Bagian Kesembilan
Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen,
meyakini bahwa periode baru dalam metode misionaris telah dimulai. Dia
menulis, “Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan
penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang
Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah.
Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah
sakit serta menyebarkan misionaris mereka.
Dewasa ini,
penyebaran ajaran Kristen di berbagai negara, merupakan salah satu strategi
politik para pemimpin negara Barat. Kerjasama antara gereja dan
negara-negara Barat merupakan kerjasama bersejarah yang dimulai sejak abad
pertengahan sampai pada periode kolonialisme baru. Negara-negara Barat dan
perusahaan-perusahaan multinasional telah menanamkan modal yang sangat besar
pada yayasan-yayasan penyebar ajaran Kristen. David Waren, penanggung jawab
Ensiklopedia Dunia Kristen, berkenaan dengan biaya propaganda misionaris di
seluruh dunia, menyatakan bahwa data statistik tahun 1970 menunjukkan bahwa
70 milyar dolar telah dihabiskan unutk membiayai aktivitas misionaris pada
tahun itu. Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai
hampir dua kali lipatnya dan terus akan meningkat.
Dalam dunia
Kristen, terdapat banyak kelompok atau sekte yang berbeda-beda. Namun, dalam
melakukan aktivitas propagandanya di seluruh dunia, kelompok-kelompok ini
menghilangkan perbedaan di antara mereka dan bersatu-padu dalam kelompok
yang sama. Kita bisa melihat bahwa di Afrika, misionaris Katolik dan
Protestan saling berdampingan untuk menyebarkan ajaran yang sama. John B.
Nas, seorang penulis Inggris dalam bukunya yang berjudul “Sejarah
Agama-Agama” menulis bahwa persatuan yang signifikan di antara berbagai
kelompok Protestan terjadi dalam aktivitas misionaris yang memiliki
kepentingan dan makna yang sangat besar. Penyebaran ajaran Kristen ke
berbagai negara membuktikan bahwa perbedaan antara berbagai gereja dan
kelompok Kristen sama sekali tidak memiliki hasil. Para misionaris terikat
pada semua kelompok dan gereja. Mereka tidak menghabiskan waktu untuk
mengurusi perbedaan ini. Jika diperlukan, mereka siap untuk melupakan
berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.
Benua Afrika
adalah salah satu kawasan terpenting bagi penyebaran ajaran Kristen oleh
kaum misionaris. Ajaran Kristen di Afrika memiliki sejarah yang panjang.
Serangan Eropa ke Afrika yang terjadi sejak akhir abad ke-15, telah membuka
jalan bagi infiltrasi kaum misionaris ke benua ini. Para misionaris selama
berabad-abad berada di samping tentara kolonialis di berbagai tempat di
Afrika. Dalam kongres Baitul Maqdis yang dibentuk tahun 1963, semua orang
Afrika peserta kongres itu menyatakan bahwa menurut pandangan rakyat Afrika,
kehadiran para misionaris menghidupkan kenangan kolonialisme. Kenyataannya,
di mana saja misionaris menginjakkan kaki, kolonialisme di negara itu pun
segera dimulai.
Sejarah
kehadiran misionaris di Afrika menjelaskan adanya kesejalanan dan kerjasama
mereka dengan negara-negara penjajah. Selama perang, para misionaris
memberikan bantuan yang berharga kepada pasukan penjajah. Biasanya, ketika
pasukan penjajah masuk ke sebuah negara, pusat-pusat misionaris akan
dijadikan pangkalan militer. Para misionaris itu kemudian akan menjadi salah
satu penyuplai senjata, pasukan, dan makanan bagi para kolonialis. Selain
itu, karena mereka mengenal suku-suku dan daerah-daerah, mereka akan menjadi
mata-mata dan sumber informasi untuk para kolonialis.
Dalam serangan
tentara Belgia ke Stanleyville, kita bisa melihat bahwa para misionaris
telah menjadi penunjuk jalan bagi para tentara penjajah. Kota Stanleyville
yang pada tahun 1966 diubah namanya menjadi Kisangani, adalah salah satu
kota berpenduduk muslim di Kongo. Rakyat kota ini berjuang gigih menentang
kehadiran pasukan Belgia. Pada tanggal 24 dan 25 September 1964, penduduk
kota ini diserang habis-habisan oleh tentara Belgia yang mendapat dukungan
dari tentara Amerika.
Jenderal Mike,
komandan kulit putih bayaran yang dipekerjakan oleh Musa Chumbe, pemimpin
pemberontak Kongo, mengutarakan kenangannya atas kejadian tersebut, sebagai
berikut.
“Kami tidak
mengasihani anak kecil atau orang dewasa karena ada kemungkinan bahwa setiap
mereka adalah anggota gerakan kemerdekaan Kongo. Kami telah membunuh
minimalnya lima ribu orang Kongo sehingga kami kemudian bisa membebaskan
para tawanan kulit putih. Dalam kejadian ini, para pendeta kulit putih yang
terkait dengan gerakan misionaris telah memberi kami petunjuk karena mereka
mengenal kondisi daerah itu.”
Harian
Observer terbitan London pada tahun 1964 memuat tulisan seorang penulis yang
membahas masalah pembunuhan massal di Stanleyville. Katanya, “Mungkin
sebagian orang membayangkan bahwa kelompok-kelompok religius dan misionaris
Kristen adalah orang-orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap
rakyat Kongo. Namun, saya menyaksikan sendiri bahwa pada masa Musa Chumbe,
semua misionaris di Katanga menjadi pelindung politik yang kuat Rezim
Chumbe, yang pada saat itu bahkan mengumumkan perang terhadap PBB.”
Patrice
Lumumba, pemimpin rakyat Kongo, juga memperhatikan masalah ini. Setelah
terpilih menjadi perdana menteri, dia mengumumkan bahwa sebagian misionaris
merupakan anggota resmi Angkatan Bersenjata Belgia. Oleh karena itu, dia
menuntut agar para misionaris meninggalkan Kongo.
Peran seperti
ini juga dilakukan oleh para misionaris di negara-negara Afrika lainnya,
seperti Uganda, Nigeria, Sudan, Ghana, dan Senegal. Sebagai contoh, uskup
Richard Ruzdir dengan alasan campur tangan atas urusan internal Ghana telah
diusir dari negara ini.
Dengan memperhatikan kenangan pahit rakyat Afrika terhadap para misionaris, komisi penyebaran agama Kristen pada tahun-tahun terakhir ini, telah mengubah metode dan politik mereka untuk hadir di Afrika. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa metode dakwah yang paling membawa hasil adalah metode tidak langsung. Oleh karena itu, kehadiran misionaris secara fisik dalam bentuknya yang khas, tidak akan banyak menarik perhatian kaum pribumi. Dewasa ini, para misionaris mengetahui bahwa dengan wajah dan profesi yang berbeda-beda, mereka akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan paham kebudayaan mereka. Dokter, guru, insinyur, peneliti, anggota kelompok ilmuwan, dan perawat merupakan di antara profesi-profesi yang digunakan sebagai topeng oleh para misionaris. Mereka dikirim ke negara-negara tujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen dengan tanpa menyinggung sensitivitas penduduk pribumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar