Tanggapan untuk Ulil Abshar Abdalla :JIL, Islam Kaffah, Mungkinkah?
Counter Liberalisme Oleh : Qomarul Zaman 19 Feb
2004 - 12:15 pm
Setiap manusia pada
dasarnya mengakui sepenuhnya bahwa ketenangan/kebahagiaan yang hakiki akan
didapat apabila ia merasa dekat dengan "Kholik/Allah SWT" (penciptanya). manusia
adalah makhluk, lemah, senantiasa membutuhkam bimbingan/arahan dari sang kholik,
karenanya kholik tidak membiarkan makhluk hidup tanpa arahan, hidup semaunya,
tanpa aturan, tanpa suri tauladan
Untuk itulah maka ada aturan agama
(syari'at), yang Kholik ciptakan amat sangat sesuai dengan kudrat/kebutuhan si
makhluk, atau dengan kata lain aturan yang sempurna. Namun dalam menyerap
aturan-aturan yang ada tentu saja manusia akan sangat berbeda satu sama lain,
karena begitu banyak faktor yang berpengaruh di sana.
Nafsu manusia...
(kemalasan, kesombongan, takabur, dan seterusnya) , kemudian ditambahi dengan
permusuhan abadi tentara "Syaitan" yang senantiasa menunggu kelengahan
manusia.
Kesemuanya menjadi penyebab bertingkat-tingkatnya kemampuan
menusia dalam menyerap dan mengamalkan aturan sang kholik, namun selama mereka
tetap berpegang pada aturan yang murni (Qur'an dan Hadits) mereka tidak akan
pernah tersesat, tidak akan pernah merasa jenuh sekali dengan kehidupan sehingga
mencari pemuasan dengan aneka "hiburan" yang begitu berlebihan. Dalam tingkatan
apapun tetap akan dirasakan ketenangan/kebahagiaan itu asalkan sekali lagi
"tetap berpegang pada aturan yang murni dan sempurna (qur'an dan hadits)",
karena mereka "muslim", kholik selalu bersama mereka.
Berbeda jelas
sekali dengan mereka yg begitu memaksakan dan begitu mencari pengakuan kepada
makhluk untuk dapat diakui sebagai seorang "muslim" (plus intelek katanya),
padahal tidak satu pun aturan Kholik (qur'an dan hadits) yang mereka terima
dalam hati nuraninya. Ini perlu ditekankan, karena aturan ini memang benar2
sempurna, sangat sesuai dengan kudrat manusia, universal, berlaku untuk seluruh
zaman, tak pernah usang dimakan waktu.
Maka seberapapun berbedanya
kondisi kehidupan saat ini dengan aneka dinamikanya, tak akan pernah menjadi
masalah selama ia telah masuk dan berupaya menyerap "aturan Kholik" dengan
kemampuan yg ada padanya (upaya manusia menjadi kaffah dalam menerima aturan
Kholik yg amat sesuai dengan kondisinya sebagai makhluk).
Maka masuk..
kemudian berupayalah (untuk menjadi kaffah), seterusnya adalah hak Kholik untuk
menilai.. bukan hak makhluk untuk menilai apakah seseorang telah kaffah atau
tidak. Inilah semangat yang hendak ditekankan dalam Islam, satu yg harus
dipegang "tetaplah bersama aturan yang murni... tetaplah bersama Qur'an dan
Hadits" (diperlukan keikhlasan dalam menerima).
Jika tahap dasar ini
telah anda lalui, maka dinamika kehidupan (aneka hiburan/budaya yg rendah
menjadi ujian baginya sedang sunnah (suri tauladan) Rasulullah menjadi tantangan
yg begitu menggiurkan untuk dapat dilaksanakan.. karena pada hakikatnya
seseorang yang telah masuk dan melalui tahap dasar akan mendapat arahan lebih
lanjut dari sang Kholik untuk dapat membedakan mana yg benar (sesuai aturan)
mana yang tidak... mana yg salah mana yg benar.
Berbeda sekali dengan
mereka yg hanya "merasa" menjalankan sebagian aturan... padahal pada hakikatnya
tidak sedikitpun aturan yg diikuti (tak ada keikhlasan) atau mungkin telah
mengikuti aturan yg salah (aturan Syeitan), atau bahkan mungkin telah menjadi
tentara Syaitan dengan motivasi mencari kelengahan sang muslim sejati.... Who
knows?? Untuk itu maka....
WASPADALAH!!! WASPADALAH!!! WAHAI MUSLIM!!!
Berikut artikel Ulil Abshar-Abdalla, JIL = Jaringan Iblis Liberal
aa_iwan_oce@yahoo.com
UAA-JIL Islam Kaffah, Mungkinkah? (Sebuah anti-thesa Tentang Konsep Piagam
Madinah)
Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Saya akan mengajukan
suatu pikiran kecil yang sudah mengganjal dalam benak saya sejak lama, yaitu
perihal "kaffah." Apakah beragama itu harus "kaffah"? "Kaffah" itu artinya
adalah menyeluruh. Kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, "kaffah"
artinya sudut 360 derajat, lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara
"lingkaran penuh"?
Menurut saya, beragama searah 360 derajat itu tidak
sehat dilihat dari pelbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi
tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama
memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan "kata
putus" dari agama. Agama yang "kaffah" itu hanya tepat untuk masyarakat
sederhana yang belum mengalami "sofistikasi" kehidupan seperti zaman modern.
Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang
belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini. Masyarakat moden
mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang
begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa
diatasi seluruhnya dengan agama.
Beragama secara kaffah biasa difahami
sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual,
menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu
pamaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin.
Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-kopi
kehidupan Nabi seperti apa adanya.”
Ambillah contoh berikut ini. Kalau
kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah:
boleh jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita
tak bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati
kedudukan yang sangat penting dalam zaman modern.
Di Malaysia, PAS,
suatu partai yang mewakili pandangan keislaman yang konservatif, hendak melarang
seni Melayu lokal, Makyong. Di Indonesia, FPI dan yang lain-lain mau menutup
tempat-tempat hiburan, di Afghanistan orang-orang diwajibkan berjenggot. Di
mana-mana, ketika Islam (konservatif) bangkit, dunia hiburan selalu menjadi
korban. Apakah hiburan tak boleh? "Boleh!" kata mereka, asal sesuai dengan
Islam.
Kalau kita berislam secara kaffah, pertanyaannya adalah "how
kaffah can you go?" Masing-masing orang berlomba paling kaffah dari yang lain.
Orang-orang yang masih satu senti kurang kaffah dianggap kurang "Islami" oleh
orang-orang lain yang kebetulan sudah satu senti lebih kaffah, dan seterusnya.
Saya tak sanggup hidup dalam lingkungan di mana orang-orang di dalamnya berlomba
menunjukkan kesalehan secara obsesif.
Beragama yang sehat adalah
beragama yang tidak kaffah. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat
kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik. Panduan yang layak kita petik
dari agama adalah ajaran tentang larangan "israf" atau berlebihan. Asal tak
berlebihan saja.
Sogeng, Jakarta. Saya kira Ulil benar. Tak ada penganut
agama yang kaffah, baik ia seorang muslim, Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu
Chu. Sangat mustahil ada orang beragama secara khaffah, karena missi agama
sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah"
ke arah destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk
dinamisasi kehidupan.
Islam yang saya pahami, merupakan agama yang tidak
akan pernah mencapai ke-kaffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya. Memang,
dalam al-Quran dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun
kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi Al-Quran bukan merupakan
kesempurnaan final. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menuntut manusia untuk
menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan
al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan kesempurnaan ide, ia
masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk menuju
ke-kaffah-annya itu.
Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya membaca
berita tentang pemerintahan Taliban yang kabur dari Kabul, lalu orang-orang
pesta pora, perempuan keluar rumah, musik diperdengarkan kembali, dan laki-laki
antri cukur jenggot. Orang-orang Muslim sendiri banyak yang mengatakan, apa yang
dilakukan Taliban itu tak ada sandarannya dalam Islam; itu semata-mata
"medievalisme" yang barbarian. Tapi apa lacur, apa yang dilakukan Taliban, yang
tampak konyol oleh kita, itulah yang sebenar-benarnya ada dalam tradisi kita,
dalam ajaran klasik Islam kita.
Islam, kalau mau diterjemahkan secara
harafiah, jadinya ya Taliban itu. Dan literalisme, sekarang ini, menjadi
kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan
akan "otentisitas", memberi rasa mantap dan yakin-diri akan kehidupan yang
sesuai dengan "masa lampau" yang ideal dan suci. Berkali-kali saya katakan dalam
forum ini, bahwa masa depan Islam tak bisa lain kecuali Islam liberal, setelah
kita menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme yang konyol pada Taliban.
Kalau orang Islam belum kapok dengan contoh ini, ya kebangetan!
Semoga
dengan jatuhnya Kabul, dan kocar-kacirnya Taliban, kocar-kacirlah literalisme
Islam yang melahirkan pemahaman keagamaan yang lucu itu. Sejarah bergerak secara
progresif, menuju "finalitas" yang makin rasional, makin tercerahkan, makin
liberal. Kalau Islam tak mau mengikuti itu, dan berkubang dalam "medievalisme"
yang mesum, maka habislah agama ini. Saya masih tetap ingin Islam relevan untuk
kehidupan ini, karenanya saya harus menafsir kembali dengan susah payah.
Ichan Loulembah, Puskakom, Jakarta. Pendapat saya, "Islam ibadah" bukan
termasuk yang didikusikan Ulil. Yang masuk dalam kategori wacana Ulil adalah
"Islam peradaban" dalam pengertian segenap perangkat nilai --yang tidak pernah
atau tidak boleh selesai-- yang digunakan secara sadar maupun dibawah sadar oleh
penganutnya berdasarkan rekaman emosional, psikologis maupun logis.
Masalahnya adalah "Islam peradaban" itu hanya salah satu peserta
kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi muslim, dengan segenap
keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang menggedor setiap detik
dengan mesin peradaban modern yang sialnya beroperasi lebih canggih ketimbang
Islam. Apakah ini gambaran inferioritas atau kekalahan? Terus terang saya tidak
tahu.
AE Priyono, ISAI Jakarta. Dulu, saya biasa menyetel Beethoven No.
5 sambil shalat dengan niat untuk memperoleh kekhusyukan --meskipun akhirnya
tetap tidak bisa mendapatkan keduanya secara sekaligus. Kini saya menginginkan
suasana yang sangat sunyi untuk mendapatkan dua jenis kenikmatan yang berbeda
itu.
Saya tidak pernah mengganggap serius perintah fikih yang melarang
musik. Dan di kalangan fundamentalis pun isu ini tetap kontroversial. Toh sebuah
jenis Islam yang lain, seperti Rumi, bisa berasyik masyuk dengan musik dan
tarian justru untuk mencapai ekstase dengan Tuhan. Atau bukankah nada sengit
Ulil itu sekadar skeptisisme terhadap khazanah klasik tertentu yang ditiru
secara serampangan oleh kalangan fundamentalis, yang dia sendiri merasa lebih
sah memilikinya?
Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya mungkin agak
berlebihan. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa dunia hiburan dan leisure (baca:
kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam kehidupan
modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya oleh leisure ini.
Tapi, Islam tampaknya abai terhadap hal yang satu ini, dan kalau mau masuk ke
dalamnya, ia hanya mempunyai piranti klasik yang sudah tidak memadai.
Saya bukan penikmat hiburan yang baik; saya hanyalah seorang yang sangat
amatir untuk itu. Tetapi, saya merasakan ada hal yang sehat dalam suatu ruang
publik di mana dunia "leisure" bisa ditampung, di mana hiburan bisa dikembangkan
dengan wajar.
AE Priyono mengatakan bahwa larangan musik tidak cukup
serius di kalangan kaum fundamentalis. Saya justru berpandangan sebaliknya.
Talibanisme telah menjadi hantu yang membayangi saya, sebab saya tahu, apa yang
dikerjakan Taliban memang betul-betul ada sandarannya dalam salah satu jenis
penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal; suatu penafsiran yang
memusuhi dunia hiburan dengan obsesif.
Hantu itu lebih mengerikan karena
pandangan-pandangan yang "medieval" (baca: bersifat abad pertengahan; maksudnya:
sudah tak sesuai lagi) semacam itu tidak saja hendak diselenggarakan sebagai
"keasyikan" pribadi, tapi mau ditegakkan melalui negara. Negara mau dijadikan
aparatus pengawas "kesalehan" dengan memberangus dunia hiburan.
Saya
jelas tidak menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan yang
kerapkali membius "nalar yang cerah" jelas harus terus dilakukan. Untuk hal ini,
umat Islam patut belajar dari studi-studi kebudayaan (dalam pengertian “cultural
studies”) yang muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan saya adalah soal
pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang
rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.
Luthfi
Assyaukanie, JIL Jakarta. Saya agak berbeda pendapat dengan Ulil soal kaffah
itu, yang karena itu pemahamannya tentang konsep itu menjadi melebar ke
mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari kalau istilah itu didudukkan dalam
konteks al-Quran yang sebenarnya. Ulil, menurut saya, sudah "terpengaruh" dengan
penafsiran awam yang mengartikan "silmi" semata-mata sebagai "Islam." Karenanya,
surah Albaqarah (208) itu dipahami secara literal: silmi=Islam, karena akar kata
s-l-m sama dengan -i-s-l-m.
Padahal, kalau kita membuka tafsir-tafsir
al-Quran dan membacanya secara kritis, kata "silmi" itu bukan berarti Islam,
paling tidak bukan satu-satunya. Bahkan ada sebuah kiraat yang diriwayatkan dari
A'masy, kata itu tidak dibaca "silmi" tapi "salami" yang tentu saja memiliki
makna berbeda dari pengertian yang selama ini beredar. Perlu diketahui, kiraat
ini sahih.
Zamakhsyari, imam tafsir yang menurut saya paling ahli dalam
bahasa Arab, dalam tafsir Al-Kassyaf-nya, misalnya mengartikan istilah itu
dengan "ketaatan kepada Tuhan." Pendapatnya ini diperkuat dengan asbabun nuzul
ayat tersebut, yang sesungguhnya ditujukan bukan untuk orang-orang Islam, tapi
justru untuk Ahlul Kitab yang dalam konteks itu dianggap punya kecenderungan
bersikap "sinkretis."
Dalam konteks "silmi" yang berarti "islam" kita
bisa membandingkannya dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang jelas-jelas akan
memberikan impresi berbeda dari yang selama ini kita pahami dari kaum literalis.
Ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi Madinah yang konon
setelah masuk Islam tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan lamanya (ia masih
menjalankan ritual sabat dan membaca taurat dalam salat!), sesuatu yang membuat
para sahabat "cemburu" dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat
"udkhulu fissilmi kaffah" itu sebagai protes untuk sikap keberagamaan Abdullah
yang sinkretis itu.
Jadi, "kaffah" itu saya kira tak ada hubungannya
dengan "berislam secara total" seperti selama ini dipahami, tapi ia hanyalah
pesan untuk menghindari sinkretisme.
Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta.
Talibanisme adalah puncak kevulgaran literalisme Islam yang dimulai sejak
gerakan wahabisme merebak di tanah Nejd. Peristiwa di Afghanistan ini makin
membuat saya yakin bahwa "kesalehan privat" tidak bisa ditegakkan melalui
negara. Agama haruslah menjadi kesadaran invidual yang bebas, tanpa diawasi oleh
lembaga ekstra-persona yang nyinyir dan cerewet.
Saya makin yakin,
dengan kejadian di Afghanistan itu, kehidupan haruslah dipecah menjadi dua. Di
satu pihak adalah kehidupan privat atau pribadi, di mana agama memainkan peran
yang penting. Dalam kehidupan ini kita mengembangkan apresiasi dan penghayatan
yang mendalam dan khusyuk terhadap dimensi-dimensi spiritual dalam kehidupan. Di
pihak lain adalah kehidupan publik yang harus diatur sesuai dengan
kesepakatan-ksepakatan masyarakat. Agama hanyalah menjadi inspirasi untuk
pengaturan itu.
Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada
voting. "Antum a'lamu bi umuri dunyakum," kata Nabi; kalian lebih tahu urusan
mundan yang anda hadapi setiap hari. "Fa-ma sakata 'anhusy syari'u fahuwa
'afwun," kata Nabi dalam hadis yang lain; apa-apa yang agama diam, maka itu
berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan
"mubah" (diperbolehkan). Saya memandang bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana:
Pertama, kaidah dasar dalam urusan ritual adalah: semua hal yang tidak
memperoleh pengesahan dari agama, adalah haram (al ashlu fil 'ibadati al
hurmatu). Orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk salat. Salah ya
harus seperti diajarkan Nabi itu, "Shallu kama ra-aitumuni ushalli" (salatlah
sebagaimana kalian lihat aku salat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan
pasti, tinggal dijalankan saja.
Kedua, kaidah untuk kehidupan mundan dan
duniawi: semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama.
Catatan saya: kaidah ini masih mengandung kelemahan. Menurut saya, kaidah ini
seharusnya berbunyi demikian: sesuatu yang bersifat mundan adalah boleh, kecuali
yang atas alasan konsensus publik dilarang.
Dengan pandangan semacam
ini, saya sebetulnya ingin mengatakan bahwa "birokratisasi kehidupan" yang
sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling masuk akal sekarang
ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat kemungkinan yang tanpa batas
untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang terjadi dalam pengaturan
kehidupan publik. Sebab, semua perkara ditentukan melalui proses "duniawi" yang
relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu, sikap paling ideal
sebagai Muslim sekarang ini adalah sebagai berikut:
Pertama, secara
individual menghayati relijiusitas yang mendalam; mengembangkan penghayatan
spiritual yang penuh dengan cinta pada Allah. Dengan kata lain, secara
individual model yang ideal adalah Rabiah Al Adawiyah, seorang wali perempuan
yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas.
Kedua, secara
sosial, mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum
yang dicapai secara demokratis. Kehidupan publik ia kembangkan berdasarkan
inspirasi cinta ketuhanan yang feminin itu, bukan berdasarkan diktum-diktum
harafiah agama, apalagi fiqh. Rasio dan nalar yang sehat adalah panduan utama
dalam pengelolaan ruang publik ini. Saya tak tahu, siapa model yang baik dalam
hal ini dalam sejarah Islam.
Dalam wawasan seperti ini, "ke-kaffah-an"
Islam hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi. Dalam sistem sosial, tak ada
suatu sistem yang "kaffah". Sistem sosial yang "kaffah" adalah sistem yang
totaliter dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa
dibatalkan oleh konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan
pengelolaan kehidupan ramai. Sistem sosial (sebaiknya atau seharusnya) selalu
bersifat provisionaris, alias sementara, bukan "kaffah", alias sudah final dan
abadi.
A. Rumadi, IAIN Jakarta. Soal agama "kaffah," menurut saya,
argumentasi konvensional sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pemahaman Islam
sebagai agama yang "serba meliputi," menyeluruh dan seterusnya merupakan akal-
akalan "misionaris" Islam untuk menyedot "pendukung." Ke-kaffah-an seolah
identik dengan jaminan keselamatan seseorang hanya dengan memeluk agama itu dan
cukup dengan mengucapkan "syahadat."
Di luar itu, saya kadang berpikir
apakah orang beragama itu memang harus full time. Tidak bolehkah beragama secara
part time. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi harus "beragama," sampai
mau ke toilet pun harus "beragama." Ke-kaffah-an Islam sering kali juga di ukur
dari hal-hal seperti ini. Rasanya enak sekali kalau beragama bisa part time.
A. Bakir Ihsan, IAIN Jakarta. Istilah kaffah sebenarnya multitafsir.
Kaffah menurut mazhab Taliban tentu berbeda dengan kaffah menurut Ulil.
Persoalannya hanya pada otoritas. Ketika Ulil melontarkan persoalan kaffah di
forum ini, banyak yang menanggapinya seakan-akan itulah kaffah yang sebenarnya,
atau kaffah-nya Ulil salah dan harus diserang karena akan memiliki efek
lanjutan. Padahal masing-masing kita memiliki otoritas yang sama untuk
menafsirkan kaffah.
Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah final untuk
menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat keberagamaan
seseorang. Manusia ini sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan dan
keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi. Yang
benar-benar kaffah hanyalah Tuhan. Muhammad sendiri sebagai penyebar Islam tidak
kaffah dalam arti sempurna seratus persen.
Kaffah bagi mazhab Taliban
adalah meniru sepenuhnya masa Nabi. Mereka berusaha memindahkan masa silam pada
masa kini; memelihara jenggot, pakai sorban, perempuan pakai cadar dan
sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi mereka adalah bagian dari keislaman
mereka. Sayangnya mereka tidak berperang pakai pedang dan naik onta saat melawan
Amerika, seperti pada masa Nabi. Tetapi inilah kekaffahan yang mereka yakini.
Saya setuju dengan Ulil bahwa doktrin keagamaan mazhab Taliban memiliki
pijakan yang kuat dalam literatur Islam. Tapi ini bukan persoalan krusial, dan
pijakan ini bukan satu-satunya milik mereka. Karena Ulil sendiri, dan mungkin
teman-teman yang lain, memiliki alasan yang sama kuatnya untuk mempertahankan
pandangannya tentang keberagamaan yang kaffah.
Arsuka, Nirwan Ahmad,
Bentara Jakarta. Provokasi Ulil di debat ini ada adalah provokasi seorang
realis, seorang intelektual tulen yang melihat dengan dingin kenyataan yang
berlangsung. Ajakannya untuk tidak berislam secara kaffah adalah ajakan yang
sangat bernilai. Ajakan Ulil itu, seperti dikarikaturkan oleh Bimo Ario Tejo,
memang bisa diplintir menjadi dalih bagi oportunisme, bagi kepengecutan dan
kemunafikan. Tapi ajakan itu juga bisa dilihat sebagai kesimpulan dari seorang
intelektual muslim yang sadar akan batas-batas: sebuah ajakan yang lahir dari
sikap tahu diri dan rendah hati.
Ngotot berislam secara kaffah itu
secara karikatural mirip dengan ngotot menjadi prajurit TNI secara kaffah.
Makhluk angker seperti ini selalu menjadi tentara bukan hanya di barak atau di
medan perang, tapi juga menjadi tentara di bis kota, di masjid, di arena joget
dangdut, di lapangan pertunjukan wayang, di antrean loket kereta, di
pasar-pasar, di mana saja dan kapan saja. Akibatnya adalah jika ia masuk pasar
ia cenderung bicara setengah membentak sebagai cara untuk menawar harga kain
seragam, jika ia jum'atan orang-orang minggir memberinya jalan ke saf terdepan,
jika naik metromini ia tak merasa perlu bayar ongkos dan kondektur segan
menagihnya, jika ia kesenggol di arena joget dangdut ia bisa langsung menarik
pistol dan mengajak rekan-rekannya menyerbu arena itu.
Sudah tentu,
karikatur “kaffah” ini bukanlah hal yang kita kehendaki pada Islam. Mungkin
perlu merumuskan pengertian kaffah yang lain, yang lebih tepat untuk keadaan
kita saat ini.
JIL-Ulil Abshar-Abdalla : Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi
Selama tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla, tokoh Jaringan Islam
Liberal (JIL) yang kontroversial, menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Sampai
kemudian dia mudik lagi setelah mendapat kabar bahwa Ayahandanya, KH. Abdullah
Rifa’i meninggal, di pertengahan Desember lalu. “Padahal saya masih ingin
berlama-lama di sini sampai buku saya selesai,” kata Ulil yang pernah mendapat
fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini. Ia mendapat undangan dari
University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah
tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di
universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Selain Ulil, tahun-tahun
sebelumnya yang pernah mendapat undangan serupa adalah Dr. Nurcholish Madjid dan
Goenawan Mohamad.
Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di
Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin
merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran
dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif
Islam liberal. Dalam wawancaranya dengan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam
Liberal, Kamis 8 Januari 2003 lalu, dia berharap, buku ini bisa menjelaskan
secara utuh pemikiran–pemikirannya yang selama ini dianggap kontroversial.
Menurutnya, selama ini bukunya yang sudah terbit hanya berasal dari
artikel-artikel lepas saja. Berikut petikannya:
HAMID BASYAIB
(HAMID): Bung Ulil, saya ingin tahu, bagaimana respon mahasiswa ketika Anda
mengajar?
ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Responnya cukup bagus. Kita
tahu, di Amerika saat ini perbincangan atau pembicaraan soal Islam sangat
menarik. Bisa disebut seksi lah. Di mana-mana orang selalu bertanya mengenai
Islam. Dan harap diketahui, bahwa Michigan University ini adalah tempatnya
orang-orang yang anti George W. Bush atau pendukung Partai Demokrat. Kumpulan
orang-orang yang visinya progresif-kiri, anti perang Irak, kebanyakan
orang-orang kritis dan punya simpati besar terhadap Islam.
HAMID:
Ketika Anda mengajar, pertanyaan apa sih yang paling sering dilontarkan kepada
Anda sebagai orang Islam dan pemikir dari sebuah negara Islam terbesar di dunia
yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?
ULIL: Sebelumnya ada
dua hal yang mengesankan bagi saya selama mengajar di sana. Pertama, semua orang
yang mengikuti kuliah saya, tampaknya secara psikologis sudah siap menerima
wejangan saya. Mereka sudah mempunyai mindset bahwa Islam tampaknya
disalahpahami di Amerika. Mereka paham akan hal itu. Jadi, mereka harus belajar
dari orang Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, mereka ingin mendengar Islam
versi Asia Tenggara, lebih khusus versi Indonesia. Jadi, mereka datang dengan
simpati yang besar, dengan persepsi bahwa Islam adalah agama yang dizalimi
publik Amerika, sehingga mereka perlu mengundang saya untuk memberi informasi
first hand kepada publik di sana.
Kedua, ada beberapa orang yang tidak
mengerti mengapa terjadi radikalisme dalam Islam. Pertanyaan ini pernah diangkat
Farid Zakaria (kolomnis senior majalah Newsweek-red) dalam edisi khusus Newsweek
yang berjudul: Why do they hate us? Kenapa mereka (orang Islam) membenci kami
(orang Amerika)? Ada pertanyaan mengenai hal itu. Dan menjawab pertanyaan
semacam itu tidaklah mudah.
HAMID: Tadi Anda menyebut mereka
ingin tahu Islam versi Asia Tenggara atau lebih khusus lagi Indonesia. Apakah
mereka sudah cukup tahu tentang Islam Arab atau versi Timur Tengah?
ULIL: Harus diketahui, bahwa exposure atau informasi mengenai
Islam di luar kawasan Arab itu sangat kecil. Salah satu sebabnya adalah karena
populasi orang Islam dari Arab di Amerika besar sekali. Masjid pertama kali yang
didirikan di Amerika pada akhir abad ke-19, di daerah Iowa didirikan oleh orang
Siria. Dan memang, di negara bagian Michigan ada satu kota kecil bernama
Dearbon, yang menjadi pusatnya orang Arab di sana. Dan di sana ada masjid besar.
Michigan dikenal sebagai negara bagian yang mempunyai populasi orang Islam
paling besar di Amerika. Sehingga perjumpaan orang Amerika dengan orang Islam di
sana lebih banyak diwakili orang Arab. Hal itu sudah terjadi selama dua abad.
HAMID: Selain mengajar, saya dengar Anda juga menulis buku.
Betulkah?
ULIL: Betul. Sebenarnya konsentrasi saya di sana adalah
riset, membaca, dan menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan. Semoga selesai
dalam waktu dekat. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang indah dalam kehidupan ini
kecuali membaca, menulis, dan riset dengan bahan yang cukup. Saya tidak tahu
kapan negeri ini bisa memenuhi itu semua. Perpustakaan di perguruan tinggi
Amerika itu luar biasa.
HAMID: Buku apa yang Anda tulis?
ULIL: Saya menulis semacam metode penafsiran ala Islam liberal. Lebih
spesifik penafsiran tentang Alqur’an. Tentu bahan-bahanya tidak semua ada, tapi
sebagian yang saya butuhkan bisa tercukupi. Yang paling menyenangkan di sana
adalah suasana keilmuan yang sangat kondusif.
HAMID: Apakah Anda
tidak kesulitan menulis di Michigan dan Ohio, sebab ahli Islam tidak banyak,
bahkan tidak ada. Padahal Anda kan membutuhkan counter part untuk kepentingan
penulisan buku ini?
ULIL: Memang, itu yang tidak saya temukan di
sana. Tapi ada seorang ahli perbandingan agama, hanya saja fokus studinya bukan
tentang Islam, tapi tentang Hindu. Karena saya merasa counter part itu banyak
saya temui di Indonesia. Di sana, saya kan menemukan dan Cuma butuh tempat yang
enak untuk menulis dan membaca saja. Sekarang buku itu sudah selesai sekitar
enam puluh persen.
HAMID: Selama ini Anda kan dikenal sebagai
pemikir Islam yang sangat kontroversial, sampai-sampai difatwa mati. Apakah
proyek buku itu menjadi kelanjutan pemikiran Anda secara utuh?
ULIL: Inginnya sih begitu. Tapi kalau sekarang saya buka seluruh
isinya, tentu akan membuat buku itu tidak menarik lagi. Tidak surprise. Tapi
secara umum, salah satu aspek yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca adalah
bahwa Alqur’an sebagai kitab suci, hanya salah satu kitab suci saja. Bukan
satu-satunya kitab suci di dunia ini. Itu saya kira aspek yang dilupakan oleh
banyak orang; bahwa Alqur’an adalah scripture among sciptures, dia adalah kitab
suci di antara kitab suci yang banyak. Dan wahyu yang dibukukan dalam Alqur’an
sebenarnya adalah revelation among revelations, wahyu di antara wahyu yang lain.
Dan orang Islam saya kira layak untuk belajar jenis-jenis wahyu yang lain.
HAMID: Maksudnya?
ULIL: Menurut saya, hampir semua
kitab suci itu bermuatan mukjizat. Selama ini orang Islam hanya menganggap bahwa
mukjizat terbatas pada Alqur’an saja. Saya tentu sangat percaya bahwa Alqur’an
adalah mukjizat dan hebat. Tapi bagi saya, all scriptures are miracles, semua
kitab suci adalah mukjizat. Setelah saya membaca studi perbandingan mengenai
kitab suci yang lain, saya menemukan bahwa hampir semua kitab suci adalah indah,
mukjizat dan mengagumkan. Bagi saya, orang Islam perlu meletakkan kitab sucinya
dalam kerangka mukjizat yang luas ini.
HAMID: Lantas bagaimana
dengan klaim tentang keaslian kitab suci Alqur’an yang hanya terbatas pada
Alqur’an saja?
ULIL: Kita harus meninjau ulang konsep atau
gagasan tentang keaslian kitab suci. Bagi saya, semua kitab suci adalah asli.
Tapi harus diingat bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, tidak
ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi besar, sebesar tanaman
seumur 50 tahun. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase bayi,
remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah manusia yang langsung
jadi. Ketika kita melihat Alqur’an, Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua
itu adalah kitab suci yang tumbuh. Kalau kita sebut asli bagaimana? Semua kitab
suci adalah asli; semua kitab suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi
dia berubah atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.
Memang
ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci di luar Islam itu
diselewengkan. Tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an
dengan ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan isinya atau intinya,
atau diselewengkan pada tingkat pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat
pelaksanaanya, Alqur’an pun diselewengkan.
HAMID: Atau dalam
istilah Alqur’annya tahrîf.
ULIL: Ya, istilahnya tahrîf. Saya
kira terlalu teknis kalau saya bicarakan hal ini terlalu mendalam. Tapi intinya,
saya kira banyak orang Islam yang salah memahami makna tahrîf itu. Mereka
percaya, seoalah-olah proses turunnya kitab Injil dan Taurat itu sama dengan
Alqur’an; melalui proses pewahyuan kepada nabi dan dicatat. Injil bukan begitu
proses turunnya. Sebab, Nabi Isa tidak pernah menerima wahyu seperti Nabi
Muhammad menerimanya. Jadi konsep wahyu dalam Injil itu berbeda dengan dalam
Alqur’an.
Yang ingin saya tekankan dalam buku saya nanti adalah,
seyogyanya orang Islam memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang
berbeda-beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala Yahudi, dan
lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda konteksnya, dan dinilai berdasarkan
penilaiannya sendiri-sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar
Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair.
HAMID: Menurut
Anda, bagaimana memahami konsep wahyu dalam agama Kristen misalnya?
ULIL: Saya tidak ingin masuk dalam detail-detail agama Kristen.
Tapi intinya, banyak hal yang indah, baik, dan mengagumkan yang saya temui dalam
semua kitab suci. Saya membaca Injil dan menikmati sekali. Saya menyukai
beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti khotbah di atas bukit. Dalam
Perjanjian Lama, pasti semua orang menyukai kidung agung the song of Solomon;
kisah cinta dalam bentuk yang lembut, subtil, dan indah sekali. Intinya, semua
kitab suci itu mukjizat dari berbagai seginya.
Misalnya lagi, kehebatan
kitab-kitab suci di luar Alqur’an seperti Veda, salah satu kitab suci yang
paling tua dari India. Inilah kitab yang selama ribuan tahun tidak pernah
ditulis; sebuah kitab suci yang proses transmisinya dari satu generasi ke
genarasi yang lain melalui kisah. Istilahnya, dalam studi-studi kitab suci
melalui suara. Jadi ini kitab suci yang auditif, dikisahkan secara oral, dari
satu generasi ke genarsi berikutnya. Kitab ini baru ditulis pada abad XIX oleh
sarjana Eropa bernama Friedrich Max Muller, bukan oleh orang India sendiri. Dia
yang menulis dan mengodifikasi kitab Veda. Yang mengherankan, selama ribuan
tahun kitab ini tidak pernah ditulis tapi tetap terjaga. Dan tidak hilang.
Banyak hal dalam tradisi oral yang hilang, tapi Veda tidak hilang.
Jadi
menurut saya, ayat dalam Alqur’an yang berbunyi, innâ nahnu nazzalnâ al-dzikrâ
wa innnâ lahû lahâfidzûn (Aku menurunkan Alqur’an dan Aku juga yang akan
menjaganya) itu berlaku untuk semua kitab suci. Berlaku buat Injil, juga
Upanishad. Kalau Anda beragama Hindu dan termasuk deretan pengagum Mahatma
Gandhi, Anda bisa membaca buku yang dia tulis mengenai Tuhan. Hal ini menarik,
karena Gandhi mengemukakan wawasan ketuhanan yang sifatnya universal. Semua
agama sama; kitab suci semua hebat. Gandhi mengapresiasi Alqur’an, Injil,
Taurat, dan seterusnya.
HAMID: Mungkin kalau banyak orang yang
menghormati perbedaan agama secara proporsional, dunia ini akan damai, ya?
ULIL: Yang ideal, kita akan menjumpai situasi yang menyerupai
free market of ideas atau free market of scriptures, of revelations, of
religions. Pasar bebas kitab-kitab suci.
HAMID: Apa yang mau Anda
simpulkan dari kunjungan ke Amerika kemarin?
ULIL: Terus terang,
saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke
Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa
Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris
khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris.
Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang
lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal
yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal
lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan
nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai.. JES -+- US