Bagian Kesepuluh
John Moot,
seorang misionaris Afrika dalam bukunya menulis, “Metode terang-terangan
atau langsung para misionaris tidak berhasil menarik kaum muslimin untuk
berpaling dari agamanya, karena baju yang digunakan oleh para misionaris
hanyalah menimbulkan kebencian.” Roise, seorang misionaris lainnya juga
mengkritik cara langsung gereja dalam menyebarkan ajarannya. Dia berkata,
“Kami melihat sekelompok misionaris telah bertahun-tahun hidup di sebuah
kota, namun mereka tidak mampu menemukan teman seorang pun.
Periode
penjajahan Afrika oleh bangsa Barat memiliki dua dampak besar bagi agama
Kristen. Pertama, masuknya pengaruh Kristen ke wilayah-wilayah Afrika yang
belum disentuh oleh dakwah Islam, seperti Afrika Tengah dan Selatan. Kedua,
meningkatkan semangat anak-anak kaum muslimin untuk bersekolah di
sekolah-sekolah baru yang mengajarkan plajaran-pelajaran yang bersumber dari
Barat. Dengan demikian, murid-murid di sekolah ini akan jauh dari ilmu-ilmu
Islam. Apalagi, sekolah-sekolah Kristen tersebut telah mengajarkan huruf
latin dan menyingkirkan pelajaran bahasa Arab sehingga rakyat Afrika
akhirnya melalaikan peninggalan budaya dan bahasa mereka yang ditulis dalam
huruf Arab.
Menurut para
misionaris, pengajaran adalah cara dakwah yang paling bagus. Mereka amat
mengutamakan pendidikan di kalangan anak-anak karena anak-anak memiliki
kesiapan dan bakat untuk menerima pengajaran. John Moot, misionaris Amerika,
juga menekankan pentingnya peran sekolah-sekolah dalam penyebaran ajaran
Kristen. Dia berkata, “Kami harus mengajarkan ajaran agama kepada anak-anak.
Sebelum dewasa, anak-anak itu harus kami tarik ke arah Kristen dan sebelum
konsep Islam terbentuk dalam dalam jiwa anak-anak itu, jiwa mereka harus
kami tundukkan.”
Dewasa ini,
salah satu tujuan sekolah-sekolah dan pusat-pusat universitas yang terkait
dengan misionaris adalah mendidik orang-orang yang kelak akan berpengaruh
dalam pemerintahan dan bisa menjadi pemimpin di negara mereka. Adalah jelas
bahwa misionaris akan mudah mencapai tujuannya bila yang digarapnya adalah
orang-orang yang pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Kristen.
Buktinya bisa kita lihat pada negara-negara Afrika, yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Ketika di antara tahun-tahun 1950-1970,
negara-negara itu mencapai kemerdekaannya, tiba-tiba mereka mendapati bahwa
presiden mereka ternyata seorang Kristen.
Kegagalan
dalam menjalankan program pembangunan, kekeringan, kelaparan, dan utang yang
sangat banyak yang dimiliki negara-ngara Afrika telah makin mempermudah
masuknya pengaruh misionaris di negara-negara itu karena mereka mendapat
perlindungan dana yang sangat luas dari negara-ngara barat.
Penyebaran
ajaran Injil yang meluas dan dilakukan secara gratis di tengah masyarakat,
propaganda dan penyebaran budaya sekularisme Barat, dan perluasan ajaran
barat secara sangat luas merupakan beberapa metode misionaris di Afrika.
Metode lain
yang dipakai para misionaris adalah pelayanan kedokteran dan kesehatan. Para
dokter memberikan dukungan yang amat besar bagi gerakan misionarsi dalam
mencapai tujuannya. Menurut mereka, di manapun manusia di dunia ini, orang
yang sakit akan selalu ada dan orang sakit akan selalu memerlukan dokter. Di
manapun ada kebutuhan terhadap dokter, di sanalah ada kesempatan untuk
menyebarkan ajaran agama.
Di Afrika
banyak terdapat rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan yang dikelola para
misionaris Kristen. Meskipun kaum misionaris mengatakan bahwa tujuan dari
kegiatannya ini tidak lebih dari pemberian pertolongan kepada masyarakat,
akan tetapi, di sebagian kawasan, para misionaris itu tanpa tedeng
aling-aling menerangkan secara jelas tujuan asli kegiatan mereka itu.
Mungkin hal ini didasari oleh pandangan mereka yang terlalu menganggap bodoh
masyarakat pribumi.
Kondisi
seperti ini tercatat dengan jelas pada sebuah buku berjudul “Christian
Workers”. Contohnya adalah pada beberapa kawasan di Sudan. Di sana, ketika
tengah mengobati para pasiennya, para dokter Kristen memulai aktivitas
pengobatannya dengan meminta penyembuhan dari Al-Masih. Sejumlah dokter
Kristen di kawasan Nasser bahkan secara terang-terangan memberikan syarat
pengobatan kepada pasiennya berupa kesediaan para pasien untuk mengakui
bahwa yang akan menyembuhkannya itu adalah Al-Masih.
Tanggal 20
Mei 2002 lalu, dua orang dosen universitas telah menulis surat pada redaksi
majalah New York Times. Mereka menulis bahwa dalam kunjungan mereka ke
Afrika Selatan, keduanya berkenalan dengan sejumlah besar misionaris Kristen
yang mengaku datang ke sana membawa misi memerangi kefakiran dan penyakit
AIDS. Akan tetapi, setelah beberapa kali berkomunikasi, kedua dosen itu
menyadari bahwa tujuan asli kaum misionaris itu sama sekali bukan
pertolongan terhadap masyarakat Afrika, melainkan secara prkatis mereka
ingin mendirikan gereja yang besar untuk kemudian mengkristenkan warga
pribumi. Koran New York Times juga menulis kesaksian kedua dosen itu bahwa
para misionaris itu mengabaikan warga setempat dalam pendidikan cara-cara
memerangi AIDS.
Para
misionaris yang dikirim ke negara-negara Afrika umumnya dilatih untuk bisa
menghormati seluruh adat dan budaya Islami yang dianut oleh masyarakat
setempat dengan tujuan agar mereka bisa menarik perhatian masyarakat pribumi.
Ketertarikan kaum pribumi terhadap para misionaris itu akan sangat
memudahkan para misionaris dalam menyebarkan ajaran Kristen.
Contohnya,
di Afrika, mereka menyebarkan ajaran melalui berbagai cerita rakyat yang
tersebar di berbagai suku Afrika, akan tetapi, isi cerita rakyat yang
awalnya berupa pesan khusus dari budaya masyarakat setempat itu, mereka ubah
sesuai dengan tujuan misionaris mereka. Terkadang, kita bisa menyaksikan
bahwa di beberapa kawasan Afrika, nyanyian-nyayian gereja mendapatkan
inspirasi dari lagu-lagu rakyat. Contoh yang terkenal adalah lagu “Bambu”
yang awalnya menggambarkan fase terakhir dari kedewasaan seorang pemuda
Afrika, sekarang memiliki makna yang berbeda ketika dinyanyikan pada
ritus-ritus gereja.
Lagu
tersebut kini dimaknai sebagai masuknya seseorang kepada agama Kristen. Atau
misalnya, pada hari Minggu, di beberapa kota Afrika para misonaris Kristen
bersama-sama dengan orang-orang Kristen pribumi mengenakan pakaian kebesaran
suku setempat dan dengan pakaian itulah mereka melakukan ritus keagamaan di
gereja sambil memukul gendang menyanyikan lagu dan menari secara
bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar