Kamis, 05 Januari 2012

Geger Dialog Lintas Agama : Teror Mengancam Muslim Bitung

Counter Liberalisme 

Muslim Bitung Semakin Kuat Lantaran FitnahJudul koran dan media di Manado serta Bitung akhir-akhir ini begitu panas dan menyiratkan konflik beraroma agama. Sekelompok umat Kristiani bahkan mengancam akan menegakkan hukum dengan caranya sendiri.

Ihwal geger berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) ini bermula dari dialog lintas agama antara umat Kristiani dan Muslim yang gagal dilaksanakan pada tanggal 24 Januari 2004 silam. Dialog lintas agama yang bertajuk Keselamatan dalam Islam dan Kristen ini batal gara-gara tekanan beberapa kelompok tertentu yang merasa dialog hanya akan memicu keresahan antarpemeluk agama di Kota Bitung, Sulawesi Utara.


Mulanya, Rio Efendi Turipno, Sekretaris Jenderal Majelis Peduli Umat Islam, membantu sebuah keluarga yang sedang dirundung masalah. Sebut saja Yuni, seorang ibu rumah tangga warga Kampung Candi di Bitung.

Pada malam takbiran lalu dipengaruhi oleh seorang pendeta hingga di baptis. Sang suami yang resah meminta Rio memberikan bimbingan pada istrinya. “Alhamdulillah, korban bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam lagi,” jelas Rio tentang kronologi masalah yang menimpanya.

Usai membantu keluarga ini, Rio dan beberapa orang akhirnya bersepakat untuk bertamu pada pendeta yang disebut-sebut dan mengadakan dialog. Pertemuan ini berujung pada permintaan maaf sang pendeta pada keluarga korban.

Omong punya omong, salah seorang pendeta yang turut hadir, Cherry j. Unmehopa mengusulkan agar komponen umat Islam dan Kristen duduk satu meja, saling bertukar pendapat. “Saya pun setuju dengan usulan tersebut. Kami akhirnya merumuskan untuk mengadakan dialog lintas agama yang bertujuan memberikan informasi pada masyarakat tentang Islam dan Kristen langsung dari sumbernya,” jelas Rio lagi.

Susunan acara pun disepakati. Satu undangan diberi harga 15 ribu rupiah dengan peserta yang sangat terbatas. Pembicara dari kedua belah pihak pun telah pula di acc. DR. Sanihu Munir dari Islam dan Pdt. Cherry J. Unmehopa mewakili Kristen. Izin telah diurus, tempat pelaksanaan pun telah diputuskan. Berdasarkan pertimbangan keamanan, pelaksanaan acara akan digelar di Balai Prajurit TNI AL Bitung. Menurut keterangan Rio, Pendeta Cherry pun telah bertemu dengan Kapolres Bitung, AKBP Simanjutak yang memberikan respon cukup baik atas rencana dialog ini.

Tapi, menjelang pelaksanaan acara, sekelompok masyarakat yang memberi nama organisasinya Warkop dan Jalan Roda mengusulkan agar acara ini ditinjau ulang. Ujungnya, acara dialog pun batal digelar. Anehnya, meski acara telah bubar jalan dan semua pihak senang, tapi masalah baru muncul.

Rio Efendi Turipno dinyatakan sebagai tersangka pelanggaran pasal 156a, penodaan suatu agama. Begitu pula dengan DR. Sanihu Munir. Bahkan belakangan, status Sanihu Munir ditambah oleh media setempat sebagai tokoh yang mengenal Dr. Azahari, yang masuk dalam daftar teroris internasional dari Malaysia. “Masya Allah, kenapa kasusnya jadi seperti ini. Saya diperiksa tapi kenapa Pdt. Cherry tidak. Pada saat acara pun, ketika undangan sudah datang, Pdt. Cherry tidak datang. Saya dibabak belur habis-habisan, sementara pembicara Kristen tidak diapa-apakan,” protes DR. Sanihu Munir atas kasus yang menimpanya.

DR. Sanihu sendiri, sebetulnya diproses bukan karena acara dialog yang gagal tapi karena buah karangannya yang berjudul antara lain; Yesus Berdosa, Yesus Bukan Tuhan, Menyelamatkan Juru Selamat dan Apakah Yesus Kristus Itu. Sementara Rio Turipno diperkarakan sebagai penyebar dan pengedar buku-buku DR. Sanihu. Masalah pun menjadi sumir, kian tak jelas dan berbuah kekerasan serta teror.

Sebuah kelompok Kristen yang menamakan dirinya Brigade Manguni (BN) mengeluarkan ultimatum yang dilansir oleh media begitu hebat. Ultimatum tersebut berbunyi: jika aparat membiarkan Rip Turipno berkeliaran bebas, maka BM siap menangkapnya. Demikian ancaman sesepuh BM Bitung, Rodolf Wantah, seperti di kutip Manado Post. Bahkan, mereka siap menggelar apel akbar unjuk kekuatan.

Tak hanya Brigade Manguni yang menyuarakan tuntutan seperti di atas, kelompok lain seperti Resiman Eksodus dan kelompok mahasiswa Kristen punya aspirasi yang sama. Namun yang paling vokal adalah Brigade Manguni.

Setelah itu, teror pun dituai oleh Rio Turipno. Tak hanya dirinya, keluarganya pun merasakan teror yang sama. Rumah mereka dilempari batu, kaca jendela dipecah, ancaman lewat telepon hingga pesan-pesan yang diselipkan di bawah pintu rumah Rio. Rio juga menerima pengusiran dirinya, agar keluar dari kota Bitung.

Teror pun merembet tak hanya untuk Rio, beberapa rumah teman Rio pun turut diserang dan dilempari. Bahkan menurut Rio, Wartel Hidayatullah yang tak tahu menahu masalah turut pula dirusak. Lalu Bitung pun Siaga I.

Dari beberapa informasi yang berhasil dihimpun, masih menurut Rio, kelompok-kelompok tertentu sudah mendatangi kantong-kantong Muslim di kota Bitung. “Katanya mereka sudah siap. Tapi ada teman-teman yang menganggap ini gertak sambal saja. Bagaimana pun kami harus tetap waspada,” terang Rio.

Tindakan mengancam yang dilakukan oleh organisasi seperti Brigade Manguni dan Resimen Eskosdus juga mendapat pertanyaan tajam dari aktivis Muhammadiyah Kota Bitung, Amran Abbas. “BM ini kekuatan apa sih? Kenapa mereka tidak percaya pada polisi dan kejaksaan yang menangani kasus ini,” tukas Amran.

Lebih lanjut ia mengatakan, dirinya merasa terpanggil untuk membela saudaranya seiman. “Dari awal acara dialog ini digagas, Rio selalu minta advis. Saya mengerti persis duduk perkaranya. Rio tidak bisa disebut telah melakukan penodaan agama atau menyebarkan kebencian di depan umum. Itu sama sekali tidak bisa dibuktikan,” tandasnya lagi.

Soal ancaman kekerasan yang terjadi, Amran dengan tegas mengatakan akan menjawabnya. “Tujuan kita ini surga, dan hanya dengan mati saja kita masuk surga. Jadi bismillah,” jawabnya. Ia juga menegaskan pada kaum Muslim Kota Bitung, tak perlu takut dengan Brigade Manguni.

Khusus untuk Brigade Manguni, Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Bitung, Haris Anuli meminta agar organisasi ini bersabar diri. “Saya imbau untuk saudara-saudara di Brigade Manguni agar objektif. Pelajari dulu buku-buku yang dituduh sudah menodai agama mereka, jangan hanya melihat sampulnya saja,” pinta Haris yang disampaikan pada Eman Mulyatman dari SABILI.

Permintaan serupa, agar aparat negara seperti kepolisian dan kejaksaan tidak gegabah dalam kasus ini juga disampaikan oleh masyarakat. Tapi apa lacur, polisi telah memutuskan melimpahkan hasil penyidikan ke Kejaksaan Negeri Bitung. Kapolres Bitung, AKBP Simanjuntak yang enggan memberikan keterangan hanya mengatakan telah meneruskan kasus ini ke kejaksaan.

Pelimpahan ini dibenarkan oleh Cornelis Tumiwa SH, Kasie Intelijen Kejaksaan Negeri Bitung pada SABILI. Menurut Tumiwa, saat ini kejaksaan sedang melakukan penelitian dan pendalaman. Tentang permulaan sidang, Tumiwa mengatakan masih menunggu hasil kelengkapan berkas. Tapi jika terbukti benar-benar melakukan pelanggaran pasal 156a tentang penodaan suatu agama, Rio Turipno terancam hukuman penjara. “Ancaman hukumannya bisa lima tahun, maksimal,” terang Cornelis Tumiwa.

Tuduhan bahwa Sanihu Munir dan Rio Turipno adalah pelaku provokasi, tampaknya ditampik oleh fakta di lapangan. Provokasi justru datang dari pihak-pihak tertentu yang mencoba mengancam, mengintimidasi dan mau menang sendiri.

Menurut keterangan H. Abdul Karim Haili, Ketua Majelis Ulama Kota Bitung, media sangat berperan membesar-besarkan masalah ini. Apalagi tidak ada chek and rechek yang dilakukan secara mendalam. “Sebenarnya acara itu bagus sekali, hakikatnya menjaga nama baik Islam dan Kristen. Mestinya kita meningkatkan hubungan baik,” ujar Abdul Karim.

Opini senada juga diungkapkan oleh Janwar Ananto Maramis, Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia Kota Bitung. “Sebenarnya acara ini bagus, membuat pencerahan pada kedua umat. Tapi kenapa sampai mendapat penolakan begitu keras?” ujar Janwar tak habis mengerti.

Menurut penilaian Janwar, ada pihak-pihak ternetu yang cemburu karena tidak mendapat peran yang signifikan. “Sebetulnya acara-acara yang melibatkan dua agama di Bitung ini cukup sering diadakan. Mereka bisa mengadakan dan cukup sukses. Nah yang terakhir ini, ada organisasi baru yang menggelar acara tanpa melibatkan dan berkoordinasi mereka, sehingga timbul kecemburuan,” terang Janwar tanpa menyebut identitas kelompok yang cemburu.

Selain kasus dialog lintas agama, salah satu yang mendapat perhatian serius adalah buku-buku karangan DR. Sanihu Munir. Wakil Ketua Badan Kerjasama Antarumat Beragama Manado, Pdt. Johan Manampiring misalnya, mengatakan buku-buku Sanihu sangat meresahkan.

Rio Turipno kini telah dijadikan tersangka karena mengedarkan buku-buku DR. Sanihu Munir. Tapi menurut Ketua Pucuk Pimpinan KGPM Gembala, Andries Sengkey itu saa belum cukup. “Kalau hanya pengedarnya yang jadi tersangka, saya kira ini tidak menjamin penghentian peredaran buku-buku yang bisa berimbas pada konflik SARA. Harusnya ini juga diikuti dengan tidakan hukum kepada Munir,” ujar Sengkey pada wartawan.

Benarkah Sanihu Munir dan Rio Turipno telah melakukan pelecehan agama tertentu? Benarkah kedua orang ini menodai iman umat tertentu?

Sebenarnya yang terjadi adalah reaksi atas aksi. Rio Turipno mengedarkan buku karangan DR. Sanihu dengan harapan mempertebal benteng iman umat Islam atas usaha-usaha Kristenisasi yang marak belakang ini.

Kisahnya bermula ketika malam takbir Idul Fitri lalu. Pada iring-iringan mobil peserta takbir keliling, membonceng oknum dari umat Kristiani yang memanfaatkan situasi pada barisan belakang. “Ketika takbir, mereka membagi-bagikan selebaran yang disangka selebaran informasi tentang Islam oleh umat. Mereka menggunakan kaligrafi, kita sangka isinya ayat al-Qur’an tapi ternyata dikutip dari injil,” terang Rio.

Ia juga menemukan selebaran lain bejudul Rahasia Jalan ke Surga dan masih banyak lainnya. “Sehingga saya berpikir harus ada pula yang mengounter hal dalam bentuk tulisan lagi. Kebetulan saya ketemu dengan DR. Sanihu yang telah membuat tulisan sanggahan terhadap selebaran-selebaran yang beredar,” ujar Rio.

Setelah itu, Rio mengedarkan buku DR. Sanihu Munir sebanyak 20 eksemplar kepada umat Islam sendiri. Tapi apa hasilnya? Rio jadi tersangka dan DR. Sanihu Munir diudak-udak seolah penjahat. Sedangkan pengedar selebaran yang menghasut umat Islam, entah siapa, masih bebas berkeliaran.

Kini pertanyaannya adalah, siapa sang prokator? Apakah DR. Sanihu Munir dan Rio Turipno yang menyulut Kota Bitung? Atau oknum tertentu yang kini bertepuk tangan sambil sembunyi?

Aparat negara, kepolisian dan kejaksaan khususnya, harus benar-benar adil melihat masalah. Dan untuk umat Islam, terus waspada, tanpa harus kehilangan sikap ramah.

Muslim Bitung
Semakin Kuat Lantaran Fitnah
Gara-gara provokasi sekelompok orang, dakwah umat Islam di Bitung menjadi terancam. Agenda menjelang pemilu?

Ketika memasuki kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), mata pun langsung saja tersedot oleh pemandangan, Gunung Api Dua Saudara. Gunung dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut yang berdempetan itu bagai kaki-kaki kokoh yang “melindungi” kota yang berjuluk sebagai kota industri ini.

Kota Bitung bisa jadi merupakan salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang memiliki potensi eco-tourism yang khas, dan sangat potensial bagi pengembangan sektor pariwisata seperti cagar alam taman wisata dan pantai.

Di Bitung, Anda juga bisa menikmati keindahan sensasional kehidupan bawah laut (underwater features) yang tak kalah dengan Taman Nasional Bunaken. Kawasan taman laut ini bisa ditemui di sepanjang Selat Lembeh. Di dasar Selat Lembeh, tersimpan berbagai macam spesies makhluk laut dengan batu karang yang memanjakan mata.

Pesona Pulau Lembeh yang berada 1 mil dari Pelabuhan Bitung sempat menarik Amerika. Kita tentu tidak akan lupa dengan Walikota Bitung, Milton Kansil dan Konsultan asal AS, Vincent A Lacelly, yang pernah menandatangani kesepakatan untuk membangun pelabuhan bagi kapal-kapal perang AS. Konon Bitung dipilih karena lokasinya yang sangat strategis. Secara geografis, Bitung sangat cocok untuk berlabuh kapal-kapal perang AS yang mondar-mandir dari Lautan Pasifik menuju Kawasan Teluk.

“Bitung adalah miniatur Indonesia,” kata Arman Abbas, aktivis Muhammadiyah kelahiran Bitung. Seraya membeberkan argumentasinya, di Bitung ada lima pemeluk agama resmi di Indonesia. Penduduknya hampir dari semua suku besar yang ada di Indonesia tinggal Bitung. Komposisi pemeluk agama Islam dan penganut agama lainnya sekitar 40%:60%.

Disebut-sebut kota ini menjadi pusat kristenisasi se-Asia Tenggara. Komposisi pemeluk Islam yang sedemikian itu memang sempat menimbulkan kecemasan. Di Bitung bendera Partai Damai Sejahtera (PDS), partai Kristen pimpinan Ruyandi Hutasoit, berdiri dengan gagahnya. Berjejer di tiap sekretariatnya. Bendera ungu ini terlihat mendominasi bendera partai apa pun. “Waktu ramai-ramai diundangkannya Sisdiknas di sini paling ramai menolak,” masih kata Arman Abbas.

Tiba di rumah Rio Efendi Turipno, perasaan terasing —untuk tidak mengatakan mencekam— semakin terasa. Menurut pengakuan Rio sendiri, lingkungan tempat tinggalnya memang di dominasi oleh orang Kristen. Apalagi kedatangan SABILI cukup mengundak perhatian penduduk setempat. Baru selesai memotret kaca jendela yang pecah akibat timpukan batu, tiga orang pria yang menumpang mobil kijang berplat DM singgah di rumah Rio. Mereka mengaku utusan dari kepolisian.

Ketiga orang tadi bertanya dengan pertanyaan basi. Karena semua materi pertanyaan itu —seperti kata Rio— sudah dijelaskan panjang lebar oleh Rio di ruang penyidikan. Tapi Rio mafhum, dirinya memang sedang menjadi incaran. Karena itu segala gerak-geriknya terasa dipantau orang. Tak terkecuali dengan setiap orang yang berkunjung ke rumahnya.

Akibat ultimatum yang dikeluarkan oleh Brigade Manguni, yang memberi waktu sepekan untuk menangkap Rio, Sartini, ibunda Rio selama tiga hari tidak bisa makan. Menjelang batas waktu ultimatum Brigade Manguni, Rumah keluarga Turipno ini sempat ditimpuki dua kali pada hari Kamis 12 Februari 2004, pukul 1.15. Batu sekepalan orang dewasa menerobos masuk rumah mereka. Esoknya Rio melaporkan hal ini pada polisi sambil membawa barang bukti. Tapi selang sehari kemudian, pada hari Ahad (15/2) kira-kira jam 1.35 dini hari, jendela rumah mereka kembali pecah. Waktu itu mereka sedang tertidur lelap. Keluarga Turipno semakin dilanda ketakutan yang mencekam. Mereka jadi paranoid, selalu curiga. Kalau malam mereka bergantian ronda. Seringkali kakak Rio, Budi, tidak tidur hingga jam 3 dini hari. Para peneror itu juga menyampaikan ancaman lewat Nuni, sang adik.

Ketika keluar rumah pun anggota keluarga Turipno selalu diberondong pertanyaan tetangganya. Karena seringnya mereka menjawab bahwa permasalahan ini sudah diserahkan ke Kapolres, oleh media malah ditulis bahwa sudah ada kesepakatan dengan Kapolres, bahwa Rio tidak boleh menjawab. Tentu saja ini dibantah oleh Kapolres AKBP. Simanjuntak. Rio jadi bingung, dijawab salah tidak dijawab juga salah. Maka ketika RW setempat menyarankan supaya jangan jual buku yang ditulis DR. Sanihu Munir lagi. Rio tambah bingung. “Asal jangan jual ekstasi sajalah Pak,” katanya.

Idul Adha kemarin pun tak lepas dari insiden. Ceritanya, untuk membangun ukhuwah, dengan keluarga Turipno, beberapa akhwat di Bitung, bertandang ke rumahnya. Tapi di luar rumah, isu yang berkembang adalah, pasukan jilbab sedang menyusun strategi di rumahnya.

Teman-teman Rio di BKPRMI pun tak luput terkena getahnya. Ketika mereka mengadakan acara Tabligh Akbar, dimintai surat izin yang harus diurus ke Polda. Padahal untuk acara semacam itu tadinya cukup pemberitahuan kepada Kapolsek setempat. “Sampai ada yang tanya, ada acara dialog lintas agama tidak?” kata Janwar Ananto Maramis salah seorang panitia.

Tapi Rio dan juga rekan-rekan aktivis lainnya tak surut oleh intimidasi dan teror. Fitnah yang melanda semakin menyatukan tali ukhuwah mereka. Muslim Bitung yang semakin rajin bersilaturahim meski hanya sekadar menukar info.

Sore itu, usai pertemuan di rumah Rio, ada yang kasak kusuk mencari tahu apa saja yang dibicarakan di rumah itu. Entah apa yang dicari dari seorang Rio yang putra mantan supir truk ini. Di rumahnya tak ada simbol-simbol yang mengaitkannya dengan “Jamaah Islamiyah”. Yang ada hanyalah gerobak nasi kuning yang biasa dipakai ayahnya mencari nafkah.

Memang, kalau kita baca surat kabar setempat sepertinya ada kasus besar yang menghebohkan. Tentu saja ini kontradiksi dengan kenyataan. Jalan-jalan di Bitung lancar dan aman belaka. Entah siapa yang mencoba bermain api. Jadi jangan takut pergi ke Bitung. Di sana tantangan dakwahnya segunung. (Sabili 17)

Tidak ada komentar: