Selasa, 17 Januari 2012

Sejarah Gerakan Misionaris Di Dunia Islam 18

Bagian  Kedelapanbelas
Pada masa pemerintahan Utsmani, para misionaris Barat merupakan salah satu alat untuk menyebarkan pengaruh pemerintahan Barat di wilayah itu. Mereka dengan berbagai metode berusaha untuk meningkatkan fanatisme kesukuan dan ras, serta menyebarkan perpecahan di antara rakyat sehingga memperlemah pemerintahan Utsmani yang merupakan satu-satunya pemerintahan di Eropa yang bermazhab resmi Islam ini.
Setelah runtuhnya pemerintahan Turki Utsmani dan naiknya Kamal Attaturk, para misionaris semakin banyak dan bebas menjalankan aktivitasnya di negara ini. Kebijakan politik Ataturk yang memukul
Islam sejalan dengan tujuan para misionaris. Penetapan hari Minggu sebagai hari libur yang mengantikan hari Jumat, mengganti huruf Arab dari bahasa negara ini dan menggantikannya dengan huruf latin, pembatalan penanggalan Hijriah dan menggantinya dengan penanggalan Masehi, adalah di antara langkah-langkah Attaturk dalam menyingkirkan nilai-nilai Islam dari tengah masyarakat Turki. Sebaliknya, Attaturk menyebarluaskan pengaruh kebudayaan Barat di negara  itu.
Secara umum, dewasa ini, politik Attaturk yang anti Islam masih dilanjutkan oleh sebagian pejabat negara ini, meskipun mendapatkan penentangan dari rakyat. Dengan kata lain, sebagian pejabat negara ini berusaha melemahkan budaya Islam di tengah masyarakat muslim Turki. Sejalan dengan itu, sebagian pejabat negara memberikan kebebasan kepada para misionaris untuk menjalankan aktivitas mereka. Meluasnya kegiatan misionaris Barat di Turki bahkan membuat dewan keamanan nasional negara ini mengganggapnya sebagai sebuah fenomena yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan laporan yang diungkapkan oleh Dewan Keamanan Nasional Turki, para misionaris selama tiga tahun, yaitu sejak tahun 1999 hingga 2001, telah menyebarluaskan tiga juta naskah Injil secara gratis di Tuki. Penyebaran Injil dalam jumlah yang amat besar itu membutuhkan dana yang besar pula. Berdasarkan laporan tersebut, selama satu tahun, di kota Istambul saja sudah 19 gereja yang didirikan. Hal yang menarik di sini adalah bahwa gereja-gereja itu didirikan di daerah-daerah yang tidak ada penduduk Kristennya. Para misionaris membeli atau menyewa unit-unit apartemen dan toko-toko, lalu menggunakannya sebagai tempat peribadatan ataupun gereja. Belum lama berselang, sementara para misionaris dengan bebas mengajarkan ajaran Kristen kepada para pemuda dan remaja di sekolah-sekolah, kelas-kelas pengajaran Quran malah diserang oleh oknum-oknum kepolisian.
Dalam sebuah laporan resmi disebutkan bahwa tujuan utama para misionaris lebih jauh dari sekedar menyebarkan ajaran agama. Tujuan utama mereka adalah memecah-belah Turki. Dalam usahanya ini, salah satu kegiatan para misionaris adalah menciptakan perpecahan antara bangsa Turk dan Kurdi. Para misionaris di tenggara Turki menyebarluaskan Injil dalam bahasa Kurdi dan menggerakkan rakyat Kurdi untuk menuntut agar bahasa Kurdi digunakan dalam pengajaran di sekolah-sekolah dan menyebarluaskan program dalam bahasa Kurdi.
Hubungan Partai Komunis Kurdi (KDK), yang sebelumnya bernama Partai Buruh Kurdi (PKK), dan gerakan separatis Kurdi dengan gereja adalah sebuah fakta yang harus diperhatikan. Sejak tahun 1983, gereja memiliki hubungan erat dengan kelompok-kelompok separatis. Perlu disebutkan pula bahwa gerakan separatis pertama yang terjadi di tenggara Anatolis pada tahun 1962, didalangi oleh para pakar AS yang terkait dengan gereja-gereja Katolik dan Anglikan.
Untuk mencapai tujuan politik dan budayanya, para misionaris Barat di Turki menggunakan metode yang berbeda-beda. Misionaris yang beraktivitas di tengah masyarakat fakir menipu masyarakat dengan tawaran kerja dan janji pemberian uang Sebaliknya, para fakir miskin itu diminta untuk mengenakan pakaian Kristiani.
Majalah Aidin Lik terbitan Turki, beberapa waktu yang lalu menyebutkan tentang adanya sebuah buku terbitan New York yang berisi "metode-metode misionaris Prostestan”. Dalam buku ini, secara jelas dituliskan bahwa lokasi terpenting aktivitas misionaris  adalah negara-negara Arab dan Islam. Kepada para misionaris, buku ini menuliskan pesan sebagai berikut. "Peluang terbaik bagi kita adalah di negara-negara yang baru lepas dari perang dan kondisinya diliputi kehancuran, kelaparan, dan standar hidup yang rendah. Daerah terbaik untuk menyebarkan agama adalah di pinggiran kota. Jika diperlukan, orang-orang yang tinggal di daerah-daerah seperti ini bisa dibeli.”
Penggunaan radio, televisi, serta bioskop adalah salah satu metode yang biasa dipakai para misionaris. Berdasarkan sebuah laporan penelitian pada tahun 1993, di antara film-film yang ditayangkan di televisi pemerintah dan swasta di Turki, sebagiannya merupakan propaganda Kristen. Dalam film ini, para pastor atau penyebar ajaran Kristen selalu digambarkan sebagai orang berwajah bersih dan orang yang baik. Sebaliknya, dalam sebagian besar film-film buatan Turki yang selama ini ditayangkan, para ruhaniwan Islam digambarkan sebagai orang yang kepribadiannya tidak simpatik sehingga tidak bisa menarik perhatian para pemuda dan remaja.
Menurut juru bicara pers Patrik Khan Ortodoks, segala organisasi atau lembaga yang dibangun oleh misionaris selalu saja melayani kepentingan para imperialis. Imperialisme menggunakan para misionaris sebagai senjata dan oleh karena itu,  misionaris amat berbahaya bagi Turki dan dunia.

Tidak ada komentar: