Pengelabuan izin bangunan ala Doulos terjadi lagi. Mengantongi izin untuk pembangunan Taman Kanakkanak,
tapi diam-diam alih fungsi, dipakai kebaktian gereja. Cari perkara?
Peristiwa yang memicu keresahan warga RW 011 Perumahan Pondok Kelapa XI, Jakarta Timur ini
sebenarnya sudah berlangsung sejak empat belas tahun lalu. Hal ini bermula dari rencana jemaat Huria
Kristen Batak Protestan(HKBP), atas nama Yayasan Bahtera hendak mendirikan gereja HKBP di
Kavling PTB-DKI, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Berbekal surat No 01/PPCP/VIII/1990 mereka
mengajukan permohonan izin pada Walikota Jakarta Timur untuk mendirikan gereja di perumahan
tersebut. Pihak Walikota memberikan balasan yang isinya mendukung rencana tersebut. Dengan catatan,
pihak HKBP dapat mematuhi SK Gubernur No 648/1979 dan No 649/1979 tentang “Ketentuan dan
Prosedur Persetujuan Bangunan Tempat Ibadah’’. SK tersebut tentu saja menekankan pentingnya
persetujuan masyarakat setempat terhadap tempat ibadah yang akan didirikan.
Merasa pe-de rencananya akan disetujui warga, pihak HKBP membeli tanah fasilitas umum dari PD
Pembangunan Sarana Jaya seluas 1.525 m2 seharga Rp 76.250.000. Anehnya, surat izin Penunjukan
Penggunaan Tanah, berada tepat di jalur hijau, yang lazimnya dipakai untuk taman penghijauan
masyarakat.
Tak ayal, surat No 35/D-VIII/H-1/SRT/VI/94 yang berisi permohonan pihak HKBP agar warga
mengizinkan pembangunan gereja di wilayah itu mendapat tentangan keras dari warga dan tokoh
masyarakat setempat.
Hal ini tentu saja membuat pihak HKBP kelimpungan. Merasa rencananya terganjal, mereka putar otak
agar keinginannya membangun tempat ibadah tercapai. Pertengahan Agustus tahun 1995 mereka kembali
mengantongi IMB No 447/IMB/1995 atas nama Yayasan Bahtera dengan peruntukan bangunan sebagai
Taman Kanak-kanak sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan Sudin P2K Jakarta Timur No 849 tahun
1995. Awalnya warga menduga izin tersebut memang benar-benar digunakan untuk sekolah TK.
Apalagi, sejak adanya surat keberatan dari warga, pihak HKBP merasa khawatir aksi yang lebih keras
lagi bisa terjadi.
Dugaan tersebut ternyata meleset. Ketenangan warga kembali terusik. Pasalnya ada kabar yang
menyebutkan Kapolres Jakarta Timur memberikan persetujuan gedung TK tersebut sebagai tempat
ibadah. Melalui surat yang dikirim Yayasan Bahtera kepada Majelis Jemaat HKBP Pondok Kelapa
Distrik VIII Jawa/Kalimantan disebutkan pihak Kepolisian Resort Jakarta Timur menyetujui penggunaan
gedung sebagai sarana ibadah jemaat HKBP.
Surat dengan No 16/YB/VIII/95 itu ditengarai sebagai akal-akalan pihak HKBP saja. Hal tersebut tentu
saja membuat warga makin berang. Langkah-langkah prosedur hukum dengan melaporkan perihal itu
pada aparat pemerintahan Jakarta Timur pun kembali dilakukan. Ujungnya, Camat Duren Sawit dan
Walikota Jakarta Timur memberikan teguran keras agar bangunan tersebut digunakan sesuai dengan izin
peruntukannya.
Selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Protes-protes yang diajukan 413 KK diperumahan tersebut tetap
tidak diindahkan. Berbagai pertemuan dengan aparat pemerintah dari kepolisian hingga Walikota tidak
dipatuhi. Penggunaan bangunan TK sebagai tempat ibadah terselubung tetap saja dilakukan. Kasus ini
makin meruncing ketika pengurus gereja HKBP pada November 2003 mengirim surat permohonan
perubahan izin bangunan yang tadinya sebagai bangunan sekolah Taman Kanak-Kanak dan rumah dinas,
menjadi SSI (Sarana Sosial Ibadah/Gereja). Bahkan pihak HKBP kian over acting dengan memasang
tanda salib di canopy gerbang masuk bangunan.
Edi Purnomo, ketua RW 011 yang ditemui oleh SABILI di lokasi kejadian menyesalkan sikap pengurus
HKBP yang tidak mengindahkan keberatan warga tersebut. Padahal, menurutnya, mereka yang beribadah
di wilayahnya bukan penduduk setempat, melainkan para pendatang dari berbagai wilayah di Jakarta dan
Bekasi. “Ini bukan masalah benci sama orang atau suatu kelompok tertentu, juga bukan melarang mereka
untuk beribadah. Tapi harusnya mereka ngerti dong, warga di sini keberatan,” ujarnya. Ia menambahkan,
warga hanya menuntut pihak HKBP mematuhi surat Walikota yang menginstruksikan penghentian
kegiatan ibadah di sana dan mengembalikan tempat tersebut sebagai jalur hijau bagi masyarakat.
Pihak HKBP sendiri ketika ingin dimintai konfirmasi oleh SABILI, tidak ada di tempat. Pada pertemuan
ahad (15/2) yang dihadiri oleh Camat, kepala Kesbang (Kesatuan Bangsa), Kapolres dan pengurus RW
setempat, pihak HKBP hanya diwakili oleh Willy Rajaguguk, yang kapasitasnya dipertanyakan warga.”
Pertemuan tadi tidak menemukan solusi, karena pihak HKBP tidak ada yang datang. Kalau Pak Willy itu
tidak jelas kapasitasnya sebagai apa. Dia tidak mewakili pengurus HKBP, “ ujar Alamsyah M. Gayo,
kepala Kesbang Jakarta Timur.
Belajar dari kasus ini, umat semakin yakin, siapa sesungguhnya yang sering melanggar batas toleransi?
sumber Sabili.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar