Islam sebagai sebuah kepercayaan, sistem ritual, dan sekaligus sistem kehidupan, tidak mungkin mempertahankan bentuk keaslian dan kesakralannya tanpa ada jaminan terhadap keotentikkan Al Qur’an. Oleh karena itu, sejak awal penurunan Al Qur’an, senantiasa ada sebagian umat islam yang membaktikan dirinya untuk menjaga keotentikan Kitab tersebut. Mereka telah mengembangkan sistem yang sedemikian rupa, sehingga sampai saat ini, kita masih bisa membaca wahyu yang diturunkan oleh Sang Pencipta itu persis sebagaimana Jibril ‘alaihis salaam mengajarkannya kepada Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallama.
Akan tetapi, musuh-musuh islam senantiasa ingin meruntuhkan islam dengan segenap cara. Keimanan terhadap Al Qur’an yang memiliki posisi sedemikian strategis tak luput dari incaran mereka. Mereka ingin mengarahkan tikaman langsung ke arah jantung keperayaan umat (aqidah) yang senantiasa memompa dan
mengalirkan arus keimanan serta ketaqwaan keseluruh tubuh kaum muslimin. Jika kepercayaan terhadap Al Qur’an ini runtuh, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari islam.
Salah satu usaha yang mereka lakukan untuk menebar keraguan terhadap Al Qur’an adalah memberikan persepsi yang lemah dan kabur mengenai sejarah pembukuan Al Qur’an. Mereka ingin menunjukkan sebuah fakta palsu bahwa Al Qur’an -dalam sejarahnya- memiliki banyak versi yang membingungkan, dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa mush-haf yang ada ditangan kita saat ini adalah benar-benar Al Qur’an, kalamullah. Allahumma-nshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin!
Seorang orientalis, Gerd E. Joseph Puin, mengatakan, “Kaum muslim beranggapan bahwa semua yang ada di antara dua sampul (baca: Al Qur’an) adalah kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”. Kemudian dia berkata, “mereka suka mengutip (dari bible) teks yang menujukkan bahwa bible punya sejarah (penulisan pasca kematian yesus), dan dia tidaklah jatuh dari langit. Tetapi sampai saat ini, Al Qur’an selalu berada di luar diskusi seperti ini. Satu-satunya cara untuk menggempur dinding (keyakinan) ini adalah dengan membuktikan bahwa Al Qur’an juga memiliki sejarah (penulisan dan penyempurnaan pasca Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallama).1
Untuk membuktikan tuduhan mereka itu, mereka berusaha menunjukkan fakta tentang adanya keragaman teks dan bacaan (qiroah) pada masa-masa awal islam. Mereka menganggap, mushaf yang ada sekarang tidak mengakomodir keragaman itu. Oleh kaenanya, mereka mengkampanyekan usaha penyusunan “Al Qur’an ” edisi kritis sebagai tandingan Al Qur’an yang sebenarnya. Bahkan usaha ini telah mempengaruhi sebagian orang islam yang merasa inferior di hadapan orientalis dan menyangka bahwa usaha penyusunan edisi kritis adalah usaha yang jujur, ilmiah dan positif.
Tofik Adnan Amal menulis di harian Jawa Pos, 28 Oktober 2001, “Di kalangan muslim kebanyakan, teks (rasm) dan bacaan (qiro’ah) dalam mush-haf Al Qur’an dewasa ini diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallama. yang dikodifikasi oleh Zaid bin Tsabit berdasarkan otoritas Kholifah `Utsman bin “affan. … Tetapi, orang yang mengetahui perjalanan sejarah Al Qur’an menyadari bahwa keadaan yang sebenarnya adalah tidak sesederhana itu. Sejarah awal Al Qur’an justru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang karena dan atasnya dilakukan serangkaian upaya unifikasi untuk menjamin kemantapannya. … Proses (unifikasi) tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya,… karena itu, tulisan ini juga akan membahas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Al Qur’an.2
Masalah-masalah itu pada kesempatan lain ia ungkapkan dengan pilihan kata yang begitu agresif dan provokatif , misalnya : “(cerita tentang) pengumpulan Al Qur’an itu memiliki banyak versi”; “Semua teori tentang pengumpulan Al Qur’an itu centang-perentang (simpang siur)”; “kisah pengumpulan Al Qur’an itu saling kontradiksi” ; “proses unifikasi dan stabilisasi yang dimotori `Ustman (radliyallahu ‘anhu -penukil) itu baru dapat tercapai pada abad ke-4 H”.3 Dia memakan telah mentah-mentah segala macam claim dan pernyataan tentang sejarah pengumpulan Al Qur’an, termasuk dari orientalis, tanpa proses penyeleksian terhadap bobot, bibit dan bebet informasi tersebut, dan menganggap semuanya sama-sama valid. Dengan begitu pembaca dibuat ikut bingung oleh semua informasi yang dia paparkan. Dengan mengatakan bahwa Al Qur’an baru stabil setelah masuk abad IV H berarti dia telah memposisikan Al Qur’an sebagaimana “taurat” dan “injil” yang baru mapan setelah selang waktu beberapa lama dari waktu penurunannya. Dia tidak merasa canggung untuk memaparkan tuduhan ini meski sekedar berdasarkan data yang janggal.4
Taufik Adnan Amal sendiri tidak pernah secara jujur dan sungguh-sungguh menyusun “mushhaf kritis” itu. Ia sudah percaya kepada usaha orientalis yang menurutnya mungkin lebih “tsiqoh” dan “faqih” dari para shohabat dan ulama umat islam. Wacana yang ia angkat tentang Al Qur’an edisi kritis itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk memotivasi dirinya sendiri guna menyusun edisi kritis tersebut. Tapi yang jelas, pernyataan-pernyata annya itu punya terget yang kasat mata, yaitu menggugat otoritas mushhaf Al Qur’an, dan menebarkan teror kepada umat islam mengenai otentitas kitab yang mereka imani sebagai kalamullah itu. Bahkan saat ini, teror tersebut telah beredar dalam bentuk buku.5 Teror itulah sebenarnya yang secara sungguh-sungguh ingin ia wujudkan, bukan usaha dan “pengabdian” yang jujur untuk menyunting edisi kritis, “memperpaiki” mushhaf yang disusun dan disepakati oleh para shohabat radliyallaahu ‘anhum. Saya kira isu edisi kritis tidak punya signifikansi apa pun kecuali mengembangkan keraguan dan kritik yang tidak ilmiah terhadap Al Qur’an. Dan yang lebih penting, ini merupakan usaha untuk melunturkan nilai sakralitas Mush-haf `Utsmani, dan meletakkannya pada posisi yang debateble, sehingga menggoyahkan posisinya sebagai dasar hukum islam yang utama. Wallahu a’lam
Oleh karena itu, para pejuang penegakkan kehidupan islam harus memiliki alasan yang kuat untuk menolak benih-benih keraguan yang ditebarkan oleh musuh. Sebab, walau bagaimanapun, kita sedang dan akan terus berusaha tampil di atas mimbar, kemudian berusaha meyakinkan kaum muslimin untuk meyakini apa yang kita yakini, dan tentu saja sekaligus dengan membantah dan menghancurkan segala peryataan yang negatif dan batil. Berikut ini kita akan membantah dan membatalkan landasan-landasan diajukannya proposal penyuntingan “Al Qur’an” edisi kritis alias edisi gadungan. Wallaahul waliyut taufiq, wa huwal musta’aan
Tuduhan Terhadap Mush-haf `Utsmani: Alasan-alasan Pencarian Mush-haf Alternatif
Mush-haf `Utsmani adalah mush-haf standar yang disahkan oleh para shahabat pada masa kholifah `Utsman bin `Affan radliyallaahu ‘anhu. Para orientalis dan para “penggemar” mereka sering berkata yang bukan-bukan terhadap mush-haf standar ini. Berikut ini adalah sebagian dari serangan mereka terhadap Mushaf ‘Utsmaniy :
Pertama, penyusunan Mush-haf Al Imam itu tidak objektif, sangat terpengaruh oleh otoritas politik `Utsman -radliyallahu ‘anhu. Karena itu, mereka mengklaim bahwa ada sebagian shohabat, seperti Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab radliyallahu ‘anhuma, yang menyebarluaskan mush-haf indepnden. Mushaf itu mereka susun sendiri sesuai keyakinan mereka yang berbeda dengan mushaf resmi. Kemudian mereka mengajarkan apa yang mereka yakini itu kepada murid-murid mereka. Oleh karena itu -masih kata mereka-, pada masa awal, teks dan bacaan Al Qur’an di kalangan kaum muslimin itu sangat bervariasi.
Kedua, Mush-haf `Utsmani tidak memiliki titik6 dan tidak memiliki tanda vokal (harokat: fat-hah, kasrah, dhomah). Ketiadaan titik dan harokat inilah yang menurut mereka melahirkan keragaman dan kesimpang-siuran dalam cara pembacaan Al Qur’an (qiro’ah). Sehingga -menurut mereka- pada masa awal, kaum muslimin memiliki bacaan yang tidak menentu. Bacaan ini baru mapan ketika otoritas “ortodoksi islam”7 memberikan dukungan politik terhadap qiro’ah as sab’ah (qiroah riwayat Imam yang tujuh). Menurut mereka, kemapanan ini baru terjadi pada abad IV H.
Ketiga, rasm (bentuk penulisan) Mush-haf `Utsmani mengandung taks-teks yang janggal, karena ada bagian-bagian yang tidak sinkron dengan pelafalan dan tidak konsisten dalam penulisan. Mereka menuduh bahwa ketidakkonsistenan dalam penulisan itu terjadi karena kesalahan tulis atau penggunaan dialek yang tidak menentu (setengah-setengah) .
Keempat, unifikasi yang dilakukan otoritas `Utsman ini dituduh secara otomatis telah berusaha meniadakan varian bacaan yang dilegitimasi oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama sendiri, yaitu bahwa Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf”. Dengan asumsi bahwa mush-haf `Utsmani tidak mencakup apa yang disebut sebagai “tujuh huruf” secara keseluruhan, berarti Mush-haf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an.
Oleh karena permasalahan- permasalahan tadi, mereka memberikan penilaian yang sumbang terhadap mushaf yang dikompilasi oleh para shohabat tersebut (mushaf utsmaniy). Untuk menyelesaikan “permasalahan- permasalahan” yang terkandung dalam mush-haf yang disepakati itu, mereka berusaha menyusun mush-haf modern yang lebih baik, objektif, dan lebih ilmiah. Seakan-akan mereka ingin menghadirkan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah diusahakan oleh para shohabat ridlwaanullaah ‘alaihim. Dari sini saja sudah terlihat kekonyolan dari proyek penyesatan bergaya intelektual ini. Kali ini kita akan membahas masalah pertama dan kedua dan menjawab syubhat yang mereka lontarkan. Laa haula wa laa quwwta illa billaah!8
Apa Yang Disebut Dengan Mush-haf Al Imam Alias Mush-haf `Utsmani
Karena yang menjadi sumber permasalahan adalah apa yang disebut dengan Mush-haf `Utsmani, maka tidak bisa tidak kita harus mendiskripsikan terlebih dahulu apa yang disebut Mushaf ‘Utsmaniy. Mush-haf Utsmaniy bukanlah mush-haf yang dimiliki secara pribadi oleh kholifah `Utsman radliyallahu ‘anhu. Melainkan, mush-haf yang ditulis (disalin) dari shuhuf Al Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa pemerintahan Kholifah Abu Bakar radliyallahu ‘anhu oleh sekelompok shohabat radliyallahu ‘anhum yang ditunjuk oleh kholifah `Utsman radliyallahu ‘anhu. Jadi mush-haf `Utsmani ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang telah dikumpulkan oleh para shohabat rdlwaanullah ‘alaihim pada masa pemerintahan Abu Bakar radliyallahu ‘anhu. Sebab, mush-haf `Utsmani hanya merupakan salinan dari apa yang dikumpulkan sebelumnya. Oleh karena itu, kita perlu melihat bagaimana para shohabat mengumpulkan shuhuf -lembaran-lembaran terpisah- tersebut pada masa Abu Bakar radliyallahu ‘anhu.
Motivasi pengumpulan shuhuf. Perang Yamamah menggugurkan sekitar 70 orang huffadz ternama. Oleh karena itu, ada kekhawatiran jika hal itu terjadi terus, maka shuhuf/lembaran-lembaran ayat-ayat yang ada di tangan para huffadz itu akan ikut sirna bersama kematian mereka. Sehingga Umar radliyallahu ‘anhu mengusulkan kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu agar negara melakukan usaha pengumpulan shuhuf yang ada ditangan para shohabat radliyallahu ‘anhum.9 Kemudian Abu Bakar radliyallahu ‘anhu menunjuk beberapa orang panitia pengumpulan yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu.
Apa yang dimaksud dengan pengumpulan shuhuf. Panitia yang dipimpin Zaid radliyallahu ‘anhu bukan mengumpulkan bacaan atau hafalan dari para shohabat,10 melainkan mengumpulkan dokumen otentik berupa tulisan wahyu yang ada pada tulang, lempengan batu, lembaran kulit, atau pelepah kurma yang merekam pendektean ayat-ayat Al Qur’an oleh Nabi `alaihish sholatu was salam kepada para shohabat radliyallahu ‘anhum. Jadi, para shohabat ra ingin mengumpulkan dokumen yang ditulis langsung di hadapan Nabi `alaihish sholatu was salam. Sebab, kalau sekedar hafalan, maka para shohabat tidak butuh pengumpulan, karena banyak sekali di antara mereka yang hafal Al Qur’an secara utuh di luar kepala yang setiap saat mereka gunakan untuk sholat, tilawah, inthimbat dan beristidlaal. Saat Nabi `alaihish sholatu was salam wafat, tak terhitung orang yang hafal Al qur’an secara keseluruhan. Ada satu kasus, di mana para shohabat ra benar-benar tahu dan hafal mengenai ayat terakhir dari surat Baro’ah ( At Taubah), akan tetapi mereka sedikit bingung karena belum seorang pun datang membawa dokumen yang mencatat ayat itu. Tapi kemudian, ayat itu ditemukan pada catatan yang dibawa oleh Abu Khuzaimah ra –yang oleh Nabi `alaihish sholatu was salam, kesaksiannya disetarakan dengan dua orang.11 Ini menunjukkan bahwa panitia waktu itu sedang berusaha menyalin dan mengumpulkan dokumen, bukan sekedar redaksi saja. Sebab pada hakekatnya, apa yang mereka kumpulkan dan mereka salin itu telah mereka hafal sebelumnya.
Metode pengumpulan. Pertama, panitia melakukan pengumuman kepada seluruh shohabat ra di Madinah (jumlah mereka belasan ribu). Umar ra berseru kepada semua orang: “siapa yang telah mengambil Al Qur’an dari Rasulullah maka hendaklah ia datang dengannya!”.12 Diriwayatkan juga bahwa Bilal bin Rabah ra berkeliling kota untuk mencari shohabat ra yang memiliki dokumen Al Qur’an.13 Jadi ini merupakan proyek massal yang terbuka dan diikuti oleh seluruh shohabat. Sehingga tidak bisa disebut sebagai “mush-haf versi penguasa”.
Kedua, panitia duduk di depan masjid, kemudian hanya menerima sesuatu yang padanya terkumpul padanya tiga syarat, yakni:
· Berupa dokumen tertulis
· Apa yang ditulis itu telah dikenal dan dihafal oleh banyak shohabat
· Disertai dua saksi yang menyaksikan bahwa dokumen itu memang ditulis di hadapan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama.14
Bukanlah suatu hal yang aneh jika ada individu-individu shohabat ra ada yang mengira sesuatu yang ada padanya (berupa catatan) itu adalah Al Qur’an, padahal bukan. Atau bisa jadi ada yang mengira bahwa hafalannya lengkap, ternyata tidak lengkap. Maka ditetapkanlah kriteria yang semacam itu. Oleh karena itu, panitia sempat menolak informasi Umar ra tentang ayat rajam. Juga menolak informasi Ummul Mukminin Hafshoh radliyallahu ‘anha mengenai frase “wa sholaatil `ashr” di belakang kalimat “haafidhuuna `alaa sholawaati wustho”, Juga tidak dimasukkannya kata wadzdzakari wal untsaa yang diinformasikan oleh Abu Darda’ ra setelah kalimat “wallaili idzaa yaghsyaa”. Juga tidak memasukkan kata “muttatabi’at” yang diriwayatkan oleh Ubay bin Kaab ra diantara fashshiyaamu tsalaats ayaam dan fii kifaarat al yamiin.15
Bagaimana pun juga, hasil kompilasi yang dilakukan oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit ra merupakan suatu hal yang kuat, bahkan benar secara pasti, di tinjau dari metode yang digunakan. Sebab, apa yang dihasilkan merupakan sesuatu yang diperkuat oleh kesaksian orang banyak. Maka jika riwayat-riwayat tentang ke-”anomali” -an teks yang dimiliki sebagian shohabat ra itu benar, maka tentu saja kesaksian orang banyak lebih diunggulkan. Karena sangat mungkin anomali itu terjadi karena faktor human error pada individu. Oleh karena itu, para sohabat ra secara keseluruhan menerima mush-haf yang merupakan hasil usaha bersama mereka itu.
Ketiga, panitia menyalin semua ragam dokumen yang sah. Ayat-ayat yang memilikii dua bentuk penulisan disalin juga dalam dua bentuk. Misalnya, Al Hadid 24 ditulis dengan dua bentuk: “fa innallaha ghiniyyul hamiid” dan “wa innallaha ghoniyyul hamiid”, juga Asy-syams 15: wa laa yakhoofu `uqbaahaa” dan “fa laa ya khoofu `uqbaahaa“. Kedua bentuk ini dinilai setara, sama-sama berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, dari Jibril as, dari Allah SWT. oleh karena itu, menurut A’zami, panitia menuliskannya pada dua lembar yang berbeda, bukan salah satu ditempatkan di tubuh teks sementara yang lain dalam cacatan pinggir.16 Dengan demikian tidak ada wahyu yang tercecer.
Kemudian semua di satukan dan disimpan di kediaman Abu Bakar radliyallahu ‘anhu Setelah Abu Bakar ra maninggal, dokumen itu disimpan oleh Umar ra, kemudian disimpan oleh Ummul Mukminin Hafshoh binti Umar radliyallahu ‘anha.
Penyalinan pada masa `Utsman. Ketika Shohabat `Utsman bin `Affan ra menjadi kholifah, wilayah kekuasaan islam mulai sangat luas. Hudzaifah bin Yaman ra melaporkan adanya kejanggalan- kejanggalan yang dilakukan umat ketika membaca Al Qur’an. Cara baca mereka terhadap Al Qur’an terpengaruh oleh dialek lokal. Oleh karena itu, para shohabat ra berinisiatif untuk menyalin dan memperbanyak mush-haf yang standar berdasarkan shuhuf yang telah dihimpun pada masa Abu Bakar radliyallahu ‘anhu. Kali ini `Utsman radliyallahu ‘anhu meminta kembali Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu untuk memimpin panitia penyalinan mush-haf.17 Kemudian mush-haf dicopy sebanyak tujuh buah. Hasilnya kemudian dibacakan kepada para shohabat ra, dan tidak ada yang mengingkari.18 Masing-masing copy memiliki keunikan (tidak ada yang sama persis). Ini semata-mata mengacu pada dokumen yang sudah ada. Kemudian mushhaf-mushhaf tersebut dikirim ke Makkah, Syam, Bahrain, Bashrah, Kufah, Yaman dan satu lagi disimpang di Madinah.19 Sebenarnya, pengiriman ini bukan sekedar pengiriman satu jilid buku. Melainkan buku bersama seorang instruktur. `Utsman ra menyertakan seorang huffadz ke setiap daerah bersama copian mushhaf. Sehingga kaum muslimin memiliki kitab dan mengetahui cara baca yang standar yang diajarkan oleh sang instruktur.20
Tentang Motivasi `Utsman radliyallahu ‘anhu
Sebagaian umat islam -yang merasa hina di hadapan orientalis- ikut-ikutan mengatakan bahwa mush-haf yang saat ini kita pegang pantas untuk diragukan. Alasannya karena penyusunannya mengandung unsur campur-tangan penguasa. Mereka menuduh bahwa mush-haf ini hanya merupakan wujud hegemoni kekuasaan. Taufik Andnan Amal mengatakan bahwa instruksi `Utsman ra agar panitia penyalin mush-haf menulis Al Qur’an dengan dialek Quraisy -jika ada kebingungan- merupakan bukti adanya hegemoni kaum Quraisy. Padahal –menurutnya- seharusnya tidak boleh demikian. Bahkan, ia juga menyertakan informasi sampah yang menuduh bahwa sebenarnya `Utsman radliyallahu ‘anhu tidak menunjuk seorang panitia pun. Kemudian Mush-haf Al Imam beliau susun sendiri. Tuduhan ini dilontarkan untuk mempertegas adanya kepentingan penguasa –khususnya `Utsman radliyallahu ‘anhu - dalam proyek unifikasi Al Qur’an.
Ini adalah tuduhan yang tidak sepantasnya keluar dari mulut seorang muslim. Apakah mereka tidak sadar? Dengan tuduhan itu berarti mereka telah menganggap `Utsman radliyallahu ‘anhu dan para shahabat ridlwaanullah ‘alaihim -yang telah ikut mensyiarkan agama ini- sebagai orang yang telah melakukan dosa besar yang tidak terampuni. Sebab mereka telah menuduh para shohabat melakukan kebohongan atas nama Allah. Padahal ada sebuah hadits mutawaatir, bahwa Nabi `alaihish sholatu was salam bersabda “barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka dia telah mengambil tempat duduknya di neraka”. Oleh karena itu, Umar radliyallahu ‘anhu meminta setiap orang yang mengutarakan hadits untuk mendatangkan saksi. Dan Ali radliyallahu ‘anhu meminta siapa saja yang memberitakan hadits untuk bersumpah. Itulah ketelitian para shohabat ra dalam mengambil agama ini. Jika berdusta atas nama Nabi `alaihish sholatu was salam saja pasti masuk neraka, bagaimana jika para shahabat telah mendustakan ayat-ayat Allah seperti apa yang mereka tuduhkan? Padahal mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang agama ini, setelah Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, dan mereka adalah orang-orang yang paling takut terhadap Allah, setelah Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. Apakah mungkin mereka melakukan dosa semacam itu?
Lagi pula, Al Qur’an memiliki posisi yang sangat penting. Penyelewengan sekecil apa pun akan sangat membahayakan umat. Jikalau benar `Utsman radliyallahu ‘anhu menuruti hawa nafsu beliau, kemudian menyertakan kepentingan politik beliau dalam proyek ini, apa mungkin seluruh shohabat diam berpangku tangan? Jika tuduhan itu benar, dan para shohabat diam menyaksikannya, maka para shohabat harus memiliki salah satu dari dua karakter, yaitu bodoh atau fasik.
Kemungkinan pertama jelas tidak mungkin. Apakah mereka adalah orang-orang bodoh yang mudah ditipu begitu saja? Apakah mereka tidak hafal Al Qur’an, sehingga tidak tahu jika terjadi penyimpangan? Padahal Al Qur’an itu mereka gunakan untuk sholat, dan beristinbat. Apakah mungkin mereka tidak tahu jika Utsman radliyallahu ‘anhu mengutak-atik Al Qur’an?
Kemungkinan kedua juga tidak mungkin. Mereka tahu ketidak-beresan dalam penyalinan mushaf, tapi mereka menutup mata akan hal itu. Itu berarti mereka fasiq. Apakah generasi terbaik dari umat ini -yang Allah ridlo terhadap mereka- telah menjual Al Qur’an dengan kehidupan dunia? Atau pakah mereka orang-orang yang takut mati dalam menjaga kemurnian Kitabullah sehingga mereka diam dan berpangku tangan? Tidak mungkin. Bahkan mereka adalah orang-orang yang sangat mumpuni dalam agama, dan mereka lebih menyukai kematian dari pada menyaksikan bencana semacam itu menimpa Al Qur’an? Ini adalah karakter yang hanya dimiliki oleh orang-orang mukmin, dan tidak dimiliki oleh orientalis. Jika tuduhan itu benar, pasti `Utsman radliyallahu ‘anhu langsung menghadapi acungan pedang dari para shohabat. Kenyataannya, hal itu tidak terjadi. Pengalaman mereka bersama Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama selama di Makkah dan Madinah, serta masa-masa di bawah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam membela islam dan menyebarkannya, telah membuktikan kualitas mental dan kesetiaan mereka pada kebenaran. Mereka lebih cinta kepada kebenaran dari pada kehidupan. Orang yang tega melakukan tuduhan seperti apa yang dilemparkan oleh Taufik itu hanyalah orang yang tidak mengenal dan tidak menghargai perjuangan para shohabat ridlwanullah ‘alaihim. Tapi anehnya, mereka justru mengelu-elukan “jerih payah” orientalis dalam merong-rong agama Allah, seperti Jeffery. Apakah orientalis memiliki dokumen yang lebih valid dari apa yang ada pada para shohabat? Atau, kalau mereka menyangka bahwa Utsman radliyallahu ‘anhu memiliki motiv politik, lantas apakah mereka -orientalis yang ingin menyusun Al Qur’an edisi kritis- adalah orang-orang yang ikhlash, tidak punya tendensi dan motiv apa pun dibalik usahanya itu? Kenapa orang seperti T.A.A. tidak punya otak yang sehat? Dia kritis kepada shohabat dan melemparkan tuduhan yang keji terhadap mereka, tapi percaya sepenuhnya pada para orientalis. Di mana orang-orang seperti ini telah meletakkan otaknya? Wallahu a’lam
Tentang Mush-haf Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab
Menurut orientalis, mush-haf Ubay radliyallahu ‘anhu berbeda dengan mushhaf yang disepakati dalam hal bahwa mushaf Ubay bin Kaab radliyallahu ‘anhu memuat dua surat ekstra, yang bernama al khala’ dan al hafad. Sedangkan mush-haf Ibn Mas’ud ra menurut mereka berbeda dengan mush-haf yang disepakati dalam tiga hal: 1. Memiliki susunan surat yang berbeda; 2. Tidak memasukkan surah Al Fatihah dan muawidzatain; 3. Memiliki perbedaan morfologi teks dengan mushaf ‘Utsmaniy. Ini adalah tuduhan yang dilontarkan oleh Arthur Jeffery.21
Mengenai Al Khala dan Al Hafad, para muhadditsuun menilai riwayatnya palsu. Sebab pada jalurnya terjadi keterputusan sanad (munqothi’) sepanjang tiga generasi (Thobaqot).
Tentang adanya masalah perbedaan susunan surat dalam mushhaf Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu, kalau pun benar, hal itu tidak menjadi soal. Sebab, menurut pendapat yang kuat, susunan surat tidak bersifat tauqifi.22 Yang harus urut hanyalah susunan ayat dalam surat.
Mengenai adanya penghilangan Al Fatihah dan muawidzatain kebenarannya faktanya diperselisihkan. An Nawawi rahimahullah dan Ibnu Hazm rahimahullah menganggap riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu tidak menganggap Al Fatihah dan muawidzatain sebagai Al Qur’an adalah syadzdz, bahkan palsu. Al Biqillaniy rahimahullah juga menyatakan demikian. Sebab, menolak ayat yang mutawaatir adalah kafir. Sementara Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menganggap riwayat-riwayat itu shohih. Tetapi beliau yakin bahwa penolakan Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu terhadap Al Fatihah dan muawidzatain adalah tidak mungkin. Al Hafidz rahimahullah menduga, pendirian itu adalah pendirian Abdullah radliyallahu ‘anhu yang lama, sebelum adanya proses kompilasi.23
Tentang adanya perbedaan teks, sumbernnya tidak jelas.24 Kalau pun ada, bagaimana pun ia tidak bisa mengganggu ketangguhan teks yang disepakati oleh sebagian besar shohabat radliyallahu ‘anhum. Sebab, naskah yang dikumpulkan para shohabat radlwaanullah ‘alaihim terbukti benar secara meyakinkan. Mendudukkan teks ahad -yang tidak teruji- secara sejajar dengan naskah `Utsmani yang mutawaatir sehingga keberadaan teks janggal itu dianggap perlu dipertimbangkan adalah sikap yang tidak ilmiah sama sekali. Informasi dari seseorang yang berlawanan dari informasi yang dikuatkan oleh banyak orang tentu saja harus ditolak. Dan kami yakin, Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pun akan bersikap demikian.
Naskah `Utsmani bersumber dari dokumen asli, yang dicek langsung oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. Sedang apa yang mereka klaim sebagai teks Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu itu tidak jelas dari mana asal-usulnya. Dan kalau pun benar bahwa mush-haf Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu memang menyalahi teks `Utsmani, mana yang kita pilih? Tidak ada yang menjamin bahwa teks itu dilegitimasi oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. Sedang yang ada di tangan kita adalah sesuatu yang teruji otentitasnya.
Kesimpulannya, para orietalis benar-benar tidak ilmiah dalam menggkritik mushhaf Al Imam. Mereka tidak memandang samasekali usaha objektif yang dilakukan oleh para shohabat radliyallahu ‘anhum yang terlibat dalam pelembagaan Al Qur’an, mulai dari pengumpulan pada masa Abu Bakar radliyallahu ‘anhu sampai penyalinan pada masa `Utsman radliyallahu ‘anhu. Kemudian mereka memanfaatkan informasi-informasi yang janggal dan tidak jelas asal-usulnya untuk meruntuhkan kepercayaan umat kepada mushhaf Al Qur’an yang dikompilasi dengan sumber dan metode yang benar-benar aman. Apakah mereka ini memang lebih menyukai hal-hal yang aneh, janggal dan lemah? Atau mereka memang dibayar untuk itu?
Tentang Variasi Bacaan25
Para orientalis, dan orang-orang yang tidak tahu, mengatakan bahwa pada awalnya, bacaan Al Qur’an relatif tidak menentu. Menurut mereka penyebabnya adalah ketiadaan titik pada mushhaf “Utsmaniy yang dapat membedakan huruf-huruf yang memiliki bentuk yang sama. Tanpa titik, huruf ta’ bisa dibaca ba’, tsa’, ya’ atau nun; huruf jim bisa dibaca ha’, atau kho’; huruf za’ bisa dibaca ro’; dst. Contoh dalam Qiroah adalah surat Al Baqoroh 250 pada kalimat wa-ndhur ila-l `idhoomi kayfa nunsyizuhaa. Ini yang ada pada mushhaf yang umum di Indonesia, berdasar riwayat imam Hafs. Sementara ada yang membaca wa-ndhur ila-l `idhoomi kayfa nunsyiruhaa. Yang pertama memakai huruf za’, dan yang kedua dengan huruf ro’.
Tidak adanya tanda vokal (harokat) juga dituduh sebagai penyebab kesimpang-siuran. Tanpa harokat, orang bisa memarfu’kan yang manshub atau memanshubkan yang marfu’. Contoh perbedaan seperti ini dalam qiro’ah banyak, diantaranya adalah Al Baqoroh ayat 37. Satu qiroah membaca dengan fa talaqqoo Aadamu mir-Robbihii kalimaatin, yaitu Adam dalam posisi marfu’, sedangkan kalimah dalam posisi manshub, sementara yang lain membaca dengan fa talaqqoo Aadama mir-Robbihii kalimaatun, di sini Adam manshub dan kalimah justru marfu’.
Tidak ada harokat juga bisa menyebabkan perbedaan tashrif (perubahan bentuk kata). Contohnya fa qooluu Rabanaa baa’id baina asfaarinaa, ada yang membaca fa qooluu Rabbanaa ba’-`ada baina asfaarina (tasyid pd `ain fi’il) atau baa’ada baina asfaarina. Ini adalah surat Sabaa’ ayat 19.
Tidak ada harokat juga meyebabkan perbedaan dalam menganggap sebuah kata sebagai tunggal (mufrad), tatsniyah, atau jama’. Contohnya surat Al Mu’minuun pada kalimat walladziina hum li aamaanaatihim wa `ahdihim roo’uun (perhatikan lafadz jamak pada amanat). Tapi ada yang membaca amanat dengan mufrod, walladziina hum li amaanatihim wa `ahdihim roo’uun.
Dalam surat Al Fatihah, surat yang paling sering dibaca, ada sedikit perbedaan qiroah yang menyebabkan perbedaan makna. Yaitu pada lafadz maaliki yaumiddiin (pemilik hari pembalasan), tapi ada yang membaca maliki yaumiddiin (ma pendek = penguasa/raja) .
Tapi, apakah benar yang menyebabkan perbedaan ini adalah kebodohan kaum muslimin dalam membaca Al Qur’an? Jawabnya bukan. Alasannya ada dua:
Pertama. Seluruh qiroah yang dicontohkan adalah qiroah yang tidak muncul dari hasil uthak-athik ulama, bukan juga hasil ijtihad ulama. Melainkan, semua itu diterima kaum muslimin dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama secara mutawaatir. Jadi, walau berbeda-beda, tetapi tetap dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, dari Jibril as., dari Allah SWT jua. Qiroah mutawatir itu telah dihimpun oleh ulama pada masa tabiut tabi’in. mereka dikenal dengan imam qiroah yang tujuh. Cara baca Al Qur’an ini mereka terima dari Tabi’in, tabi’in menerima dari shohabat ra, dan shohabat ra menerima dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. Dan Qiroah tidak diakui jika diterima melalui jalur ahad, sekalipun shohih atau masyhur, seperti qiro’ahnya Hasan Al Bashriy rahimahullah.
Kedua, umat islam ini bukan dengan tiba-tiba menemukan kitabnya di kolong tempat tidur, kemudian berusaha membacanya. Atau seperti orang yang menemukan Al Qur’an di salah satu rak di toko buku, baru kemudian bacanya sendiri di rumah. Jika Al Qur’an didapat secara seperti itu, wajar jika terjadi kesimpang-siuran mengenai cara membacanya. Tapi, para ulama menerima Al Qur’an dengan metode yang hati-hati. Mereka menerima bacaan secara talaqi -pembicaraan melalui tatap muka- dari para hufadz yang memiliki jalur periwayatan yang bersambung. Dengan begitu, teks bukanlah satu-satunya sandaran dalam membaca. Sandaran utama dalam membaca Al Qur’an di samping teks adalah hafalan yang diwariskan dari guru ke murid.
Pada masa awal, umat islam hanya belajar secara talaqi dengan guru yang menerima Al Qur’an dengan sanad yang kuat dan bersambung kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama (bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang memiliki sanad qiroah yang bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama). Mereka juga hanya belajar pada ulama yang kapabilitasnya diakui dalam qiroah, yang memiliki sanad baik, kewara’an, dan keakuratan tinggi. Pada awalnya mushhaf tidak dijual. Mushhaf hanya bisa didapat oleh seorang murid ketika dia nyantri kepada seorang qori’ yang memiliki sanad bersambung sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama dan dia menyelesaikan hafalannya di depan sang guru. Kemudian setelah bacaannya mantap, dia akan dinyatakan lulus, kemudian akan beralih untuk mempelajari tsaqofah islam yang lain, seperti hadits dan fiqh. Tapi, belajar Al Qur’an bukanlah satu-satunya menu pertama bagi ulama awal. Menu pertama mereka yang lain adalah bahasa Arab yang mereka pelajari sejak kecil di suku-suku pedalaman Arab (seperti yang dilakukan oleh imam kita, Al Imam As Syafi’iy rahimahullah, dll). Sehingga, mereka tidak menemui banyak kesulitan ketika mempelajari Al Qur’an, dengan mufrodat, I’rab, dan tashrifnya.
Dengan dua hal tadi, tuduhan orientalis tentang masalah ragam qiroah benar-benar tidak dapat dibenarkan.
Demikian, semoga cacatan kecil ini bisa memotivasi saudara-saudara kami untuk lebih mencintai Al Qur’an, dan menghargai perjuangan para ulama untuk merawatnya. Syukur-syukur kita berusaha bergabung untuk menjadi salah satu penjaganya. Di atas semua itu, tak ada yang lebih membahagiakan dari mengharapkan ridloNya. Alaa hal balaghtu, Allahumma fasyhad! Wa shollallahu ‘ala sayyidina Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin[_titok_] (www.syariahpublications.com)
====================================
JADI tidak usah repot-repot mengahadapi riwayat ini. Pengingkaran Abu Darda’ terhadap bacaan orang-orang itu tidaklah benar. Abu Darda’ boleh-boleh saja memiliki bacaan sendiri yang ia dengar langsung dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi bacaan yang mutawatir dan menjadi aqidah bagi kaum muslimin termasuk kami pribadi adalah apa yang tertera di dalam Kitab Al Qur’an. Inti dari tulisan ini bukanlah untuk merendahkan sahabat baik Abu Darda’ atau Ibnu Mas’ud tetapi untuk membuka mata para penghujat yang sibuk menuduh adanya tahrif dalam Al-Qur’an
Wallahua’alam
Rujukan
1. Akaha, Abduh Zulfidar. 1996. Al Qur’an dan Qiro’at. Pustaka Al Kautsar: Jakarta
2. Al Azami, Muhammad Musthofa. 2005. Sejarah Teks Al Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi. Gema Insani Press: Jakarta
3. Al Qothon, Mana’ Kholil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Litera AntarNusa: Jakarta
4. An Nabhani, Taqiyudin. 2003. Syakhshiyah Islam Jilid I. Pustaka Thoriqul Izzah: Bogor
5. Ash Shobuni, Muhammad Ali. 1996. Pengantar Studi Al Qur’an ( At Tibyan). Pt. Al Ma’arif: Bandung
6. As Suyuti, Jalaludin.2006. Samudera Ulumul Qur’an Jilid I (Al Itqon fii Ulumil Qur’an). Bina Ilmu: Surabaya
7. Assyaukanie, Lutfi. 2002. Wajah Liberal Islam Indonesia. Jaringan Islam Liberal: Jakarta
8. Atho’ bin Kholil. 2003. Ushul Fiqh, Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis. Pustaka Thoriqul Izzah: Bogor
9. Ramadlan, Syamsuddin. 2001. Absahkah berdalil dengan Hadits Ahad Dalam Aqidah dan Siksa Kubur. Hanifah Press: Jakarta
10. Majalah “Islamia“, tahun 2004, edisi Juni-Agustus. Penerbit Khoirul Bayan dan INSIST
1 Dikutip M. M. Azamy dalam Sejarah Teks Al Qur’an; juga Adian H. dan Henri S. dalam Studi Komparatif: Konsep Al Qur’an Nashr Hamid dan Mu’tazilah. Islamia edisi Juni-Agustus 2004, dari Tobby Lester dalam The Atlantic Mounthly. Dengan penambahan di dalam kurung.
2 Artikel berjudul Edisi Kritis Al Qur’an, dalam Wajah Liberal Islam Indonesia (Ed. Lutfie Assyaukanie) .
3 Dikutip dari pemaparan Taufik dalam sebuah diskusi di Teater Utan Kayu, 9 Juli 2001. Lihat: ibid
4 Ini hanya disimpulkan dari waktu munculnya buku kompilasi qiro’ah tujuh oleh Ibn Mujahid dalam kitab Sab’ah fil Qiro’ah. Juga dari mulai adanya hukuman terhadap Ibn Sanbudh yang meremehkan naskah `Utsmani, dan terhadap Ibn Miqsam yang meremehkan jalur transmisi qiro’ah. Bahkan hanya berdasar pernyataan Ibnu Nadim dalam Al Fihrist dari abad IV dimana beliau masih melihat mush-haf Ibn Mas’ud, `Ali, dll pada masa itu.
5 Buku berjudul Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an itu diantarkan oleh Pengarang Al Mishbah tanpa komentar kritis sedikitpun.
6 Titik-titik yang membedakan huruf-huruf yang memiliki kesamaan bentuk, seperti antara ba’, ta’, tsa’, ya’, dan nun; atau seperti jim, ha’, kho’; antara fa’ dengan qof; atau shod dengan dlod, antara tho’ dengan dho’, antara ro’ dengan za’, áin dengan ghoin dan antara syin dengan sin
7 Sebuah label yang mereka berikan kepada jumhur umat islam sebagai lawan dari kelompok-kelompok pinggiran dan sempalan. Kaum orientalis dan pembebeknya lebih suka memanfaatkan data dari kaum pinggiran yang memiliki pendirian aneh dan janggal daripada pendapat jumhur –yang selalu diasosiasikan sebagai “aliran ortodok yang berkuasa”. Label ini mengesankan bahwa pendirian sebagian besar kaum muslimin mereka anggap tidak pernah muncul sebagai pendirian yang jujur, ilmiah dan objektif, melainkan hanya sekedar pembelaan terhadap madzhab yang kebetulan dominan dan berkuasa.
8 Untuk jawaban masalah ke-3 dan ke-4 bisa dibaca dalam: An Nabhaaniy, Syakhshiyah I, Atho’ bin Kholil, Ushul Fiqh; Al Azami, Sejarah.
9 Dari sini bisa dibayangkan jika islam berdiri tanpa negara! Bahkan Al Qur’an pun mungkin tidak bisa terselamatkan.
10 Yang disebut Shohabat adalah orang muslim yang menjadi sahabat/kawan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. dan mati dalam keadaan muslim. Allah memuji jamaah mereka dengan keutamaan yang tanpa batasan dan tanpa pengecualiaan.
11 Atho’ bin Kholil, Ushul Fiqh; Ash Shobuniy, At Tibyan; Al A’zami, Sejarah; An Nabhaniy, Syakhshiyah.
12 Ibid.
13 A’zami, op. Cit.
14 Ash Shobuniy, At Tibyan; Al A’zami, Sejarah; An Nabhaniy, Syakhshiyah; As Suyuti, Al Itqon,
15 Ramadlan, Absahkah
16 Al A’zami. Op. Cit.
17 Atho’ bin Kholil, Ushul Fiqh; Ash Shobuniy, At Tibyan; Al A’zami, Sejarah; An Nabhaniy, Syakhshiyah
18 Al A’zami. Op. Cit
19 An Nabhaniy, Syakhshiyah, Atho bin Kholil, Ushul Fiqh
20 Al A’zami, Op. Cit.
21 Andin Armas, Kritik Artur Jeffery Terhadap Al Qur’an
22 An Nabhaniy, Op. Cit.
23 Al A’zami. Op. Cit.
24 Ibid.
25 Semua contoh yang dihadirkan di sini bias di temukan di: akaha, Al Qur’an; Al Qothon, Studi; Atho’, ushul fiqh; Ash Shobuny, At Tibyan; Al A’zami, Sejarah
Sumber :Syariahpublications.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar