwa Al-Walaayah
lawan kata Al-’Adaawah. Adapun makna asal dari Al-Walaayah adalah cinta dan pendekatan diri. Adapun makna asal dari Al-‘Adaawah adalah benci dan menjauhkan diri. Oleh karena itu, al-baraa’ menurut terminologi syari’at
berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai
Allah dari perkataan, perbuatan, keyakinan, kepercayaan, dan orang. Jadi, ciri
utama al-baraa’ adalah membenci apa
yang dibenci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Pengertian
Umum Al-Walaa’ wal-Baraa’
Al-Walaa’
wal-Baraa’ adalah penyesuaian seorang hamba
terhadap apa yang dicintai dan diridlai Allah serta apa yang dibenci dan
dimurkai Allah; dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang dengan
penuh komitmen.
Dalam perkataan, maka yang dicintai
Allah adalah semua perkataan yang mengandung kebaikan seperti dzikir yang
sesuai sunnah. Adapun perkataan yang dibenci perkataan yang mengandung
kemaksiatan seperti celaan, makian, dan yang sejenisnya.
Dalam perbuatan, maka yang dicintai
Allah adalah semua amal perbuatan yang mengandung ketaatan seperti shalat,
zakat, puasa, haji, dan yang sejenisnya. Adapun perbuatan yang dibenci adalah
semua amal perbuatan yang mengandung kemaksiatan seperti mencuri, zina, minum
khamr, dan yang semisalnya.
Dalam hal kepercayaan, maka yang
dicintai Allah adalah keimanan dan ketauhidan; sedangkan kekufuran dan
kesyirikan adalah dibenci oleh Allah.
Dalam hal orang, maka orang yang
beriman, muwahhid, ahli ibadah, dan
ahli ilmu adalah dicintai Allah; sedangkan orang kafir, musyrik, munafiq, dan
fasiq dibenci Allah.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إن أوثق عرى الإيمان أن تحب في الله
وتبغض في الله
”Sesungguhnya ikatan iman yang paling kuat adalah engkau
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/286 dan Ibnu Abi Syaibah
11/41 & 13/229. Berkata Al-Arna’uth : Hasan bi-syawahidihi].
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع
لله فقد استكمل الإيمان
”Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena
Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah; sungguh telah
sempurna imannya” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 4681, At-Tirmidziy no. 2521, Ahmad 3/438, dan yang lainnya;
shahih].
Ketauhidan
Mengkonsekuensikan Adanya Al-Walaa’ wal-Baraa’
Allah ta’ala berfirman
:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ (56)
”Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang” [QS. Al-Maaidah : 55-56].
Asy-Syaikh
’Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata :
أخبر تعالى مَن يجب ويتعين توليه، وذكر
فائدة ذلك ومصلحته فقال: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ } فولاية
الله تدرك بالإيمان والتقوى. فكل من كان مؤمنا تقيا كان لله وليا، ومن كان وليا
لله فهو ولي لرسوله، ومن تولى الله ورسوله كان تمام ذلك تولي من تولاه، وهم
المؤمنون الذين قاموا بالإيمان ظاهرا وباطنا، وأخلصوا للمعبود، ...... فأداة الحصر
في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } تدل
على أنه يجب قصر الولاية على المذكورين، والتبري من ولاية غيرهم.
”Allah ta’ala telah
mengkhabarkan siapa saja yang wajib dan ditentukan sebagai penolong, dan
menyebutkan pula faedah dan kemaslahatannya. Allah berfirman : ’Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya’. Maka, pertolongan Allah itu
didapatkan dengan keimanan dan ketaqwaan. Setiap orang yang beriman lagi
bertaqwa, maka ia telah menjadikan Allah sebagai walinya (penolongnya). Dan
barangsiapa menjadikan Allah sebagai walinya, maka ia menjadikan Rasul-Nya sebagai
walinya juga. Maka sebagai penyempurna hal itu, ia akan menjadikan wali
orang-orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai walinya juga. Mereka
itu adalah orang-orang yang beriman yang menampakkan imannya secara dhahir dan
bathin, ikhlash beribadah kepada-Nya…. Dan adatul-hashr
(kata yang bermakna membatasi, yaitu innamaa) dalam firman-Nya : ‘Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman’; menunjukkan wajibnya membatasi pihak yang dijadikan
sebagai waliy hanya yang disebutkan pada ayat tersebut, dan bara’
(berlepas diri) untuk menjadikan waliy dari selain mereka” [Tafsiir
As-Sa’diy, 1/236].
Allah ta’ala berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
”Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Al-Imaam
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يعني تعالى ذكره بقوله:"ومن يتولهم
منكم فإنه منهم"، ومن يتولَّ اليهود والنصارى دون المؤمنين، فإنه منهم. يقول:
فإن من تولاهم ونصرَهم على المؤمنين، فهو من أهل دينهم وملتهم، فإنه لا يتولى
متولً أحدًا إلا وهو به وبدينه وما هو عليه راضٍ. وإذا رضيه ورضي دينَه، فقد عادى
ما خالفه وسَخِطه، وصار حكُمه حُكمَه، ولذلك حَكَم مَنْ حكم من أهل العلم لنصارى
بني تغلب في ذبائحهم ونكاح نسائهم وغير ذلك من أمورهم، بأحكام نصَارَى بني
إسرائيل، لموالاتهم إياهم، ورضاهم بملتهم، ونصرتهم لهم عليها، وإن كانت أنسابهم
لأنسابهم مخالفة، وأصل دينهم لأصل دينهم مفارقًا.
”Tentang
firman-Nya ta’ala : ’ barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka’;
maknanya yaitu barangsiapa yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani
sebagai pemimpin selain dari orang-orang yang beriman, maka ia termasuk
golongan mereka. Ia berkata : Karena barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai
pemimpin dan menolong mereka untuk memerangi kaum mukminin, maka ia termasuk
penganut agama mereka. Karena, tidaklah ada orang yang menjadikan seseorang
sebagai pemimpin melainkan ia bersamanya dan bersama agamanya secara ridla
(sukarela). Jika ia meridlainya dan meridlai agamanya, maka ia akan memusuhi
apa-apa yang menyelisihinya dan sekaligus membencinya. Ia pun kemudian
menjadikan hukum orang yang ia ikuti itu menjadi hukumnya juga. Oleh karena
itu, sebagian ulama yang menghukumi orang-orang Nashaaraa Bani Tsaghlab dari
macam semebelihan mereka, menikahi wanita mereka, dan yang lainnya sama dengan
hukum orang Nashaaraa dari Bani Israaiil, karena mereka telah menjadikan orang
Nashara dari Bani Israaiil sebagai pemimpin mereka, meridlai agama mereka, dan
menolong mereka untuk menghadapi musuh-musuh mereka. Padahal, nasab Bani
Tsaghlab dengan Nabi Israaiil berbeda dan juga pokok agama mereka dengan orang
Nashaaraa Bani Israaiil juga berlainan” [Tafsiir Ath-Thabariy, 10/400].
Allah ta’ala berfirman
:
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ
مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي
شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)
”Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ’Imraan : 28].
Al-Imaam
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
وهذا
نهيٌ من الله عز وجل المؤمنين أن يتخذوا الكفارَ أعوانًا وأنصارًا وظهورًا، ولذلك
كسر"يتخذِ"، لأنه في موضع جزمٌ بالنهي، .........
ومعنى ذلك: لا تتخذوا، أيها المؤمنون، الكفارَ ظهرًا وأنصارًا توالونهم على دينهم، وتظاهرونهم على المسلمين من دون المؤمنين، وتدلُّونهم على عوراتهم، فإنه مَنْ يفعل ذلك "فليس من الله في شيء"، يعني بذلك: فقد برئ من الله وبرئ الله منه، بارتداده عن دينه ودخوله في الكفر "إلا أن تتقوا منهم تقاة"، إلا أن تكونوا في سلطانهم فتخافوهم على أنفسكم، فتظهروا لهم الولاية بألسنتكم، وتضمروا لهم العداوة، ولا تشايعوهم على ما هم عليه من الكفر، ولا تعينوهم على مُسلم بفعل
ومعنى ذلك: لا تتخذوا، أيها المؤمنون، الكفارَ ظهرًا وأنصارًا توالونهم على دينهم، وتظاهرونهم على المسلمين من دون المؤمنين، وتدلُّونهم على عوراتهم، فإنه مَنْ يفعل ذلك "فليس من الله في شيء"، يعني بذلك: فقد برئ من الله وبرئ الله منه، بارتداده عن دينه ودخوله في الكفر "إلا أن تتقوا منهم تقاة"، إلا أن تكونوا في سلطانهم فتخافوهم على أنفسكم، فتظهروا لهم الولاية بألسنتكم، وتضمروا لهم العداوة، ولا تشايعوهم على ما هم عليه من الكفر، ولا تعينوهم على مُسلم بفعل
”Ayat ini adalah
larangan dari Allah ’azza wa jalla kepada orang-orang mukmin untuk
menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, pelindung, dan mencintainya.
Oleh karena itu, Allah memisahkan kata yattakhidzu karena di-jazm-kan
dengan larangan (kata laa)..... Dan makna ayat itu adalah : Janganlah
kalian menjadikan – wahai orang-orang mukmin – orang-orang kafir sebagai
pelindung dan penolong yang dengan itu kalian menolong mereka atas agama
mereka. Menolong mereka untuk memusuhi/memerangi kaum muslimin dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Menunjukkan kepada mereka aurat/rahasia kaum
muslimin. Barangsiapa yang melakukan itu, ’niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah’. Yaitu : dengan perbuatannya itu, sungguh ia telah
berlepas diri dari Allah, dan Allah pun berlepas diri darinya, karena ia telah
keluar dari agama-Nya dan masuk pada kekufuran. Firman Allah : ’ kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka’; maksudnya
: kecuali bila kalian dalam kekuasaan mereka dan merasa khawatir atas diri
kalian, sehingga kalian (terpaksa) menampakkan loyalitas dengan lisan-lisan
kalian dan menyembunyikan permusuhan kalian terhadap mereka. Dan janganlah
kalian mengikuti mereka dalam hal kekufuran, dan jangan pula menolong mereka
untuk memusuhi/memerangi kaum muslimin dengan perbuatan” [idem, 6/313].
Asy-Syaikh
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
وأما
عند الخوف والتقية، فيرخص في موالاتهم، بقدر المداراة التي يكتفي بها شرهم، ويشترط
في ذلك سلامة الباطن من تلك الموالاة..... ويفهم من ظواهر هذه الآيات أن من تولى
الكفار عمداً اختياراً، رغبة فيهم أنه كافر مثلهم.
”Adapun dalam
keadaan khawatir dan takut, maka diberikan rukhshah dalam pemberian walaa’
kepada mereka sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat terhindar dari
kejelekannya. Namun disyaratkan akan hal itu selamatnya bathin dari muwaalah
tersebut.....Maka yang dipahami dari dhahir ayat ini, bahwa barangsiapa yang
ber-wala’ kepada orang kafir secara sengaja tanpa ada paksaan karena
rasa cinta kepada mereka, maka ia dihukumi kafir seperti mereka” [Adlwaaul-Bayaan,
1/413].
Asy-Syaikh
’Abdullah bin ’Abdil-’Aziiz Al-’Anqariy rahimahullah (w. 1373 H) :
إن الموالة هي : الموافقة والمناصرة
والمعاونة، والرضا بأفعال من يوالهم، وهذه هي الموالة العامة التي إذا صدرت من
مسلم لكافر، اعتبر صاحبها كافرا، أما المجرّد الاجتماع مع الكفار بدون إظهار تام
للدين مع كراهية كفرهم، فمعصية لا توجب الكفر
”Sesungguhnya muwaalah
itu adalah : persetujuan, saling tolong-menolong, saling bantu-membantu,
dan ridla dengan perbuatan yang dilakukan orang yang ia walaa’-i. Ini
adalah muwalah secara umum yang jika terjadi pada seorang muslim kepada
orang kafir, maka orang (muslim) tersebut dihukumi kafir. Adapun jika hanya
berkumpul dengan orang kafir saja tanpa menyatakan kesempurnaan agama mereka
dan benci atas kekufuran mereka, maka ini adalah hanyalah kemaksiatan tanpa
mengkonsekuensikan kekufuran” [Ad-Durarus-Suniyyah, 7/309].
Pembagian Manusia yang Wajib Dicintai (Walaa’) dan Dibenci (Baraa’)
Ada 3 (tiga)
klasifikasi manusia dalam penempatan kecintaan dan kebencian karena Allah,
yaitu :
1.
Orang yang dicintai dengan kecintaan murni dan tidak
tercampuri dengan permusuhan. Mereka itulah orang-orang yang beriman yang
ikhlash yang terdiri dari para nabi dan rasul, para shahabat termasuk ummahaatul-mukminiin,
shiddiqiin, syuhadaa’, dan para imam kaum muslimin. Allah ta’ala
telah berfirman :
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang" [QS. Al-Hasyr : 10].
Membenci mereka adalah satu kemunafikan.
2.
Orang yang dibenci dan dimusuhi secara totalitas tanpa
adanya kecintaan dan per-walaa’-an.
Mereka itu adalah orang-orang yang betul-betul ingkar dari kalangan orang-orang
kafir, musyrik, munafiq, murtad, dan zindiq/atheis (yang tidak mengakui
keberadaan Allah ta’ala). Allah ta’ala telah
berfirman :
لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ
حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadilah : 22].
تَرَى
كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ
لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ
خَالِدُونَ * وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ
إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong
dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang
mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan
mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada
Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka
tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 80-81].
3.
Orang yang dicintai sekaligus dibenci, yaitu
orang yang tercampur padanya keimanan dan kemaksiatan. Ia dicintai karena
keimanannya dan dibenci karena kemaksiatannya. Ukuran cinta dan benci ini
seukuran keimanan dan kemaksiatan yang ada padanya. Semakin tinggi iman orang
tersebut, maka semakin ia dicintai. Begitu juga sebaliknya. Ini adalah keadaan
kaum muslimin pada umumnya.
Salah satu wujud rasa cintai (al-walaa’)
adalah mencegah kedhaliman yang dilakukan saudara kita yang muslim.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا
نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ
يَدَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad :
Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Humaid, dari Anas radliyallaahu
’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam : ”Tolonglah saudaramu baik yang berbuat dhalim ataupun yang
didhalimi”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, kami akan menolong
orang yang didhalimi. Namun bagaimana kami menolong orang yang berbuat dhalim
?”. Beliau menjawab : ”Engkau ambil/pegang tangannya (= mencegahnya berbuat
dhalim)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2444].
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah, dari Qataadah,
dari Anas radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa
sallam. Dan dari Husain Al-Mu’allim, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam,
beliau bersabda : ”Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13].
Beberapa
Permasalahan
1. Apakah menggunakan kalender masehi terhitung
sebagai sikap walaa’ terhadap orang-orang kafir ?
Dijawab oleh Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah
sebagai berikut :
الحمد
لله
لا
يعتبر موالاة ، لكن يعتبر تشبهاً بهم .
والصحابة
رضي الله عنهم كان التاريخ الميلادي موجوداً في عصرهم ، ولم يستعملوه ، بل عدلوا
عنه إلى التاريخ الهجري .
وضعوا
التاريخ الهجري ولم يستعملوا التاريخ الميلادي مع أنه كان موجوداً في عهدهم ، هذا
دليل على أن المسلمين يجب أن يستقلوا عن عادات الكفار وتقاليد الكفار ، لاسيما وأن
التاريخ الميلادي رمز على دينهم ، لأنه يرمز إلى تعظيم ميلاد المسيح والاحتفال به
على رأس السنة ، وهذه بدعة ابتدعها النصارى ، فنحن لا نشاركهم ولا نشجعهم على هذا
الشيء . وإذا أرّخنا بتاريخهم فمعناه أننا نتشبه بهم .
وعندنا
والحمد لله التاريخ الهجري الذي وضعه لنا أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله
عنه الخليفة الراشد بحضرة المهاجرين والأنصار ، هذا يغنينا
"Alhamdulillah. Hal itu tidak
termasuk sikap wala’, namun termasuk sikap tasyabbuh terhadap
mereka. Kalender masehi telah ada di jaman para shahabat radliyallaahu
’anhum, namun mereka tidak mempergunakannya. Namun mereka meninggalkannya
dan mempergunakan kalender hijriyyah. Mereka membuat kalender hijriyyah dan
tidak mempergunakan kalender masehi yang telah ada di jaman mereka. Ini
merupakan dalil bahwa kaum muslimin wajib berpaling dari kebiasaan-kebiasaan
orang-orang kafir dan berpaling dari sikap taqlid terhadap mereka. Khususnya,
kalender masehi melambangkan agama mereka, karena ia menyimbolkan pengagungan
terhadap kelahiran Al-Masiih dan merayakannya setiap tahun. Ini adalah bid’ah
yang diada-adakan oleh orang-orang Nashara. Dan kita tidak bersama dan
mendukung mereka dalam hal ini sedikitpun. Seandainya kita menggunakan kalender
masehi mereka, itu sama saja kita ber-tasyabbuh dengan mereka. Di sisi
kita – alhamdulillah – terdapat kalender hijriyyah yang dibuat untuk
kita oleh Amiirul-Mukminiin ’Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ’anhu,
salah seorang Khulafaaur-Raasyidin di hadapan kaum Muhaajirin dan
Anshaar. Ini telah mencukupi kita” [Al-Muntaqaa, 1/257].
2. Kapan membeli produk kuffar dianggap sebagai
sikap wala’ terhadap mereka ? Perhatikan soal-jawab di dari Lajnah
Daaimah di bawah.
Soal Ketiga dari Fatawa no. 3323
Pertanyaan:
Apa hukum kaum muslimin tidak saling tolong
menolong yaitu mereka tidak saling ridho dan tidak punya keinginan untuk
membeli produk dari saudara mereka sesama muslim? Namun yang ada malah dorongan
untuk membeli dari toko-toko orang kafir, apakah seperti ini halal atau haram?
Jawab:
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Adapun jika di sana ada faktor pendorong
semacam yang telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering melakukan
penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan
cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap saudaranya yang
melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan
hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah. Namun jika
tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada
orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil manfaat dengan
bermua’amalah dengan mereka.
Wa
billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi
wa sallam.
Al Lajnah
Ad Daa-imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin
Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz
[saya
sitir dari : http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3023-fatwa-ulama-tentang-hukum-boikot-produk-yahudi.html].
Catatan :
Namun kita dianjurkan untuk memboikot produk
orang-orang kafir jika mereka memusuhi dan memerangi kaum muslimin untuk
melemahkan mereka (orang-orang kafir), dan sebagai wujud kecintaan dan
pertolongan kita kepada kaum muslimin yang tertindas. Perhatikan tanya jawab
berikut :
السائل:
شيخنا بما أن الحرب قائمة بيننا وبين اليهود ، فهل يجوز الشراء من اليهود ، والعمل
عندهم في بلد أوروبا؟
الشيخ الألباني: الشراء من اليهود؟
السائل: نعم ، والعمل عندهم في بلد أوروبا يعني؟
الشيخ الألباني: نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ، ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً كما قلنا ، فهو على الأصل جائز
الشيخ الألباني: الشراء من اليهود؟
السائل: نعم ، والعمل عندهم في بلد أوروبا يعني؟
الشيخ الألباني: نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ، ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً كما قلنا ، فهو على الأصل جائز
Penanya : ”Wahai syaikh kami, dengan adanya
peperangan yang terjadi antara kita (kaum muslimin) dengan orang-orang Yahudi,
apakah diperbolehkan membeli suatu barang dari orang Yahudi. Dan bermuamalah
dengan mereka di negeri Eropa ?”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy : ”Membeli dari orang
Yahudi ?”.
Penanya : ”Benar, dan bermuamalah dengan
mereka di negeri Eropa”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy : ”Kami tidak
membedakan antara orang Yahudi dan Nashaara apapun bentuk muamalah dengan
dengan mereka di negeri tersebut. Orang-orang kafir dan musyrik jika mereka
termasuk ahludz-dzimmah yang berada di tengah-tengah negeri Islam, maka
sudah ma’ruf akan kebolehannya (untuk bermuamalah). Begitu juga jika
mereka termasuk orang yang mengadakan perjanjian damai (dengan kaum muslimin)
yang tidak melakukan penyerangan, maka hukumnya sama. Namun jika mereka
termasuk jenis kafir harbiy (yang memerangi kaum muslimin), tidak
diperbolehkan bermuamalah dengan mereka. Sama saja apakah mereka itu berada di
tempat ia tinggal seperti orang Yahudi di negeri Palestina, ataupun tinggal di
negeri mereka. Selama mereka masih memerangi kaum muslimin, maka tidak
diperbolehkan secara mutlak. Namun jika mereka itu termasuk orang-orang yang
mengikat perjanjian damai sebagaimana yang kami katakan sebelumnya, maka boleh”
[lihat : http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=160].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah pernah
berkata :
......ومن أعظم
الجهاد وأنفعه السعي في تسهيل اقتصاديات المسلمين والتوسعة عليهم في غذائياتهم
الضرورية والكمالية ، وتوسيع مكاسبهم وتجاراتهم وأعمالهم وعمالهم ، كما أن من أنفع
الجهاد وأعظمه مقاطعة الأعداء في الصادرات والواردات فلا يسمح لوارداتهم وتجاراتهم
، ولا تفتح لها أسواق المسلمين ولا يمكنون من جلبها على بلاد المسلمين .. بل
يستغني المسلمون بما عندهم من منتوج بلادهم، ويوردون ما يحتاجونه من البلاد
المسالمة. وكذلك لا تصدر لهم منتوجات بلاد المسلمين ولا بضائعهم وخصوصا ما فيه
تقوية للأعداء : كالبترول ، فإنه يتعين منع تصديره إليهم .. وكيف يصدر لهم من بلاد
المسلمين ما به يستعينون على قتالهم ؟؟! فإن تصديره إلى المعتدين ضرر كبير ، ومنعه
من أكبر الجهاد ونفعه عظيم.....
“….Dan termasuk sebesar-besar jihad dan usaha
yang paling bermanfaat adalah mempermudah dan memperluas jalan perekonomian
kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya, serta memperluas
lapangan pekerjaan, perdagangan, dan usaha-usaha perekonomian mereka;
sebagaimana juga termasuk jihad yang paling bermanfaat dan agung adalah
memutuskan hubungan ekspor-impor terhadap musuh-musuh kaum muslimin,
tidak memberikan kelapangan masuknya barang import mereka (orang kafir) dan
perdagangan mereka, tidak membuka pasar-pasar kaum muslimin untuk mereka, tidak
menempatkan pengusaha mereka di negeri kaum muslimin..... bahkan kaum muslimin
telah cukup dengan apa-apa yang dihasilkan oleh negeri mereka di sisi mereka.
Mereka hanya mengimpor apa-apa yang mereka butuhkan dari negeri kaum muslimin
saja. Begitu juga kaum muslimin tidak mengeksport untuk mereka (orang-orang
kafir) barang-barang yang berasal dari negeri kaum muslimin, khususnya segala
hal yang bisa menguatkan musuh, seperti minyak bumi. Barang ini secara khusus
harus dicegah untuk dijual kepada mereka.... Bagaimana bisa barang itu dijual
kepada mereka dari negeri kaum muslimin yang dengannya akan membantu/menolong
memerangi mereka (kaum muslimin) ?. Karena, menjualnya kepada para penjajah
merupakan bahaya yang sangat besar, sehingga mencegahnya (untuk tidak menjual
kepada mereka) termasuk jihad yang paling besar dan bermanfaat.....” [lihat : http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=123].
Ini saja yang dapat saya tuliskan. [Cangkeul
yeuh.....] Masih banyak bahasan yang tertinggal. Sesuatu yang tidak bisa
diraih semuanya, tidak pula ditinggalkan semuanya. Semoga yang sedikit ini bisa
bermanfaat bagi diri saya dan rekan-rekan semuanya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, yk - dibawah
ada ceramah Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah yang terkait
dengan tema ini].
12
komentar to “Al-Walaa’ wal-Baraa’ dalam Islam”
on
Bahkan ada ulama ahli sunnah yang
mewajibkan boikot produk orang kafir:
يجب على المسلمين عموماً التعاون على البر والتقوى ومساعدة المسلمين في كل مكان؛ بما يكفل لهم ظهورهم وتمكينهم في البلاد وإظهارهم شعائر الدين وعملهم بتعاليم الإسلام وتطبيقه للأحكام الدينية وإقامة الحدود والعمل بتعاليم الدين، وبما يكون سبباً في نصرهم على القوم الكافرين من اليهود والنصارى، فيبذل جهده في جهاد أعداء الله بكل ما يستطيعه؛ فقد ورد في الحديث: "جاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُم وَأَنْفُسِكُم وأَلْسِنَتِكُم" (1)، فيجب على المسلمين مساعدة المجاهدين بكل ما يستطيعونه وبذل كل الإمكانيات التي يكون فيها تقوية للإسلام والمسلمين، كما يجب عليهم جهاد الكفار بما يستطيعونه من القدرة.
وعليهم أيضاً أن يفعلوا كل ما فيه إضعاف للكفار أعداء الدين، فلا يستعملونهم كعمال لأجرة ككُتَّابٍ أو حُسَّابٍ أو مهندسين أو خدم بأي نوع من الخدمة التي فيها إقرار لهم وتمكين لهم بحيث يكتسحون أموال المؤمنين ويعادون بها المسلمين.
وهكذا أيضاً على المسلم أن يقاطع جميع الكفار بترك التعامل معهم وبترك شراء منتجاتهم؛ سواء كانت نافعة كالسيارات والملابس وغيرها، أو ضارة كالدخان بنية العداء للكفار وإضعاف قوتهم وترك ترويج بضائعهم، ففي ذلك إضعاف لاقتصادهم مما يكون سبباً في ذلهم وإهانتهم، والله أعلم.
ـــــــــــــــــــــــــــــــــــ
موقع الآلوكة.
(1) أحمد (3/124، 153، 251)، والدارمي (2431)، وأبو داوود (2504)، والنسائي (3096)، والحاكم 2/81 (2427) وصححه ووافقه الذهبي.
http://www.islamway.com/?iw_s=Fatawa&iw_a=view&fatwa_id=29909
Demikian fatwa Ibnu Jibrin yang keluar pada tanggal 27 Rajab 1421 H.[al Fatawa asy Syar'iyyah fil Masail al 'Ashriyyah min Fatawa 'Ulama al Balad al Haram hal 1152-1153.]
يجب على المسلمين عموماً التعاون على البر والتقوى ومساعدة المسلمين في كل مكان؛ بما يكفل لهم ظهورهم وتمكينهم في البلاد وإظهارهم شعائر الدين وعملهم بتعاليم الإسلام وتطبيقه للأحكام الدينية وإقامة الحدود والعمل بتعاليم الدين، وبما يكون سبباً في نصرهم على القوم الكافرين من اليهود والنصارى، فيبذل جهده في جهاد أعداء الله بكل ما يستطيعه؛ فقد ورد في الحديث: "جاهِدُوا المُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُم وَأَنْفُسِكُم وأَلْسِنَتِكُم" (1)، فيجب على المسلمين مساعدة المجاهدين بكل ما يستطيعونه وبذل كل الإمكانيات التي يكون فيها تقوية للإسلام والمسلمين، كما يجب عليهم جهاد الكفار بما يستطيعونه من القدرة.
وعليهم أيضاً أن يفعلوا كل ما فيه إضعاف للكفار أعداء الدين، فلا يستعملونهم كعمال لأجرة ككُتَّابٍ أو حُسَّابٍ أو مهندسين أو خدم بأي نوع من الخدمة التي فيها إقرار لهم وتمكين لهم بحيث يكتسحون أموال المؤمنين ويعادون بها المسلمين.
وهكذا أيضاً على المسلم أن يقاطع جميع الكفار بترك التعامل معهم وبترك شراء منتجاتهم؛ سواء كانت نافعة كالسيارات والملابس وغيرها، أو ضارة كالدخان بنية العداء للكفار وإضعاف قوتهم وترك ترويج بضائعهم، ففي ذلك إضعاف لاقتصادهم مما يكون سبباً في ذلهم وإهانتهم، والله أعلم.
ـــــــــــــــــــــــــــــــــــ
موقع الآلوكة.
(1) أحمد (3/124، 153، 251)، والدارمي (2431)، وأبو داوود (2504)، والنسائي (3096)، والحاكم 2/81 (2427) وصححه ووافقه الذهبي.
http://www.islamway.com/?iw_s=Fatawa&iw_a=view&fatwa_id=29909
Demikian fatwa Ibnu Jibrin yang keluar pada tanggal 27 Rajab 1421 H.[al Fatawa asy Syar'iyyah fil Masail al 'Ashriyyah min Fatawa 'Ulama al Balad al Haram hal 1152-1153.]
on
Ustadz, apakah khilaf Ibnu Jibrin dg
ulama yang lain ini termasuk khilaf mu'tabar?
Jika mu'tabar tentu tidak boleh menjadikan masalah boikot sebagai tolak ukur salafy dan hizbi.
Jika mu'tabar tentu tidak boleh menjadikan masalah boikot sebagai tolak ukur salafy dan hizbi.
on
إن المقاطعة معروفة منذ
أيام الجاهلية والمقاطعة لمثل هذه
البضائع أقل
أحواله الاستحباب ومما
يدل على الاستحباب الآتي :
1. معرفة أهل الجاهلية للحصار الاقتصادي :
أ. حصار قريش لنبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ في شعب أبي طالب .
ب. تخويف العباس ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ لقريش من قتل أبو ذر ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ خوفا على بضائعهم : أخرج أصحاب الصحيح وغيرهم في قصة إسلام أبو ذكر أنه قال : ( ..... فَأَدْرَكَنِي الْعَبَّاسُ فَأَكَبَّ عَلَيَّ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ وَيْلَكُمْ تَقْتُلُونَ رَجُلا مِنْ غِفَارَ وَمَتْجَرُكُمْ وَمَمَرُّكُمْ عَلَى غِفَارَ فَأَقْلَعُوا عَنِّي )
2. الأدلة على المشروعية :
ما أخرجه أصحاب الصحيح وغيرهما عن أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ فَقَالَ عِنْدِي خَيْرٌ يَا مُحَمَّدُ إِنْ تَقْتُلْنِي تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ مِنْهُ مَا شِئْتَ … ثم أمر النبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ ففك وثاقه فأغتسل ثم أسلم قالا : أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .. ثم قال : وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ فَمَاذَا تَرَى فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ فقال : لا يَأْتِي قُرَشِيًّا حَبَّةٌ مِنْ الْيَمَامَةِ فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ قَالَ لَهُ قَائِلٌ صَبَوْتَ قَالَ لا وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " حَتَّى قَالَ عُمَرُ : فَأَتَى الْيَمَامَةَ حَبَسَ عَنْهُمْ فَضَجُّوا وَضَجِرُوا فَكَتَبُوا تَأْمُرُ بِالصِّلَةِ "
والشاهد أنه منع قريشا الحنطة حتى أمره النبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ فأعطاهم أيها وهذا نوع محاصرة بل هو أشد . ووجه الدلالة قويا جدا لأنه منع بيعهم فخسر من ذلك المال ، بينما المقاطعة أن المشترى يمتنع عن المشترى فيخسر البائع .
http://www.saaid.net/Doat/alharfi/14.htm
1. معرفة أهل الجاهلية للحصار الاقتصادي :
أ. حصار قريش لنبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ في شعب أبي طالب .
ب. تخويف العباس ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ لقريش من قتل أبو ذر ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ خوفا على بضائعهم : أخرج أصحاب الصحيح وغيرهم في قصة إسلام أبو ذكر أنه قال : ( ..... فَأَدْرَكَنِي الْعَبَّاسُ فَأَكَبَّ عَلَيَّ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ وَيْلَكُمْ تَقْتُلُونَ رَجُلا مِنْ غِفَارَ وَمَتْجَرُكُمْ وَمَمَرُّكُمْ عَلَى غِفَارَ فَأَقْلَعُوا عَنِّي )
2. الأدلة على المشروعية :
ما أخرجه أصحاب الصحيح وغيرهما عن أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ فَقَالَ عِنْدِي خَيْرٌ يَا مُحَمَّدُ إِنْ تَقْتُلْنِي تَقْتُلْ ذَا دَمٍ وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ مِنْهُ مَا شِئْتَ … ثم أمر النبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ ففك وثاقه فأغتسل ثم أسلم قالا : أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .. ثم قال : وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ فَمَاذَا تَرَى فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ فقال : لا يَأْتِي قُرَشِيًّا حَبَّةٌ مِنْ الْيَمَامَةِ فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ قَالَ لَهُ قَائِلٌ صَبَوْتَ قَالَ لا وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " حَتَّى قَالَ عُمَرُ : فَأَتَى الْيَمَامَةَ حَبَسَ عَنْهُمْ فَضَجُّوا وَضَجِرُوا فَكَتَبُوا تَأْمُرُ بِالصِّلَةِ "
والشاهد أنه منع قريشا الحنطة حتى أمره النبي ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ ـ فأعطاهم أيها وهذا نوع محاصرة بل هو أشد . ووجه الدلالة قويا جدا لأنه منع بيعهم فخسر من ذلك المال ، بينما المقاطعة أن المشترى يمتنع عن المشترى فيخسر البائع .
http://www.saaid.net/Doat/alharfi/14.htm
on
Apa komentar ustadz terhadap dalil dan
wajh istidlal yang ada dalam tulisan di atas?
Masykur
Masykur
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
on
Asy-Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah
adalah ulama Ahlus-Sunnah. Begitu pula dengan Asy-Syaikh As-Sa'diy dan
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahumallah yang satu baris dengan beliau dalam
masalah boikot. Mereka semua adalah para ulama yang telah dikenal keilmuannya.
Itu saja yang dapat saya respon saat ini.
Itu saja yang dapat saya respon saat ini.
on
Fatwa Syaikh Sa'di tentang boikot
produk itu kira-kira ada di kitab beliau yang mana ustadz?
on
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak
dan Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi juga menyerukan boikot produk Denmark ketika
muncul kasus karikatur Nabi.
http://www.alweeam.com/news/news.php?action=show&id=2941
http://www.alweeam.com/news/news.php?action=show&id=2941
on
Jika demikian sikap sebagian ulama para
ulama ahli sunnah zaman ini, mengapa masalah ini dijadikan tolak ukur salafy
dan hizbi ya ustadz?
Mengapa ijtihad sebgian ulama ahli sunnah dijadikan oleh sebagian orang sebagai manhaj ahli sunnah?
Mengapa ijtihad sebgian ulama ahli sunnah dijadikan oleh sebagian orang sebagai manhaj ahli sunnah?
Abu Al-Jauzaa' :
mengatakan...
on
http://www.mashhoor.net/inside/articles/archive/boycott.htm
on
3 ) فتوى الشيخ
عبدالعزيز بن
باز –رحمه الله-:
وصرَّح بمشروعية هذه الصورة: فضيلة العلامة الشيخ عبدالعزيز بن باز، واللجنة الدائمة للإفتاء ترى ذلك في فتاواها (فتوى رقم 21776).
Bisa dicarikan teks fatwa yang dimaksudkan ustdz?
وصرَّح بمشروعية هذه الصورة: فضيلة العلامة الشيخ عبدالعزيز بن باز، واللجنة الدائمة للإفتاء ترى ذلك في فتاواها (فتوى رقم 21776).
Bisa dicarikan teks fatwa yang dimaksudkan ustdz?
anang
dwicahyo mengatakan...
on
Semua orang bisa diterima dan ditolak
perkataannya , demikian juga ulama.
Namun , kita yang sangat jauh keilmuannya dibandingkan para ulama, bilamana mengambil sikap ulama lainnya yang bersebrangan dengan mereka tetap harus menghormati pendapat mereka tanpa harus merendahkannya.
Tidak ada yang maksum , kecuali Rasulullah , yang ada adalah kebodohan dan kesombongan kita .
Semoga Allah menjauhkan kita dari sikap yang tidak terpuji.
Namun , kita yang sangat jauh keilmuannya dibandingkan para ulama, bilamana mengambil sikap ulama lainnya yang bersebrangan dengan mereka tetap harus menghormati pendapat mereka tanpa harus merendahkannya.
Tidak ada yang maksum , kecuali Rasulullah , yang ada adalah kebodohan dan kesombongan kita .
Semoga Allah menjauhkan kita dari sikap yang tidak terpuji.
on
Syaikh Abu Ishaq sangat mirip dengan
ust Abdul Hakim, suaranya juga mirip. Semoga suatu saat nanti Syaikh Abu Ishaq
bisa datang ke Indonesia.
-Abu 'Abdillah-
-Abu 'Abdillah-
[1]
Lihat Mukhtarush-Shihah
oleh Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdil-Qadir Ar-Razi, materi kata (و
ل ي).
[2]
Lihat Taisir
Al-‘Azizil-Hamid fii Syarhit-Tauhid oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah
bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab, hal. 422, Daarul-Iftaa’, Riyadl.
[3]
Lihat Al-Furqaan
oleh Ibnu Taimiyyah hal. 53, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman Al-Yahya; Daar Thariq
lin-Nasyr, Cet. 1/1414.
Di Copas dari:
Abu
Al-Jauzaa' :, 03 Maret 2011
Definsi
Al-Walaa’ wal-Baraa’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar