Selasa, 03 Januari 2012

Kajian Hadits Tentang Wafatnya Nabi Karena Pengaruh Racun



Pendahuluan
Di kalangan para ulama Islam, telah terjadi pro dan kontra seputar penyebab wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian pihak beranggapan bahwa Nabi wafat karena sakit panas-demam biasa, sedangkan pihak yang lain berkeyakinan bahwa Nabi wafat karena adanya pengaruh racun yang merasuk ke dalam tubuh beliau. Racun tersebut bersumber dari daging kambing beracun yang pernah beliau cicipi saat terjadinya perang Khaibar pada tahun 7 H. Daging kambing itu diberikan oleh seorang wanita Yahudi bernama Zainab binti Harits, istri Salam bin Misykam,
salah seorang pembesar Yahudi.
Menurut para ulama pakar sirah Nabi, diketahui bahwa beliau memang pernah menyantap daging kambing beracun pemberian seorang wanita Yahudi Khaibar. Kemudian paha kambing tersebut berbicara, memberitahu Nabi bahwa ia telah ditaburi racun. Beliau tidak melanjutkan santapannya. Tatkala beliau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, beliau bersabda, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit akibat makanan yang aku santap di Khaibar. Dan, inilah saatnya aku merasakan urat nadiku terputus karena racun tersebut.”[1] Untuk itu, tidak ada lagi ruang untuk keraguan atas pengaruh racun tersebut di jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah hal itu nyata-nyata termaktub di dalam kitab shahih dan kitab-kitab yang lain.[2]
Adapun Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi menegaskan bahwa wafatnya Rasulullah bukan akibat sakit dari makanan beracun yang disuguhkan untuk beliau di Khaibar oleh orang-orang Yahudi, walaupun rasa sakit itu masih terasa sampai beliau wafat. Kedudukan Rasulullah tidak mungkin lebih rendah dari para sahabat beliau yang telah mati syahid yang tetap hidup dan memperoleh rezeki dari Allah.[3]
Sedangkan, kalangan non muslim menjadikan isu wafatnya Nabi karena pengaruh racun tersebut sebagai sarana untuk ‘menggugat’ nubuwwat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Kenapa masalah racun ini sangat penting! Karena yang membunuh adalah wanita Yahudi yang ingin membuktikan kalau Nabi Muhammad itu adalah seorang nabi atau bukan. Orang Yahudi orangnya pintar, tidak seperti orang Arab atau orang Islam ‘kurang pintar’ lainnya. Mereka selalu menguji apa yang mereka dapat, tidak menelan mentah-mentah seperti umat Islam sekarang ini. Kalau dia benar-benar utusan Allah, kenapa Allah tidak memberitahukan sebelumnya? Makanya, kalau dia benar-benar utusan Allah, racun itu tentu tidak dimakan. Nah, bukan Islam namanya kalau tonggak keimanannya berdasarkan atas Injil dan Kristen. Jadi, tolok ukurnya pasti Kristen, padahal Injil dianggap dipalsukan. Pasti tanya bagaimana Yesus matinya. Sudah baca Quran atau Injil belum? Kata Quran, Yesus diselamatkan, tidak seperti Muhammad! Kata Injil, Yesus sendiri sudah tahu kalau waktunya sudah tiba, dan itu sudah dinubuwwatkan oleh kitab-kitab lama, dan dia akan dibangkitkan pada hari ketiga. Dia pun bilang ke salah satu rasulnya, kalau dia akan menyangkal tiga kali sebelum ayam berkokok. Dan semua benar. Mengerti tidak? Jelas-jelas Yesus lebih suci, dan Quran sendiri mengakuinya. Sekarang lihat! Tolong sebutkan satu ayat saja di dalam Al-Quran yang menyebutkan kalau Muhammad masuk surga!”[4]
Demikianlah, di kalangan umat Islam sendiri masih terdapat perbedaan pendapat seputar wafatnya Nabi karena pengaruh racun, sedangkan kalangan non muslim terus melancarkan berbagai propaganda untuk meruntuhkan bangunan kenabian di dalam Islam. Untuk itu, hadits-hadits tentang “racun Nabi” kiranya sangat urgen untuk dikaji lebih mendalam, agar bisa memberikan pemahaman yang komprehensif seputar wafatnya Nabi.
Redaksi Hadits
Adapun hadits pokok yang menjadi obyek pembahasan ini adalah sebagai berikut :
Hadits pertama :
وَقَالَ يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِي قَالَ عُرْوَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ إِنْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ
“Yunus berkata : Diriwayatkan dari Az-Zuhri, Urwah berkata : Aisyah x berkata, “Nabi n bersabda di kala sakit yang berakhir dengan wafatnya beliau, ‘Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang pernah aku makan di perang Khaibar. Dan inilah saatnya bagiku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun itu’.”[5]
Hadits kedua :
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ يَحْيَى الأَشْقَرِ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى الْمَرْوَرُّوذِىُّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ عُرْوَةُ كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا تَقُوْلُ : كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى مَرَضِهِ الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ يَا عَائِشَةُ إِنِّى أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِى أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ فَهَذَا أَوَانُ انْقِطَاعِ أَبْهَرِى مِنْ ذَلِكَ السُّمِّ.[6] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ فَقَالَ وَقَالَ يُونُسُ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, telah mengabarkan kepadaku Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Asyqar, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa Al-Marwarrudzi, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, telah menceritakan kepada kami Anbasah, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Ibnu Syihab, ia berkata : Urwah mengatakan : Aisyah x berkata, “Nabi n bersabda di kala sakit yang berakhir dengan wafatnya beliau, ‘Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang pernah aku makan di perang Khaibar. Dan inilah saatnya bagiku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun itu’.” Dikeluarkan oleh Bukhari di dalam Shahihnya, ia mengatakan : Yunus berkata…[7]
Beberapa hadits pendukung yang menceritakan kronologi diracunnya Nabi antara lain sebagai berikut :
Hadits pertama :
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ عَنْ هِلالٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مِنَ الْيَهُودِ أَهْدَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَسْمُومَةً فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَقَالَ مَا حَمَلَكِ عَلَى مَا صَنَعْتِ قَالَتْ أَحْبَبْتُ أَوْ أَرَدْتُ إِنْ كُنْتَ نَبِيًّا فَإِنَّ اللَّهَ سَيُطْلِعُكَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَبِيًّا أُرِيحُ النَّاسَ مِنْكَ. قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا احْتَجَمَ قَالَ فَسَافَرَ مَرَّةً فَلَمَّا أَحْرَمَ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَاحْتَجَمَ
“Telah bercerita kepada kami Syuraih, telah bercerita kepada kami Abbad, dari Hilal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita Yahudi menghadiahkan daging seekor kambing yang telah dibubuhi racun. Lantas, beliau mengutus seseorang agar menghadapkan wanita itu, beliau bertanya, “Apa alasanmu melakukan hal ini?” Ia menjawab, “Aku suka –atau aku ingin–, jika engkau benar seorang nabi, pasti Allah akan memberitahukan racun itu kepadamu. Namun jika engkau bukan seorang nabi, maka manusia tak akan lagi terganggu olehmu.” Ibnu Abbas menuturkan, “Apabila Rasulullah n merasakan sesuatu dari racun itu, beliau melakukan bekam. Suatu kali beliau sedang bepergian, ketika melakukan ihram beliau merasakan pengaruh racun tersebut, lantas beliau berbekam.”[8]
Hadits kedua :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَجِيْءُ بِهَا فَقِيْلَ أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ : لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdul Wahab, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Hisyam bin Zaid, dari Anas bin Malik a, bahwa seorang wanita Yahudi mendatangi Nabi n dengan membawa daging kambing beracun. Beliau telah memakan sebagiannya. Lantas wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah n dan beliau menanyainya tentang alasan tindakannya tersebut. Dikatakan, “Tidakkah kita membunuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak perlu.” Anas berkata, “Aku senantiasa mengetahui bekas racun tersebut di pangkal langit-langit mulut Rasulullah n.”[9]
Hadits ketiga :
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا رَبَاحٌ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِي عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أُمِّ مُبَشِّرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ فَقُلْتُ : بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تَتَّهِمُ بِنَفْسِكَ فَإِنِّي لاَ أَتَّهِمُ بِابْنِي إِلاَّ الطَّعَامَ الَّذِي أَكَلَهُ مَعَكَ بِخَيْبَرَ وَكَانَ ابْنُهَا بِشْرُ بِنُ الْبَرَّاءِ بْنِ مَعْرُوْرٍ مَاتَ قَبْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَأَنَا لاَ أَتَّهِمُ غَيْرَهَا هَذَا أَوَانُ انْقِطَاعِ أَبْهَرِي
“Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ja’far, telah mennceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Rabah : Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Ummu Mubasysyir, ia berkata, “Aku pernah menjenguk Rasulullah n saat beliau menderita sakit yang menyebabkan beliau wafat. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mencurigai sesuatu yang menyebabkan dirimu sakit? Sesungguhnya aku tiada mencurigai penyebab putraku meninggal, selain makanan yang ia santap bersamamu di Khaibar.’ Putranya, Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur telah meninggal sebelum Nabi n. Maka, Rasulullah n menjawab, ‘Aku tiada mencurigai selain ulah wanita Yahudi itu. Dan, inilah waktunya urat nadiku terputus’.”[10]
Pembahasan
Berbagai upaya pembunuhan terhadap Nabi Muhammad n telah banyak dilakukan oleh kaum Yahudi, bahkan sejak Nabi masih kecil. Di dalam kitab Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’d meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Ishaq bin Abdillah, bahwasanya ketika ibunda Nabi n hendak menyerahkan beliau kepada seorang perempuan Bani Sa’d (Halimah As-Sa’diyyah) yang akan menyusui beliau, ia berkata, “Jagalah putraku ini,” seraya ia menceritakan mimpinya. Suatu ketika Halimah melewati segolongan kaum Yahudi, lalu ia berkata, “Tidakkah kalian berkomentar tentang anakku ini?” Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Bunuh anak itu.” Mereka bertanya, “Apakah anak itu yatim?” “Tidak, ini ayahnya dan aku ibunya,” jawab Halimah. Mereka berkata, “Sekiranya ia anak yatim, pasti kami akan membunuhnya.” Halimah meneruskan perjalanannya seraya berkata, “Hampir-hampir saja aku merusak amanah yang diembankan kepadaku.” (Riwayat ini mursal, sedang para perawinya tsiqat).[11]
Sedangkan tragedi peracunan Nabi setelah penaklukan Khaibar oleh seorang wanita Yahudi[12] merupakan tragedi bersejarah yang mengantarkan Rasulullah n memperoleh syahid dalam hidupnya. Ibnu Katsir v memastikan bahwa Nabi n wafat sebagai syahid. Ia menukil, “Kaum muslimin berpandangan bahwa Rasulullah n wafat sebagai syahid, selain kemuliaan yang Allah limpahkan kepada beliau berupa kenabian.”[13] Ibnu Mas’ud a berkata, “Sekiranya aku bersumpah sembilan kali untuk menyatakan bahwa Rasulullah n wafat karena terbunuh, itu lebih aku sukai daripada aku bersumpah sekali untuk menyatakan bahwa beliau tidak terbunuh. Yang demikian itu, karena Allah telah mengangkat beliau sebagai nabi sekaligus sebagai syahid.”[14]
Az-Zuhri berkata, bahwa Jabir mengatakan, “Pada hari itu Rasulullah n berbekam. Beliau dibekam seorang maula Bani Bayadhah dengan tanduk dan pisau. Pasca peristiwa tersebut, Rasulullah n hidup selama tiga tahun sampai jatuh sakit yang mengantarkan beliau wafat. Beliau bersabda, ‘Aku masih merasakan makanan yang aku makan dari kambing panggang saat perang Khaibar hingga sekarang. Inilah waktu terputusnya urat nadiku.’ Akhirnya, Rasulullah n wafat sebagai syahid.”[15]
Di dalam kitab Syarh al-Mawahib al-Laduniyah, Az-Zarqani berkata, “Salah satu mukjizat Nabi n adalah beliau tidak terpengaruh oleh racun seketika itu juga, sebab mereka (kaum Yahudi) berkata, ‘Jika dia seorang nabi, maka racun itu tidak akan membahayakan dirinya; tetapi jika ia hanya seorang raja, maka kami terbebas darinya.’ Tatkala racun itu tidak bereaksi dalam tubuh beliau, mereka menjadi yakin akan kenabian beliau. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa perempuan Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian racun itu bereaksi di tubuh beliau setelah tiga tahun, guna memuliakan beliau dengan status syahid.”[16]
Dari paparan di atas menjadi jelaslah bahwa demam yang menyerang beliau menjelang wafat adalah reaksi dari racun yang tertelan di Khaibar. Selama hidup beliau racun itu tidak berpengaruh pada tubuh beliau, tidak bereaksi seketika itu juga –kecuali bekas yang ditinggalkan di langit-langit mulut dan rasa sakit yang acapkali datang kepada beliau–. Setelah kejadian itu, beliau masih sempat memimpin pasukan, ikut terjun pada beberapa pertempuran besar dan meraih kemenangan, melayani tantangan musuh, menerima tamu utusan, dan menjalani kehidupan normal seperti biasa. Hingga ajal yang telah ditetapkan datang menjemput beliau dengan cara yang alamiah. Allah membangkitkan kembali reaksi racun tersebut di tubuh Nabi n, dan karena racun itu beliau wafat. Sebagaimana sabda beliau n di kala sakit yang mengantarnya kepada kematian, “Aku masih merasakan sakit akibat makanan yang aku makan di Khaibar,[17] dan sekaranglah saatnya terputusnya urat nadiku.”[18]
Sehingga, Allah menghimpun gelar kenabian (nubuwwah) dan kesyahidan (syahadah) sekaligus untuk Nabi-Nya, guna mengoptimalkan kehormatan, kemuliaan dan ketinggian derajat beliau di sisi Allah. Dan juga agar beliau menempati kedudukan para syuhada’, sekaligus kedudukan para nabi. Karena itu, Ibnu Mas’ud, Az-Zuhri dan yang lain berpendapat bahwa Rasulullah n wafat sebagai syahid akibat racun tersebut di atas.[19]
Jadi, keselamatan beliau dari racun yang mematikan bagi orang lain seketika itu juga, pemberitahuan Allah kepada beliau bahwa daging itu beracun dan laporan organ kambing itu kepada beliau, merupakan mukjizat Rasulullah.[20] Begitu pula, sudah barang tentu tidak wafatnya Nabi n segera setelah menyantap daging kambing beracun tersebut menjadi salah satu mukjizat dan tanda kenabian yang semakin menambah kebenaran risalah beliau; bahwa beliau adalah benar-benar seorang rasul dari sisi Allah l. Hikmah Allah menghendaki, bahwa beliau wafat sesuai ajal yang telah Allah tetapkan, betapa pun beliau terpengaruh oleh racun yang ada di dalam daging kambing tersebut, sehingga beliau bertahan hidup sampai beberapa tahun sesudahnya.[21]
Kesimpulan
Setelah mengkaji secara mendalam hadits-hadits tentang kisah diracunnya Nabi, maka dapat diambil beberapa kesimpulan dan ibrah (pelajaran) sebagai berikut :
  1. Rasulullah n wafat dan berpulang ke haribaan Allah sebagai syahid. Sebab, Allah telah mengangkat beliau sebagai nabi sekaligus sebagai syahid.
  2. Permusuhan kaum Yahudi terhadap Islam berikut pemeluknya adalah fenomena sejak zaman dahulu kala. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan para rasul-Nya.
  3. Nabi n tidak menaruh dendam, bahkan beliau justru memberi maaf dan bersikap toleran. Karenanya, beliau tidak menghukum wanita yang memberi kambing beracun tersebut. Akan tetapi, wanita itu dibunuh sebagai qishash atas meninggalnya Bisyr bin Barra’ akibat dari perbuatannya.
  4. Salah satu mukjizat Rasulullah n adalah daging kambing yang telah dipanggang itu bisa berbicara, dan memberitahu beliau bahwa ia telah ditaburi racun.
  5. Sudah menjadi karunia Allah atas para hamba-Nya bahwa Dia tidak mencabut nyawa Nabi-Nya kecuali setelah Dia menyempurnakan agama-Nya, sehingga beliau meninggalkan umatnya dalam keadaan terang-benderang, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang tersesat kecuali orang yang binasa.[22]
  6. Dalam hadits ini mengandung isyarat akan kesempurnaan kesabaran dan ketabahan Rasulullah n. Beliau merasakan sakit dari waktu ke waktu akibat daging kambing panggang yang dibubuhi racun tersebut. Kondisi seperti ini berlangsung selama tiga tahun sejak pasca penaklukan Khaibar (7 H – 10 H). Setelah itu, beliau wafat.[23]

Maraji’
Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Prof. Dr. M. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, Gema Insani Press, Jakarta.
http://www.salib.net/Forums/viewtopic/p=12821.html.
Shahih al-Bukhari, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
As-Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Musnad Ahmad, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Syaikh Shalih Al-Munajjid, Al-Islam Su’al wa Jawab, www.islam-qa.com.
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Wadda’ ar-Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa ‘Ibar wa ‘Izhat.
Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i, Hal Matar Rasul bi Atsaris Samm.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Adh-Dhiya’ al-Lami’ min Khuthab al-Jawami’.
Khalid Abu Shalih, Qashimah azh-Zhuhri, Darul Wathan, Riyadh, 1422 H/2001.
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum.
Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Mata an-Nabiy n bis Samm.


[1] Shahih al-Bukhari, Bab Maradh an-Nabi n, juz IV, hlm. 1611, no. 4165. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[2] Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, Bab Atsar as-Samm ‘alar Rasul n, juz 26, hlm. 37. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Ketua), Abdul Aziz Alu Syaikh (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghadyan (Anggota), Shalih Al-Fauzan (Anggota), Bakr Abu Zaid (Anggota). Al-Maktabah asy-Syamilah.
[3] Prof. Dr. M. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 515.
[4] http://www.salib.net/Forums/viewtopic/p=12821.html, dengan perubahan redaksional.
[5] Yang dimaksud ath-tha’am dalam hadits di atas adalah asy-syat al-masmumah allati uhdiyat lahu (daging kambing beracun yang pernah dihadiahkan kepada beliau). Awanu artinya adalah waqt wa hina (waktu dan saat). Wajadtu artinya sya’artu (aku merasakan). Inqitha’u maksudnya qurba inqitha’ihi (hampir terputus). Abhari adalah urat nadi yang tersambung dengan jantung. Bila urat nadi seseorang terputus, maka ia akan meninggal. Shahih al-Bukhari, Bab Maradh an-Nabi n, juz IV, hlm. 1611, no. 4165. Al-Maktabah asy-Syamilah. Hakim dan Al-Isma’ili menyatakan sanadnya bersambung kepada Rasulullah n.
[6] Kata as-samm (racun) dengan fathah pada sin, dhammah atau mengkasrahkannya. Dibaca dengan tiga bahasa (as-samm, as-summ dan as-simm), namun yang paling fasih adalah dengan fathah (as-samm). Bentuk jamaknya samam dan sumum. Demikian dikatakan Al-Ashma’i. Lihat Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[7] As-Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Bab Isti’mal Awani al-Musyrikin, juz X, hlm. 11, no. 20209. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[8] Ahmad meriwayatkannya sendiri, dan sanadnya hasan. Musnad Ahmad, juz V, hlm. 6, no. 32784. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[9] Dikeluarkan oleh Muslim di dalam As-Salam, Bab As-Samm, no. 2190. Juga, Shahih al-Bukhari, Bab Qubul al-Hadiyyah min al-Musyrikin, juz II, hlm. 923, no. 2474. Al-Maktabah asy-Syamilah. Sedang kata al-lahawat adalah bentuk jamak dari lahat, yakni daging merah yang menggantung di pangkal langit-langit mulut (ovula). Demikian dikatakan Al-Ashma’i. Dikatakan pula, ‘Daging yang ada di ujung langit-langit mulut.’ Ucapannya, ‘Aku senantiasa mengetahuinya,’ yakni tanda. Seolah-olah racun tersebut meninggalkan tanda dan bekas berwarna hitam atau lainnya. Ucapan para sahabat, ‘Tidakkah kita membunuhnya?’, di sebagian naskah dengan huruf nun (kita) dan di sebagian lain dengan ta’ khithab (Anda). Lihat Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[10] Hadits ini shahih berdasarkan syarat Syaikhani, namun keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish, “Berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.” Lihat Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Bab Dzikru Manaqib Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur, juz III, hlm. 242, no. 4966. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[11] Dinukil dari Al-Islam Su’al wa Jawab, Syaikh Shalih Al-Munajjid, www.islam-qa.com.
[12] Ada riwayat yang menyatakan bahwa wanita Yahudi yang menghadiahkan daging kambing beracun itu masuk Islam setelah ia bertanya, “Siapa yang memberitahumu?” Dan, ia mendapat jawaban dari Rasulullah n bahwa daging kambing beracun itulah yang memberitahu beliau. Rasulullah n memaafkannya terlebih dahulu, kemudian beliau membunuhnya sebagai qishash atas meninggalnya Bisyr bin Barra’. Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, IV : 208-323. Dinukil dari kitab Wadda’ur Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa ‘Ibar wa ‘Izhat, karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
[13] Lihat Al-Bidayah wan Nihayah, IV : 210, 211-212, dan V : 223-244. Dinukil dari kitab Wadda’ur Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa ‘Ibar wa ‘Izhat, karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
[14] Disebutkan oleh Ibnu Katsir dan ia menisbatkan sanadnya kepada Baihaqi. Lihat Al-Bidayah wan Nihayah, V : 227. Dinukil dari ibid.
[15] Dikutip dari Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[16] Dikutip dari Hal Matar Rasul bi Atsaris Samm, fatwa Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i, no. 2091.
[17] Nabi bersama sebagian sahabat menyantap daging kambing beracun tersebut. Tetapi, beliau hanya mengunyah daging itu, tidak sampai menelannya. Segera saja beliau memuntahkan daging itu kembali. Lihat Adh-Dhiya’ al-Lami’ min Khuthab al-Jawami’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Saat itu, Bisyr bin Barra’ ikut makan bersama beliau. Dan, suapannya telah masuk ke tenggorokannya, dan akhirnya ia meninggal karenanya. Lihat Khalid Abu Shalih, Qashimatuzh Zhuhri, bab Wa Mata n Syahidan, Darul Wathan, Riyadh, 1422 H/2001, hal. 64-68.
[18] Ibid. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri juga menulis dalam kitab Ar-Rahiq al-Makhtum, “Rasa sakit itu semakin bertambah dan menjadi-jadi. Sungguh terlihat pengaruh racun yang tertelan oleh beliau di Khaibar, sampai-sampai beliau bersabda, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit akibat makanan yang aku santap di Khaibar. Dan, inilah saatnya aku merasakan urat nadiku terputus karena racun itu.
[19] Ibid.
[20] Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[21] Mata an-Nabiy n bis Samm, karya Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.
[22] Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Wada’ ar-Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa ‘Ibar wa ‘Izhat.
[23] Khalid Abu Shalih, Qashimatuzh Zhuhri, hal. 68.

Tidak ada komentar: