Bagian
Keduapuluh
Sejak abad ke-12
hingga 13, Bangladesh berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu atau Budha.
Kemudian, pada abad ke-13, pengaruh Islam masuk ke wilayah ini, sehingga
mayoristas penduduknya memeluk agama Islam. Pada tahun 1757, Inggris
menjajah anak benua India, termasuk Bangladesh. Ketika Inggris angkat kaki
dari kawasan itu, pada tahun 1947 berdirilah negara Islam Pakistan, yang
wilayahnya juga meliputi Bangladesh. Namun,
pada tahun 1971, Bangladesh
memisahkan diri dan menjadi negara yang independen.
Bangladesh memiliki
120 juta penduduk dan merupakan salah satu negara yang terpadat penduduknya
di dunia. Sembilan puluh persen populasi Bangladesh beragama Islam, dan
sisanya Hindu, Budha, dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian
besarnya miskin dan perekonomian negara yang lemah, membuat negara ini
menajdi lahan yang subur bagi perkembangan gerakan misionaris. Sebagaimana
yang mereka lalukan di negara-negara lainnya, para misionaris melakukan
kegiatannya di Bangladesh dengan berkedok memberi bantuan materi. Dengan
mendirikan lembaga-lembaga sosial yang memberikan bantuan kepada masyarakat,
mereka berusaha untuk menarik hati para warga pribumi Bangladesh. Para
misionaris di Bangladesh umumnya aktif di pedesaan yang padat penduduk.
Masuknya misionaris
ke Bangladesh memiliki sejarah yang panjang. Gerakan misionaris pertama
datang dari Portugis pada abad ke-16. Hingga tahun 1673, tercatat lebih dari
30.000 orang Bangladesh yang menganut agama Kristen Katolik. Pada tahun
1974, berdirilah gereja Katolik Roma yang ditangani oleh 260 misionaris
asing. Gerakan misionaris Protestan yang tertua di Bangladesh adalah British
Baptist Misionarries Society, yang mulai berjalan tahun 1793. Sampai tahun
1980, ada 21 kelompok misionaris Protestan yang aktif di Bangladesh dan
memiliki 270 pekerja asing. Grup misionaris terbesar bernama Association of
Baptist for World Evangelization yang memiliki 40 orang pekerja misionaris
asing.
Respon para
misonaris terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat miskin Bangladesh, seperti
bencana alam dan kelaparan, membuat banyak warga pribumi Bangladesh yang
menerima ajaran Kristen. Bahkan, gereja-gereja Baptis, Anglikan, dan Katolik
menyatakan bahwa mereka menerima permintaan dari seluruh desa dari kasta
Namasudra untuk menjadi pemeluk Kristen, tetapi permintaan itu belum bisa
terpenuhi karena kurangnya tenaga misionaris yang ada.
Penduduk Bangladesh
di daerah pegunungan umumnya bersuku-suku. Para misionaris menyadari bahwa
para anggota suku tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena
itu, mereka melakukan aktivitas misionarisnya secara menyeluruh dalam satu
suku, bukan dengan melakukan pendekatan secara perorangan. Seorang atau
sekelompok misionaris selama beberapa tahun hidup di sebuah suku dan
mengajarkan ajaran Kristen kepada warga suku tersebut. Karena tingkat
pendidikan warga pedesaan Bangladesh amat rendah, maka misionaris
menyampaikan ajaran mereka melalui dongeng-dongeng.
Mengenai
dongeng-dongeng rakyat Bangladesh ini, National News Agency of Bagladesh
menulis, “Para misionaris dari Inggris dan Amerika berperan besar dalam
pengumpulan dan penerbitan dongeng-dongeng rakyat Bangladesh. Karena tujuan
mereka adalah untuk menyebarkan Kristen di tengah masyarakat pribumi, mereka
mempelajari adat pribumi dengan tekun. Di antara para misionaris ini, yang
paling terkenal adalah William Carey. Dia mengajar di Fort William College
dari tahun 1800-1831 dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Bengali serta
menggalakkan penerjemahan dongeng dari bahasa Sanskerta yang sebelumnya
hanya didengar dari mulut-ke mulut.”
Para misionaris
mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan jalan terbaik untuk
mempengaruhi masyarakat. Karena itulah, mereka mendirikan sekolah-sekolah,
universitas, bahkan taman kanak-kanak. Di antaranya adalah empat sekolah
misionaris, yaitu “Bibble Correspondence School,” yang didirikan di kota
Dakka, ibu kota Bangladesh. Seorang misionaris di Bangladesh mengisahkan,
“Untuk memisahkan anak-anak dari orangtuanya, kami mendirikan banyak sekolah
yang jauh dari lokasi pemukiman masyarakat. Dengan cara ini, hubungan
anak-anak dengan orangtuanya terputus dan mereka sepenuhnya bergantung
kepada kami.”
Sebagaimana di
negara-negara lainnya, para misionaris di Bangladesh menanamkan modal yang
besar dalam bidang penerbitan buku-buku Kristiani. Lembaga-lembaga
misionaris yang ada aktif menerjemahkan Injil ke bahasa Bengali dan
mencetaknya dalam jumlah besar lalu menyebarkannya kepada masyarakatan
secara gratis. Menurut catatan sebuah lembaga misionaris “Bangladesh Bible
Society, pada tahun 1977 saja, dicetak sebanyak 2,055,757 naskah Injil
Perjanjian Baru.
Metode lain yang
digunakan para misionaris di Bangladesh adalah dengan menarik perhatian para
perempuan. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa lembaga didirikan, di
antaranya pusat pendidikan Holy Cross yang menyebarluaskan propaganda
kebebasan perempuan. Lembaga-lembaga ini bertujuan, kalaupun tidak berhasil
mengkristenkan kaum perempuan Bangladesh, minimalnya, mereka bisa
menyebarluaskan budaya Barat di tengah kaum perempuan.
Abdul Karim Khan,
seorang penulis Bangladesh pernah menulis tentang aktivitas misionaris di
negara itu. Dia menyatakan bahwa tujuan para misionaris adalah untuk
mengubah Bangladesh menjadi negara seperti Nigeria, yang jumlah muslim dan
Kristennya seimbang. Bila komposisi berimbang ini bisa dicapai, para
misionaris bisa mempengaruhi percaturan politik Bangladesh. Abdul Karim
Khan menulis sebagai berikut, “Pekerjaan para misionaris di Bangladesh
sangat membahayakan bangsa. Mereka mengikis habis keimanan kaum muslim yang
miskin serta menyebarkan ideologi politik dan kebudayaan Barat di
Bangladesh. Tak boleh dilupakan bahwa pelindung para misionaris ini adalah
negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, sebagian besar misionaris
cenderung patuh kepada kepentingan negara-negara Barat. Inilah yang menjadi
alasan bahwa dimanapun para misionaris melakukan aktivitasnya, maka negara
itu pasti akan berada dalam bahaya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar