Jika pembaca
yang budiman berhasil tahan dan dengan sabar ikut menempuh sejarah pemikiran
umat Kristen mengenai Tuhannya yang menjadi identitasnya, mungkin sekali
pembaca menjadi bingung dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun demikian,
melihat bagaimana umat bergumul untuk secara intelektual, konsepsual dan
linguistik mendekati inti sari imannya, Yesus Kristus, pembaca toh kiranya
turut memuji umat itu serta pemikir-pemikirnya dalam usahanya mewartakan Yesus
Kristus begitu rupa, sehingga manusia tertolong untuk mendekati Yesus dan Allah
yang diberitakan dan dinampakkan Yesus Kristus. Yesus itu memang tetap sama,
kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya. Tetapi manusia yang berubah mau
tidak mau memikirkan Dia secara lain.
Tentu saja
tidak ada satu pun kristologi disusun sepanjang sejarah yang sungguh-sungguh
memuaskan dan dapat mempertahankan diri. Adapun sebabnya bukan hanyalah
kenyataan bahwa alam pikiran manusia berubah, tetapi juga oleh karena
"objek" kristologi, yaitu Yesus Kristus melampaui pikiran, perkataan
dan bahasa manusia. Para pemikir Kristen juga tidak selalu berhasil baik dalam
usahanya. Para teolog tidak boleh terlalu berbangga atas ilmunya. Sebab
adakalanya para teolog dengan spekulasinya memasang tembok tebal antara Yesus
Kristus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka tidak selalu menolong umat
untuk juga secara intelektual, konsepsual serta linguistis semakin jelas dan
jernih melihat (bukan: membongkar) misteri yang tak terselami itu.
Syukurlah
iman tidak bergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus,
relevansi dan peranan abadi-Nya akhirnya hanya tercapai dengan hati yang
berirnan dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar daripada
otak manusia, meski otak itu amat cerdas dan tajam sekali pun. Kalau umat
condong melihat Yesus Kristus sebagai manusia, ternyata Ia lebih dari