Acara tersebut rencananya akan dihadiri 75 mahasiswa Indonesia di Mesir dan salah satu acara tersebut juga untuk mensosialisasikan bahwa shalat tidak wajib etc. etc.... dan acara berlangsung di Hotel BINTANG LIMA. Peserta pokoknys nggak keluar duit seperak pun, tinggal pasang kuping, perut kenyang, tidur nyenyak.
Informasi ini diperoleh dari pak Hartono Ahmad Jaiz, untung saja ada Limra Zainuddin. Rupanya, di Indonesia mereka lebih bebas berkiprah, karena tidak ada yang seberani Limra.
Para 'fundamentalis"-nya cuma berani sama gedung (spt Marriott dsb). Insya Allah, para 'fundamentalis' di Indonesia patut mencontoh GEBRAKAN Limra Zainudin agar dimasa yad jangan lagi menjadikan gedung sebagai sasaran tapi "orangnya" yakni orang yang mengaku muslim bergelar Kiai tapi merusak Aqidah Islam dengan baju Liberalisme.
Kelompok ini saling bersinergi dengan kelompok Jaringan Islam Liberal yang diketuai oleh Ulil Abshar Abdalla keponakan GusDur yang berbagai buah pikirannya dengan dalih Liberlisme merusak Aqidah.
Waspadalah... wahai umat Islam atas sepak terjang Poros JIL ini yakni Jaringan Iblis Liberal
Berikut ini sebuah liputan dari Mesir oleh GATRA tentang ANCAMAN BUNUH untuk Masdar F. Mas'udi (wakil dari Paramadina)
Gertak Mati Pengawal Akidah
SENYUM renyah tersungging di bibir Masdar Farid Mas'udi saat ia melihat lambaian tangan istrinya yang menjemput di Pintu 1 Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Selasa malam lalu. Semua beban yang menindih benaknya seakan sirna. Zuhairi Misrawi dan Nur Rofi'ah, yang berjalan mengapit Masdar, juga mengumbar senyum lebar.Mareka baru saja terbang selama 19 jam dengan pesawat maskapai penerbangan Emirates Airlines dari Kairo, Mesir. "Lega rasanya kembali menghirup udara kebebasan berpikir di Indonesia," ujar Zuhairi, berbinar-binar. Mereka pantas ceria karena terbebas dari bayang-bayang ancaman maut di "negeri piramida".
Para pengurus Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu merasa jiwanya terancam oleh ucapan Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, Limra Zainuddin. Ia antara lain menyatakan: "Saya akan membunuh Bapak atau Zuhairi. Kalau bukan Bapak yang mati, atau Zuhairi, maka saya yang mati. Pilihannya mayat saya, mayat Bapak atau Zuhairi. Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak."
Ancaman itu dikutip dalam catatan kronologi bikinan tim panitia yang beredar di milis para mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir, akhir pekan lalu. Limra mengucapkannya ketika bertemu Masdar di lobi Hotel Sonesta, Kairo, Jumat sore pekan silam.
Direktur P3M itu berada di sana karena besoknya, ia berencana punya gawe bertajuk "Pendidikan dan Bahtsul Masail Islam Emansipatoris". Acara ini akan dilangsungkan di hotel bintang lima tersebut, Sabtu hingga Senin pekan lalu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama P3M, Kekatiban Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), dan organisasi mahasiswa setempat, "Sanggar Strategi TEROBOSAN". Pesertanya sekitar 75 mahasiswa Indonesia di Mesir yang mewakili sejumlah simpul. Pemikir Mesir, Prof. Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah, dijadwalkan menjadi pembicara.
Sore itu, Limra mendatangi hotel untuk menolak acara tersebut. Setelah menemui manajer hotel, ia bertemu panitia dari unsur mahasiswa Indonesia di Kairo. Limra menyebutkan alasan menolak acara, karena lontaran pemikiran Zuhairi dianggap meresahkan masyarakat.
"Pernyataan Zuhairi tentang salat tidak wajib. Dan permasalahan muslim menikahi wanita musyrik," kata Limra. "Juga pendapat Masdar tentang haji," Limra menambahkan. Baru beberapa menit Limra berada di lobi hotel, kemudian muncul Masdar bersama beberapa mahasiswa.
Limra menyampaikan tembusan surat keberatan PPMI kepada Masdar. Surat tertanggal 5 Februari 2004 itu meminta Duta Besar RI untuk Mesir meniadakan acara yang akan digelar Zahairi Misrawi selaku Koordinator Program Islam Emansipatoris P3M. Penolakan itu, katanya, berdasar aspirasi mahasiswa Indonesia di Mesir.
Ujung surat PPMI itu menyiratkan ancaman. "Bapak sudah bisa membaca apa yang terjadi, bila acara Zuhairi tetap dilaksanakan." Menanggapi persoalan itu, Masdar berusaha mendinginkan susana dengan menawarkan dialog. Limra menolak, dengan alasan hanya buang-buang waktu.
Ia menilai pandangan Masdar tentang pelanggaran waktu haji telah mengungkit akidah. "Itu kan sekadar pemikiran. Anda tidak harus mengikutinya," kata Masdar, berargumentasi. "Pokoknya tidak bisa," ujar Limra dengan nada tinggi. "Saya sudah capek mengurus persoalan seperti ini, sampai program saya terbengkalai. Sejak Lebaran, saya sudah marah. Sampai sekarang saya masih marah."
Masdar lalu menantang, "Seandainya acara ini tetap dilaksanakan, apa akibatnya?" Limra menanggapinya dengan melontarkan ancaman akan membunuh Masdar. Dengan tenang, Masdar meledek Limra, "Bisa nggak saya dibikinkan surat ancaman bahwa saya akan dibunuh?" Dan Limra pun berkelit, "Saya hanya bisa lewat lisan, saya banyak pekerjaan."
Masdar kembali melontarkan pertanyaan, "Jadi, sama sekali nggak ada jalan keluar?" Limra naik pitam. Napasnya terengah-engah. Tangan kanannya mengambil asbak di meja, lalu diacungkan ke muka Masdar. "Apa perlu Bapak saya bunuh sekarang?" Limra menbentak.
Para mahasiswa di sekitar Masdar segera menenangkan Limra. Asbak dikembalikan ke tempat. Masdar "diamankan" ke kamar. Limra digandeng ke luar hotel. Pertemuan bubar. Masdar langsung menelepon Duta Besar RI untuk Mesir, Prof. Bachtiar Aly, meminta perlindungan. Kepada GATRA, Bachtiar Aly mengaku terkejut mendengar insiden ini.
"Setahu saya, acara ini ditunda sampai setelah pemilu. Ternyata jadi dilaksanakan sekarang," kata Bachtiar. Ia menyatakan, Kedutaan Besar RI (KBRI) pernah menyarankan penundaan acara itu, karena ada surat penolakan dari ICMI dan NU Mesir. Anehnya, surat-surat itu tidak menohok Masdar, tetapi Zuhairi, alumni Jurusan Akidah Filsafat Al-Azhar.
Surat ICMI menyebut Zuhairi sebagai sosok yang menimbulkan kontroversi karena pernah menyatakan salat tidak wajib. Surat NU menyatakan bersedia bekerja sama menyelenggarakan acara ini, dengan catatan tidak menampilkan Zuhairi sebagai pembicara. Ia dinilai memiliki resistensi kuat di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo.
PPMI malah secara khusus menulis surat kepada Zuhairi, tertanggal 6 Februari. Isinya mengecam Zuhairi yang dinilai sering mengusik ketenangan umat dalam menjalankan syariat. "Pemikiran dan slogan yang selama ini Saudara usung tidak sesuai dengan kepribadian seseorang yang pernah menuntut ilmu di Al-Azhar," tulis surat itu.
Zuhairi menyangkal pernah mengatakan salat tidak wajib. "Sebagai alumni pesantren dan Al-Azhar, tidak mungkin saya mengatakan salat tidak wajib," katanya. "Saya hanya mengkritik salat yang tidak memiliki efek sosial bagi perbaikan masyarakat. Salat jalan, tapi korupsi juga jalan," salah satu penulis buku Fiqih Lintas Agama ini menambahkan.
Seingat Zuhairi, tudingan itu bukan hal baru. Tahun 1999, saat masih kuliah di Al-Azhar, Zuhairi pernah sampai menandatangani surat pernyataan bahwa ia tak pernah menyatakan salat itu tidak wajib. Pengagum Hassan Hanafi ini lalu mempertanyakan klaim bahwa resistensi atas dirinya amat kuat. "Pada acara ini saya buktikan bisa mendapat dukungan 200-an mahasiswa. Janganlah memanipulasi slogan-slogan kosong," katanya.
Kalau yang dibidik Zuhairi, mengapa Masdar yang kena damprat? "Masdar lagi apes saja," kata Bachtiar Aly. "Sebenarnya mereka mencari Zuhairi. Ternyata di hotel mereka ketemunya dengan Masdar, ditumpahkanlah segala emosi pada Masdar," Bachtiar menjelaskan.
Insiden ini berakibat dibatalkannya acara itu. State Security, lembaga keamanan negara Mesir, menghubungi manajer hotel. Pihak hotel kemudian mengontak KBRI, mengabarkan tentang pembatalan acara tersebut. Menurut Masdar, karena KBRI tak bisa memberi jaminan, maka hotel pun angkat tangan. "Saya memang kecewa, tapi saya bisa mengerti," kata Masdar.
Namun yang membuat Masdar masygul, ia dipersulit ketika bersilaturahmi ke kantor NU Mesir. Ketika Katib Syuriyah ini baru berbicara santai selama lima menit di kantor NU Mesir, tiba-tiba ada telepon dari State Security, minta Masdar membubarkan pertemuan. "Ini gimana, saya ketemu warga sendiri saja tidak bisa," katanya.
Pembatalan acara itu, menurut Kepala Bidang Penerangan KBRI, Teuku Darmawan, sepenuhnya merupakan kebijakan State Security. KBRI di Mesir tidak ikut-ikutan. "Kami tahu ada pembatalan setelah mendapat info dari Hotel Sonesta yang mendapat teguran dari State Security," kata Darmawan.
Atase Pertahanan KBRI, Kolonel Yohastihar, menjelaskan bahwa kegiatan orang asing di Kairo harus ada clearence dari State Security. Untuk salat id saja, KBRI juga memberitahukan ke State Security. "KBRI tidak punya wewenang membubarkan acara. Kalau State Security yang melakukan, KBRI tidak bisa intervensi," tutur Yohastihar.
Pembatalan acara ternyata tak membuat ancaman mati Presiden PPMI berhenti. Limra melebarkan ancamannya kepada para mahasiswa yang menjadi saksi dan penyusun kronologi versi P3M. Kepulangan Masdar, Zuhairi, dan Rofi'ah hanya menenangkan diri mereka. Sementara beberapa mahasiswa di Kairo masih dalam bayang-bayang ketakutan.
Saat dihubungi GATRA, Selasa malam lalu, Limra menolak berkomentar. Untuk meredakan ekses lebih lanjut, Selasa siang lalu Duta Besar Bachtiar Aly mempertemukan pengurus PPMI dan Panitia P3M. Bachtiar menginginkan adanya islah, dan ketegangan bisa mereda. PPMI memberi surat berisi dua tuntutan pada panitia. Pertama, melengkapi kronologi. Kedua, minta maaf.
PPMI mematok tenggat sampai Rabu pekan ini pukul 10 malam. Bila tidak terpenuhi, Presiden PPMI akan mengundurkan diri. Panitia Pengarah Acara P3M, Mas Guntur Romli, siap memenuhi tuntutan itu. "Dari segi substansi, Limra tidak menyangkal adanya ancaman bunuh," kata Guntur. Sehingga, kalaupun kronologi dilengkapi, tidak akan mengubah isi. Tampaknya, perjalanan menuju titik temu kian dekat. (GaTRa)
Wawancara Masdar Farid Mas'Udi
Ini Fakta Menyedihkan
NAMA KH Masdar Farid Mas'udi, MA, sudah lama masuk deretan pemikir muslim Indonesia progresif. Gagasan Masdar, 50 tahun, tak jarang melawan arus. Dua ide kontroversialnya: risalah zakat/pajak dan pelonggaran waktu haji, masuk sebagai materi Pendidikan dan Bahtsul Masail Islam Emansipatoris di Kairo, Mesir, 7-9 Februari lalu. Namun acara gagal setelah Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini diancam mati oleh Limra Zainuddin, Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Wartawan GATRA Asrori S. Karni mewawancarai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu setiba dari Kairo, Selasa malam lalu. Berikut petikannya:Apa reaksi Anda mendapat ancaman bunuh dari Limra Zainuddin?
Saya tidak menduga sedahsyat itu resistensinya. Beberapa pemikiran saya memang sudah lama mendapat resistensi dari sebagian mahasiswa di Kairo. Itu wajar. Saya berharap, para mahasiswa itu, dengan kedalaman pengetahuannya, bisa lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Tetapi yang terjadi lain. Ini fenomena yang sama sekali tidak pantas dilakukan komunitas mahasiswa yang terpelajar.
Argumen yang dikemukakan Limra ketika mengancam Anda?
Bagi dia, akidah adalah segalanya. Pemikiran saya serta teman-teman dinilai merusak akidah itu.
Itu sikap pribadi Limra atau gambaran sikap kolektif konstituen organisasinya?
Khusnudzan saya, ancaman itu bukan trend dominan di Kairo. Itu hanya terjadi pada satu-dua orang. Mungkin karena faktor pribadi. Karena temperamennya atau karena yang bersangkutan punya masalah. Limra waktu mengancam memang ngomong sedang pusing. Program pendidikannya sudah lama terbengkalai. Dia sudah delapan tahun kuliah tidak selesai-selesai. Saya kira, itu mempengaruhi kondisi psikologis dia. Yang saya sesalkan, dan saya menjadi kasihan kepada Limra, temperamen pribadi itu dipakai oleh sejumlah orang yang tidak ingin acara saya terjadi.
Ada kabar, yang menjadi sasaran tembak sebenarnya Zuhairi Misrawi, staf Anda. Bagaimana konteksnya?
Zuhairi dulu alumni sana. Ia juga punya pemikiran yang "nakal". Misalnya, statemennya bahwa salat tidak wajib seperti pernah dimuat GATRA. Kalau memang begitu, saya pernah mengusulkan, ya, klarifikasi saja. Tapi persoalan salat kan sesuatu yang undebatable. Saya nggak tahu apakah ada juga persoalan lain, apakah politik atau persaingan sesama aktivis, wallahualam.
Yang pasti, ada resistensi secara pribadi pada Zuhairi. Jalan keluar yang kami diskusikan dengan Pak Dubes, kalau mereka menganggap masalahnya pada Zuhairi, bisa dilokalisasi dengan tidak melibatkan Zuhairi pada acara ini. Zuhairi sendiri nggak masalah. Tapi kemudian masalah diperlebar pada gagasan yang diusung P3M, di mana saya sebagai pimpinannya.
erius ancaman ini? Sekadar ucapan spontan atau pernah ada preseden hal itu bisa benar-benar terjadi?
Saya tidak tahu sejarah Limra. Saya juga tidak menduga sekeras itu resistensinya. Karena dia seorang mahasiswa, bahkan presiden mahasiswa yang belajar di Mesir. Saya tadinya menduga, dia pasti seorang intelektual. Tapi melihat fakta seperti itu, saya juga sedih. Para mahasiswa kita di Kairo itu kan didambakan akan menjadi pemimpin Islam masa depan. Tapi kok seperti itu. Ini kerugian bagi kita semua. Bukan hanya bagi Limra dan teman-teman di Kairo, juga bagi kita di Indonesia. Ini menyedihkan.
Sesudah ada ancaman, teman-teman bikin kronologi ancaman itu dan disebar ke milis. Limra tambah panas dan tambah mengancam pada semua orang yang menjadi saksi dalam penyusunan kronologi. Ternyata ancaman itu masih serius. Tidak hanya pada saya, juga pada teman-teman di Mesir. Sebelum pulang, saya bilang ke Pak Dubes bahwa ancaman ini makin melebar, tolong bisa dilakukan langkah kongkret untuk melindungi keamanan semua pihak. Baik yang diancam maupun Limra sendiri. Meskipun Limra mengancam, kalau terjadi konflik fisik dan dia terluka, juga nggak enak terdengar.
Anda berencana memerkarakan si pengancam secara hukum?
Sejak pertama diancam, saya lapor ke Pak Dubes. Dia bilang, segera melakukan langkah pengamanan. Limra sendiri berada di bawah pengawasan pihak keamanan. Ancaman ini sudah kriminal. Karena itu, saya lapor ke Pak Dubes. Apakah akan ada tindakan hukum di sana, saya nggak tahu. Tapi kalau serius, ya, harus ada langkah-langkah hukum. Karena kalau ancamannya nyata, ya, fatal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar