Di
kalangan para ulama Islam, telah terjadi pro dan kontra seputar penyebab
wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian pihak beranggapan
bahwa Nabi wafat karena sakit panas-demam biasa, sedangkan pihak yang lain
berkeyakinan bahwa Nabi wafat karena adanya pengaruh racun yang merasuk ke
dalam tubuh beliau. Racun tersebut bersumber dari daging kambing beracun yang
pernah beliau cicipi saat terjadinya perang Khaibar pada tahun 7 H. Daging
kambing itu diberikan oleh seorang wanita Yahudi bernama Zainab binti Harits,
istri Salam bin Misykam,
salah seorang pembesar Yahudi.
salah seorang pembesar Yahudi.
Menurut
para ulama pakar sirah Nabi, diketahui bahwa beliau memang pernah menyantap
daging kambing beracun pemberian seorang wanita Yahudi Khaibar. Kemudian paha
kambing tersebut berbicara, memberitahu Nabi bahwa ia telah ditaburi racun.
Beliau tidak melanjutkan santapannya. Tatkala beliau sakit yang mengantarkannya
kepada kematian, beliau bersabda, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit
akibat makanan yang aku santap di Khaibar. Dan, inilah saatnya aku merasakan
urat nadiku terputus karena racun tersebut.”[1]
Untuk itu, tidak ada lagi ruang untuk keraguan atas pengaruh racun tersebut di
jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah hal itu nyata-nyata
termaktub di dalam kitab shahih dan kitab-kitab yang lain.[2]
Adapun
Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi menegaskan bahwa wafatnya Rasulullah bukan
akibat sakit dari makanan beracun yang disuguhkan untuk beliau di Khaibar oleh
orang-orang Yahudi, walaupun rasa sakit itu masih terasa sampai beliau wafat.
Kedudukan Rasulullah tidak mungkin lebih rendah dari para sahabat beliau yang
telah mati syahid yang tetap hidup dan memperoleh rezeki dari Allah.[3]
Sedangkan,
kalangan non muslim menjadikan isu wafatnya Nabi karena pengaruh racun tersebut
sebagai sarana untuk ‘menggugat’ nubuwwat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
“Kenapa
masalah racun ini sangat penting! Karena yang membunuh adalah wanita Yahudi
yang ingin membuktikan kalau Nabi Muhammad itu adalah seorang nabi atau bukan. Orang
Yahudi orangnya pintar, tidak seperti orang Arab atau orang Islam ‘kurang
pintar’ lainnya. Mereka selalu menguji apa yang mereka dapat, tidak menelan
mentah-mentah seperti umat Islam sekarang ini. Kalau dia benar-benar utusan
Allah, kenapa Allah tidak memberitahukan sebelumnya? Makanya, kalau dia
benar-benar utusan Allah, racun itu tentu tidak dimakan. Nah, bukan Islam
namanya kalau tonggak keimanannya berdasarkan atas Injil dan Kristen. Jadi,
tolok ukurnya pasti Kristen, padahal Injil dianggap dipalsukan. Pasti tanya
bagaimana Yesus matinya. Sudah baca Quran atau Injil belum? Kata Quran, Yesus
diselamatkan, tidak seperti Muhammad! Kata Injil, Yesus sendiri sudah tahu
kalau waktunya sudah tiba, dan itu sudah dinubuwwatkan oleh kitab-kitab lama,
dan dia akan dibangkitkan pada hari ketiga. Dia pun bilang ke salah satu
rasulnya, kalau dia akan menyangkal tiga kali sebelum ayam berkokok. Dan semua
benar. Mengerti tidak? Jelas-jelas Yesus lebih suci, dan Quran sendiri
mengakuinya. Sekarang lihat! Tolong sebutkan satu ayat saja di dalam Al-Quran
yang menyebutkan kalau Muhammad masuk surga!”[4]
Demikianlah,
di kalangan umat Islam sendiri masih terdapat perbedaan pendapat seputar
wafatnya Nabi karena pengaruh racun, sedangkan kalangan non muslim terus
melancarkan berbagai propaganda untuk meruntuhkan bangunan kenabian di dalam
Islam. Untuk itu, hadits-hadits tentang “racun Nabi” kiranya sangat urgen untuk
dikaji lebih mendalam, agar bisa memberikan pemahaman yang komprehensif seputar
wafatnya Nabi.
Redaksi
Hadits
Adapun
hadits pokok yang menjadi obyek pembahasan ini adalah sebagai berikut :
Hadits
pertama :
وَقَالَ يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِي
قَالَ عُرْوَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : يَا
عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ
فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ إِنْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ
“Yunus
berkata : Diriwayatkan dari Az-Zuhri, Urwah berkata : Aisyah x berkata, “Nabi n
bersabda di kala sakit yang berakhir dengan wafatnya beliau, ‘Wahai Aisyah,
aku masih merasakan sakit karena makanan yang pernah aku makan di perang
Khaibar. Dan inilah saatnya bagiku merasakan terputusnya urat nadiku karena
racun itu’.”[5]
Hadits
kedua :
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ
الْحَافِظُ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ يَحْيَى
الأَشْقَرِ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى الْمَرْوَرُّوذِىُّ حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
قَالَ قَالَ عُرْوَةُ كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا تَقُوْلُ : كَانَ
رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى مَرَضِهِ الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ
يَا عَائِشَةُ إِنِّى أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِى أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ
فَهَذَا أَوَانُ انْقِطَاعِ أَبْهَرِى مِنْ ذَلِكَ السُّمِّ.[6] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى
الصَّحِيحِ فَقَالَ وَقَالَ يُونُسُ
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, telah mengabarkan kepadaku Abu
Bakr Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Asyqar, telah menceritakan kepada kami
Yusuf bin Musa Al-Marwarrudzi, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih,
telah menceritakan kepada kami Anbasah, telah menceritakan kepada kami Yunus,
dari Ibnu Syihab, ia berkata : Urwah mengatakan : Aisyah x berkata, “Nabi n
bersabda di kala sakit yang berakhir dengan wafatnya beliau, ‘Wahai Aisyah,
aku masih merasakan sakit karena makanan yang pernah aku makan di perang
Khaibar. Dan inilah saatnya bagiku merasakan terputusnya urat nadiku karena
racun itu’.” Dikeluarkan oleh Bukhari di dalam Shahihnya, ia
mengatakan : Yunus berkata…[7]
Beberapa
hadits pendukung yang menceritakan kronologi diracunnya Nabi antara lain
sebagai berikut :
Hadits
pertama :
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا
عَبَّادٌ عَنْ هِلالٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مِنَ
الْيَهُودِ أَهْدَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً
مَسْمُومَةً فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَقَالَ مَا حَمَلَكِ عَلَى مَا صَنَعْتِ
قَالَتْ أَحْبَبْتُ أَوْ أَرَدْتُ إِنْ كُنْتَ نَبِيًّا فَإِنَّ اللَّهَ
سَيُطْلِعُكَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَبِيًّا أُرِيحُ النَّاسَ مِنْكَ.
قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ
مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا احْتَجَمَ قَالَ فَسَافَرَ مَرَّةً فَلَمَّا أَحْرَمَ وَجَدَ
مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَاحْتَجَمَ
“Telah
bercerita kepada kami Syuraih, telah bercerita kepada kami Abbad, dari Hilal,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita Yahudi menghadiahkan daging
seekor kambing yang telah dibubuhi racun. Lantas, beliau mengutus seseorang
agar menghadapkan wanita itu, beliau bertanya, “Apa alasanmu melakukan hal
ini?” Ia menjawab, “Aku suka –atau aku ingin–, jika engkau benar seorang nabi,
pasti Allah akan memberitahukan racun itu kepadamu. Namun jika engkau bukan
seorang nabi, maka manusia tak akan lagi terganggu olehmu.” Ibnu Abbas
menuturkan, “Apabila Rasulullah n merasakan sesuatu dari racun itu, beliau
melakukan bekam. Suatu kali beliau sedang bepergian, ketika melakukan ihram
beliau merasakan pengaruh racun tersebut, lantas beliau berbekam.”[8]
Hadits
kedua :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ
الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةٌ عَنْ هِشَامِ
بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَنَس بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ يَهُوْدِيَّةً
أَتَتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ فَأَكَلَ
مِنْهَا فَجِيْءُ بِهَا فَقِيْلَ أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ : لاَ. فَمَا زِلْتُ
أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdul Wahab, telah menceritakan kepada
kami Khalid bin Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Hisyam
bin Zaid, dari Anas bin Malik a, bahwa seorang wanita Yahudi mendatangi Nabi n
dengan membawa daging kambing beracun. Beliau telah memakan sebagiannya. Lantas
wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah n dan beliau menanyainya tentang alasan
tindakannya tersebut. Dikatakan, “Tidakkah kita membunuhnya?” Beliau menjawab,
“Tidak perlu.” Anas berkata, “Aku senantiasa mengetahui bekas racun tersebut di
pangkal langit-langit mulut Rasulullah n.”[9]
Hadits
ketiga :
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيْمُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا رَبَاحٌ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِي
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ
أَبِيْهِ عَنْ أُمِّ مُبَشِّرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي قُبِضَ
فِيْهِ فَقُلْتُ : بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تَتَّهِمُ بِنَفْسِكَ
فَإِنِّي لاَ أَتَّهِمُ بِابْنِي إِلاَّ الطَّعَامَ الَّذِي أَكَلَهُ مَعَكَ
بِخَيْبَرَ وَكَانَ ابْنُهَا بِشْرُ بِنُ الْبَرَّاءِ بْنِ مَعْرُوْرٍ مَاتَ
قَبْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَأَنَا لاَ أَتَّهِمُ غَيْرَهَا هَذَا أَوَانُ
انْقِطَاعِ أَبْهَرِي
“Telah
mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ja’far, telah mennceritakan kepada kami
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Khalid, telah menceritakan kepada kami
Rabah : Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Abdurrahman bin Abdullah
bin Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Ummu Mubasysyir, ia berkata, “Aku pernah
menjenguk Rasulullah n saat beliau menderita sakit yang menyebabkan beliau
wafat. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mencurigai sesuatu yang
menyebabkan dirimu sakit? Sesungguhnya aku tiada mencurigai penyebab putraku
meninggal, selain makanan yang ia santap bersamamu di Khaibar.’ Putranya, Bisyr
bin Barra’ bin Ma’rur telah meninggal sebelum Nabi n. Maka, Rasulullah n
menjawab, ‘Aku tiada mencurigai selain ulah wanita Yahudi itu. Dan, inilah
waktunya urat nadiku terputus’.”[10]
Pembahasan
Berbagai
upaya pembunuhan terhadap Nabi Muhammad n telah banyak dilakukan oleh kaum
Yahudi, bahkan sejak Nabi masih kecil. Di dalam kitab Ath-Thabaqat, Ibnu
Sa’d meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Ishaq bin Abdillah,
bahwasanya ketika ibunda Nabi n hendak menyerahkan beliau kepada seorang
perempuan Bani Sa’d (Halimah As-Sa’diyyah) yang akan menyusui beliau, ia
berkata, “Jagalah putraku ini,” seraya ia menceritakan mimpinya. Suatu ketika Halimah
melewati segolongan kaum Yahudi, lalu ia berkata, “Tidakkah kalian berkomentar
tentang anakku ini?” Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Bunuh
anak itu.” Mereka bertanya, “Apakah anak itu yatim?” “Tidak, ini ayahnya dan
aku ibunya,” jawab Halimah. Mereka berkata, “Sekiranya ia anak yatim, pasti
kami akan membunuhnya.” Halimah meneruskan perjalanannya seraya berkata,
“Hampir-hampir saja aku merusak amanah yang diembankan kepadaku.” (Riwayat ini mursal,
sedang para perawinya tsiqat).[11]
Sedangkan
tragedi peracunan Nabi setelah penaklukan Khaibar oleh seorang wanita Yahudi[12]
merupakan tragedi bersejarah yang mengantarkan Rasulullah n memperoleh syahid
dalam hidupnya. Ibnu Katsir v memastikan bahwa Nabi n wafat sebagai
syahid. Ia menukil, “Kaum muslimin berpandangan bahwa Rasulullah n wafat
sebagai syahid, selain kemuliaan yang Allah limpahkan kepada beliau berupa
kenabian.”[13]
Ibnu Mas’ud a berkata, “Sekiranya aku bersumpah sembilan kali untuk menyatakan
bahwa Rasulullah n wafat karena terbunuh, itu lebih aku sukai daripada aku
bersumpah sekali untuk menyatakan bahwa beliau tidak terbunuh. Yang demikian
itu, karena Allah telah mengangkat beliau sebagai nabi sekaligus sebagai
syahid.”[14]
Az-Zuhri
berkata, bahwa Jabir mengatakan, “Pada hari itu Rasulullah n berbekam. Beliau
dibekam seorang maula Bani Bayadhah dengan tanduk dan pisau. Pasca
peristiwa tersebut, Rasulullah n hidup selama tiga tahun sampai jatuh sakit
yang mengantarkan beliau wafat. Beliau bersabda, ‘Aku masih merasakan
makanan yang aku makan dari kambing panggang saat perang Khaibar hingga
sekarang. Inilah waktu terputusnya urat nadiku.’ Akhirnya, Rasulullah n
wafat sebagai syahid.”[15]
Di
dalam kitab Syarh al-Mawahib al-Laduniyah, Az-Zarqani berkata, “Salah
satu mukjizat Nabi n adalah beliau tidak terpengaruh oleh racun seketika itu
juga, sebab mereka (kaum Yahudi) berkata, ‘Jika dia seorang nabi, maka racun
itu tidak akan membahayakan dirinya; tetapi jika ia hanya seorang raja, maka
kami terbebas darinya.’ Tatkala racun itu tidak bereaksi dalam tubuh beliau,
mereka menjadi yakin akan kenabian beliau. Sampai-sampai ada yang menyatakan
bahwa perempuan Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian racun itu bereaksi di
tubuh beliau setelah tiga tahun, guna memuliakan beliau dengan status syahid.”[16]
Dari
paparan di atas menjadi jelaslah bahwa demam yang menyerang beliau menjelang
wafat adalah reaksi dari racun yang tertelan di Khaibar. Selama hidup beliau
racun itu tidak berpengaruh pada tubuh beliau, tidak bereaksi seketika itu juga
–kecuali bekas yang ditinggalkan di langit-langit mulut dan rasa sakit yang
acapkali datang kepada beliau–. Setelah kejadian itu, beliau masih sempat
memimpin pasukan, ikut terjun pada beberapa pertempuran besar dan meraih
kemenangan, melayani tantangan musuh, menerima tamu utusan, dan menjalani
kehidupan normal seperti biasa. Hingga ajal yang telah ditetapkan datang
menjemput beliau dengan cara yang alamiah. Allah membangkitkan kembali reaksi
racun tersebut di tubuh Nabi n, dan karena racun itu beliau wafat. Sebagaimana
sabda beliau n di kala sakit yang mengantarnya kepada kematian, “Aku masih
merasakan sakit akibat makanan yang aku makan di Khaibar,[17]
dan sekaranglah saatnya terputusnya urat nadiku.”[18]
Sehingga,
Allah menghimpun gelar kenabian (nubuwwah) dan kesyahidan (syahadah)
sekaligus untuk Nabi-Nya, guna mengoptimalkan kehormatan, kemuliaan dan
ketinggian derajat beliau di sisi Allah. Dan juga agar beliau menempati
kedudukan para syuhada’, sekaligus kedudukan para nabi. Karena itu, Ibnu
Mas’ud, Az-Zuhri dan yang lain berpendapat bahwa Rasulullah n wafat sebagai
syahid akibat racun tersebut di atas.[19]
Jadi,
keselamatan beliau dari racun yang mematikan bagi orang lain seketika itu juga,
pemberitahuan Allah kepada beliau bahwa daging itu beracun dan laporan organ
kambing itu kepada beliau, merupakan mukjizat Rasulullah.[20]
Begitu pula, sudah barang tentu tidak wafatnya Nabi n segera setelah menyantap
daging kambing beracun tersebut menjadi salah satu mukjizat dan tanda kenabian
yang semakin menambah kebenaran risalah beliau; bahwa beliau adalah benar-benar
seorang rasul dari sisi Allah l. Hikmah Allah menghendaki, bahwa beliau wafat
sesuai ajal yang telah Allah tetapkan, betapa pun beliau terpengaruh oleh racun
yang ada di dalam daging kambing tersebut, sehingga beliau bertahan hidup
sampai beberapa tahun sesudahnya.[21]
Kesimpulan
Setelah
mengkaji secara mendalam hadits-hadits tentang kisah diracunnya Nabi, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan dan ibrah (pelajaran) sebagai berikut
:
- Rasulullah n wafat dan berpulang ke haribaan Allah sebagai syahid. Sebab, Allah telah mengangkat beliau sebagai nabi sekaligus sebagai syahid.
- Permusuhan kaum Yahudi terhadap Islam berikut pemeluknya adalah fenomena sejak zaman dahulu kala. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan para rasul-Nya.
- Nabi n tidak menaruh dendam, bahkan beliau justru memberi maaf dan bersikap toleran. Karenanya, beliau tidak menghukum wanita yang memberi kambing beracun tersebut. Akan tetapi, wanita itu dibunuh sebagai qishash atas meninggalnya Bisyr bin Barra’ akibat dari perbuatannya.
- Salah satu mukjizat Rasulullah n adalah daging kambing yang telah dipanggang itu bisa berbicara, dan memberitahu beliau bahwa ia telah ditaburi racun.
- Sudah menjadi karunia Allah atas para hamba-Nya bahwa Dia tidak mencabut nyawa Nabi-Nya kecuali setelah Dia menyempurnakan agama-Nya, sehingga beliau meninggalkan umatnya dalam keadaan terang-benderang, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang tersesat kecuali orang yang binasa.[22]
- Dalam hadits ini mengandung isyarat akan kesempurnaan kesabaran dan ketabahan Rasulullah n. Beliau merasakan sakit dari waktu ke waktu akibat daging kambing panggang yang dibubuhi racun tersebut. Kondisi seperti ini berlangsung selama tiga tahun sejak pasca penaklukan Khaibar (7 H – 10 H). Setelah itu, beliau wafat.[23]
Maraji’
Fatawa
Lajnah Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Prof.
Dr. M. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, Gema Insani
Press, Jakarta.
http://www.salib.net/Forums/viewtopic/p=12821.html.
Shahih
al-Bukhari, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Abu
Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
As-Sunan
al-Baihaqi al-Kubra, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Al-Hakim,
Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Musnad
Ahmad, Al-Maktabah asy-Syamilah.
Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Wadda’ ar-Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya
wa ‘Ibar wa ‘Izhat.
Syaikh
Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i, Hal Matar Rasul bi Atsaris Samm.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Adh-Dhiya’ al-Lami’ min Khuthab al-Jawami’.
Khalid
Abu Shalih, Qashimah azh-Zhuhri, Darul Wathan, Riyadh, 1422 H/2001.
Syaikh
Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum.
Prof.
Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Mata an-Nabiy n bis Samm.
[1]
Shahih al-Bukhari, Bab Maradh an-Nabi n, juz IV, hlm. 1611, no.
4165. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[2]
Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, Bab Atsar as-Samm ‘alar Rasul n, juz
26, hlm. 37. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
(Ketua), Abdul Aziz Alu Syaikh (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghadyan (Anggota),
Shalih Al-Fauzan (Anggota), Bakr Abu Zaid (Anggota). Al-Maktabah
asy-Syamilah.
[3]
Prof. Dr. M. Mutawalli Asy-Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, Gema
Insani Press, Jakarta, hlm. 515.
[4]
http://www.salib.net/Forums/viewtopic/p=12821.html, dengan perubahan
redaksional.
[5]
Yang dimaksud ath-tha’am dalam hadits di atas adalah asy-syat
al-masmumah allati uhdiyat lahu (daging kambing beracun yang pernah
dihadiahkan kepada beliau). Awanu artinya adalah waqt wa hina (waktu
dan saat). Wajadtu artinya sya’artu (aku merasakan). Inqitha’u
maksudnya qurba inqitha’ihi (hampir terputus). Abhari adalah
urat nadi yang tersambung dengan jantung. Bila urat nadi seseorang terputus,
maka ia akan meninggal. Shahih al-Bukhari, Bab Maradh an-Nabi n,
juz IV, hlm. 1611, no. 4165. Al-Maktabah asy-Syamilah. Hakim dan
Al-Isma’ili menyatakan sanadnya bersambung kepada Rasulullah n.
[6]
Kata as-samm (racun) dengan fathah pada sin, dhammah atau
mengkasrahkannya. Dibaca dengan tiga bahasa (as-samm, as-summ dan
as-simm), namun yang paling fasih adalah dengan fathah (as-samm).
Bentuk jamaknya samam dan sumum. Demikian dikatakan Al-Ashma’i.
Lihat Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam
al-Anbiya’.
[7]
As-Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Bab Isti’mal Awani al-Musyrikin, juz
X, hlm. 11, no. 20209. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[8]
Ahmad meriwayatkannya sendiri, dan sanadnya hasan. Musnad Ahmad, juz V,
hlm. 6, no. 32784. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[9]
Dikeluarkan oleh Muslim di dalam As-Salam, Bab As-Samm, no. 2190.
Juga, Shahih al-Bukhari, Bab Qubul al-Hadiyyah min al-Musyrikin,
juz II, hlm. 923, no. 2474. Al-Maktabah asy-Syamilah. Sedang kata al-lahawat
adalah bentuk jamak dari lahat, yakni daging merah yang menggantung di
pangkal langit-langit mulut (ovula). Demikian dikatakan Al-Ashma’i.
Dikatakan pula, ‘Daging yang ada di ujung langit-langit mulut.’ Ucapannya, ‘Aku
senantiasa mengetahuinya,’ yakni tanda. Seolah-olah racun tersebut
meninggalkan tanda dan bekas berwarna hitam atau lainnya. Ucapan para sahabat,
‘Tidakkah kita membunuhnya?’, di sebagian naskah dengan huruf nun (kita)
dan di sebagian lain dengan ta’ khithab (Anda). Lihat Abu Yusuf Muhammad
Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[10]
Hadits ini shahih berdasarkan syarat Syaikhani, namun keduanya tidak
mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish, “Berdasarkan
syarat Bukhari dan Muslim.” Lihat Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain,
Bab Dzikru Manaqib Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur, juz III, hlm. 242,
no. 4966. Al-Maktabah asy-Syamilah.
[12]
Ada riwayat yang menyatakan bahwa wanita Yahudi yang menghadiahkan daging
kambing beracun itu masuk Islam setelah ia bertanya, “Siapa yang
memberitahumu?” Dan, ia mendapat jawaban dari Rasulullah n bahwa daging kambing
beracun itulah yang memberitahu beliau. Rasulullah n memaafkannya terlebih
dahulu, kemudian beliau membunuhnya sebagai qishash atas meninggalnya
Bisyr bin Barra’. Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, IV :
208-323. Dinukil dari kitab Wadda’ur Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa
‘Ibar wa ‘Izhat, karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
[13]
Lihat Al-Bidayah wan Nihayah, IV : 210, 211-212, dan V : 223-244.
Dinukil dari kitab Wadda’ur Rasul li Ummatihi : Durus wa Washaya wa ‘Ibar wa
‘Izhat, karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
[14]
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dan ia menisbatkan sanadnya kepada Baihaqi. Lihat Al-Bidayah
wan Nihayah, V : 227. Dinukil dari ibid.
[15]
Dikutip dari Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam
al-Anbiya’.
[16]
Dikutip dari Hal Matar Rasul bi Atsaris Samm, fatwa Syaikh Khalid bin
Abdul Mun’im Ar-Rifa’i, no. 2091.
[17]
Nabi bersama sebagian sahabat menyantap daging kambing beracun tersebut.
Tetapi, beliau hanya mengunyah daging itu, tidak sampai menelannya. Segera saja
beliau memuntahkan daging itu kembali. Lihat Adh-Dhiya’ al-Lami’ min Khuthab
al-Jawami’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Saat itu, Bisyr
bin Barra’ ikut makan bersama beliau. Dan, suapannya telah masuk ke
tenggorokannya, dan akhirnya ia meninggal karenanya. Lihat Khalid Abu Shalih, Qashimatuzh
Zhuhri, bab Wa Mata n Syahidan, Darul Wathan, Riyadh, 1422 H/2001,
hal. 64-68.
[18]
Ibid. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri juga menulis dalam kitab Ar-Rahiq
al-Makhtum, “Rasa sakit itu semakin bertambah dan menjadi-jadi. Sungguh
terlihat pengaruh racun yang tertelan oleh beliau di Khaibar, sampai-sampai
beliau bersabda, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit akibat makanan
yang aku santap di Khaibar. Dan, inilah saatnya aku merasakan urat nadiku
terputus karena racun itu.”
[19]
Ibid.
[20]
Abu Yusuf Muhammad Yazid, Munawarat al-Asyqiya’ li Qatli Khatam al-Anbiya’.
[21]
Mata an-Nabiy n bis Samm, karya Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.
[22]
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Wada’ ar-Rasul li Ummatihi : Durus wa
Washaya wa ‘Ibar wa ‘Izhat.
[23]
Khalid Abu Shalih, Qashimatuzh Zhuhri, hal. 68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar