Rabu, 19 Juni 2013

Yesus Kristus di Indonesia




Jika pembaca yang budiman berhasil tahan dan dengan sabar ikut menempuh sejarah pemikiran umat Kristen mengenai Tuhannya yang menjadi identitasnya, mungkin sekali pembaca menjadi bingung dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun demikian, melihat bagaimana umat bergumul untuk secara intelektual, konsepsual dan linguistik mendekati inti sari imannya, Yesus Kristus, pembaca toh kiranya turut memuji umat itu serta pemikir-pemikirnya dalam usahanya mewartakan Yesus Kristus begitu rupa, sehingga manusia tertolong untuk mendekati Yesus dan Allah yang diberitakan dan dinampakkan Yesus Kristus. Yesus itu memang tetap sama, kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya. Tetapi manusia yang berubah mau tidak mau memikirkan Dia secara lain.
Tentu saja tidak ada satu pun kristologi disusun sepanjang sejarah yang sungguh-sungguh memuaskan dan dapat mempertahankan diri. Adapun sebabnya bukan hanyalah kenyataan bahwa alam pikiran manusia berubah, tetapi juga oleh karena "objek" kristologi, yaitu Yesus Kristus melampaui pikiran, perkataan dan bahasa manusia. Para pemikir Kristen juga tidak selalu berhasil baik dalam usahanya. Para teolog tidak boleh terlalu berbangga atas ilmunya. Sebab adakalanya para teolog dengan spekulasinya memasang tembok tebal antara Yesus Kristus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka tidak selalu menolong umat untuk juga secara intelektual, konsepsual serta linguistis semakin jelas dan jernih melihat (bukan: membongkar) misteri yang tak terselami itu.
Syukurlah iman tidak bergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan peranan abadi-Nya akhirnya hanya tercapai dengan hati yang berirnan dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar daripada otak manusia, meski otak itu amat cerdas dan tajam sekali pun. Kalau umat condong melihat Yesus Kristus sebagai manusia, ternyata Ia lebih dari
manusia; kalau mau dilihat sebagai "nabi," Ia toh lebih dari nabi; kalau mau digelari "Mesias," Ia ternyata lebih dari Mesias; kalau mau dinilai sebagai "malaikat," Ia nampak lebih dari malaikat. Akhirnya umat sampai menyebut-Nya Allah dan di situ berhenti. Tidak ada yang melebihi Allah. Bagaimana manusia Yesus Kristus dapat disebut Allah, tentu saja tidak mudah dijernihkan.
Iman yang dengannya manusia mencapai Yesus Kristus, tentu boleh malah harus mencari pemahaman. Fides quaerens intellectum, iman sejati mencari pemahaman sejauh itu mungkin. Hanya iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman. Pemahaman, tegasnya pemahaman ilmiah, ialah teologi, turut berperan untuk mengantar manusia secara menyeluruh kepada Yesus Kristus, tetapi teologi, kristologi itu hanya sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus sendiri, tetapi pikiran umat tentang Dia. Teologi/kristologi hanya refleksi sekunder, meta-refleksi, refleksi ilmiah tentang refleksi umat beriman. Dalam kristologi, baik yang spontan, maupun yang refleksif-ilmiah, Yesus Kristus melalui konsep-konsep menjadi bahasa, "logos," kata mengenai Kristus. Dan maksudnya ialah mengarahkan iman kepada sasarannya. Maka kristologi hanya alat.
Dan kristologi malah bukan sarana utama. Sebab iman umat terlebih diarahkan kepada sasarannya oleh doksologi (puji-pujian), yang tidak rasional, dan oleh homologi, pengakuan iman bersama (syahadat). Homologi itu bukan teologi, melainkan ucapan iman umat yang seia sekata (homo-logos memang berarti: kata yang sama, sekata) terarah kepada sasaran imannya. Maka homologi selalu bernada doksologi juga. Homologi itu pada tempatnya dalam ibadat umat waktu umat seia sekata memuji dan meluhurkan Allah dalam Tuhannya, Yesus Kristus.
Karena itu kesimpangsiuran yang selama abad XIX dan XX merajalela dalam pemikiran ilmiah tentang Yesus Kristus (kristologi) pada umat Kristen di dunia barat, tidak usah terlalu mengejutkan umat Kristen di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam kristologi disebabkan oleh kesimpangsiuran dalam masyarakat dan pemikiran dunia barat itu. Rupanya alam pikiran di barat menempuh kurun baru dalam sejarahnya. Dunia barat itu kini mirip dengan umat manusia yang dilukiskan Kitab Suci (Kej 11:1 -9). Waktu mencoba mendirikan menara yang puncaknya mesti sampai di surga, umat manusia kehilangan kesatuan bahasa (dan pemikiran), sehingga tidak lagi mengerti satu sama lain. Kristologi-kristologi bermacam-macam yang disusun para pemikir Kristen di dunia barat itu hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di barat.
Kesimpangsiuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia barat. Manusia, termasuk beriman, di dunia barat melewati zaman metafisis Yunani, zaman pertengahan, zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme, eksistensialisme, empirisme, positivisme. Dan orang Kristen yang berpikir mempunyai soal: Bagaimana mewartakan Yesus Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran yang simpang siur itu? Tidak mengherankan bahwa apa yang mereka sodorkan juga agak simpang siur.
Selama lebih kurang 500 tahun Yesus Kristus sudah diwartakan dan diimani di tanah yang disebut Indonesia, luas membentang. Dewasa ini sudah diimani jutaan orang Indonesia, meskipun suatu minoritas saja. Dan Yesus Kristus benar-benar hidup dalam hati mereka, sambil dikasihi dan sedapat-dapatnya ditaati. Tetapi ketika Yesus Kristus mulai diberitakan kepada manusia di Indonesia, Ia sudah ratusan tahun dipikirkan oleh umat Kristen dan direnungkan dalam rangka dunia lain, dalam rangka kebudayaan Yunanj, Latin, Jerman, di belahan utara-barat bumi ini. Dan tidak dapat tidak Yesus Kristus, yang tetap sama, diberitakan dengan pertolongan konsep-konsep dan "bahasa" mental yang ada pada pemberita Injil itu. Melalui sarana yang khas itu manusia Indonesia diantar kepada Yesus Kristus yang tercapai dengan iman dan kasih. Nyatanya kristologi berkembang dalam batas dunia utara-barat itu, sehingga secara konsepsual dan linguistis Yesus Kristus, yang memang melampaui batas itu, menjadi terkurung. Itu tidak boleh berjalan terus demikian, kalau Gereja Kristus benar-benar mau "Katolik".
Mau tidak mau manusia Indonesia yang beriman memikirkan dan berhak memikirkan sasaran imannya, Yesus Kristus. Dan itu pun dengan caranya sendiri. Manusia Indonesia itu menempuh sejarahnya sendiri, lain daripada yang ditempuh manusia barat, yang sekian lamanya menganggap dirinya "pusat" dan "tuan" semesta dunia. Manusia Indonesia tidak atau hanya sedikit digembleng oleh kebudayaan dan alam pikiran Yunani, Latin, Jerman, dunia barat. Manusia Indonesia tidak melewati zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme dan positivisme. Hanya di pertengahan abad XX ini secara agak mendadak manusia Indonesia dikonfrontasikan dengan hasil teknologis dan ideologis (khususnya kapitalisme dan sosialisme) sejarah dunia barat itu.
Boleh dikatakan bahwa situasi nyata di Indonesia dewasa ini mendesak para pemikir yang beriman akan Yesus Kristus mulai secara ilmiah memikirkan sasaran iman umat. Perlu dipikirkan bagaimana Yesus Kristus nyatanya hidup dalam benak umat beriman di Indonesia, Bagaimana refleksi spontan umat itu dapat dijernihkan, kalau perlu dibetulkan, sehingga Yesus Kristus yang tetap sama semakin hidup dalam hati orang Indonesia dan semakin relevan dan bermakna bagi seluruh kehidupannya. Dengan perkataan lain: Kiranya sudah tiba saatnya para teolog Indonesia, sebagai pelayan umat, mulai menyusun suatu kristologi yang sesuai dengan manusia Indonesia dewasa ini. Pemikiran itu tentu saja mesti melayani pewartaan dan pemberitaan di dalam rangka umat dan di luar rangka itu. Bukan pemikiran, teologi, kristologi perlu diberitakan, melainkan Yesus Kristus. Teologi, kristologi hanya alat untuk membuat pemberitaan itu lebih sepadan dan sesuai, lebih efektif dan kena di Indonesia.
Kiranya kurang tepat, jika kristologi yang berkembang di dunia barat begitu saja dipindahkan ke Indonesia, apalagi mengingat krisis yang sedang melanda teologi dan kristologi di dunia barat. Seluruh permasalahan kristologi di sana berasal dari kenyataan bahwa di dunia barat itu Allah menjadi suatu problem. Karena itu ada tendensi kuat pada para teolog untuk menonjolkan "manusia" Yesus Kristus, dan keilahiannya sedikit banyak disembunyikan. Sebab "manusia" tidak menjadi problem. Tetapi di Indonesia juga demikian? Rupanya Allah bukan suatu masalah, kecuali barangkali bagi segelintir orang yang terpengaruh oleh "sekularisasi barat''. Agama memang subur di Indonesia, didukung oleh negara yang menyangkal, bahwa negara sekular, kalaupun tidak mau menjadi negara konfensional.
Dewasa ini orang banyak berbicara dan menulis tentang "kontekstualisasi" teologi dan "inkulturasi" seluruh Gereja (Katolik). Dan dalam Gereja Katolik tendensi itu didukung oleh pusat di Roma. Konsili Vatikan II pada tahun 1964/1965 sudah memberi pengarahan. Dalam dekret mengenai Ekumene (UR n.6) konsili merumuskan suatu prinsip yang boleh diperluas menjadi prinsip umum. Dikatakan sebagai berikut, "Dalam ziarahnya Gereja dipanggil Kristus untuk pembaharuan terus-menerus. Pembaharuan ini Gereja butuhkan sebagai pranata manusiawi. Jadi, apabila karena keadaan dan zaman ada hal yang kurang cermat terpelihara, baik dalam kebiasaan maupun dalam tertib hidup kegerejaan, demikian pun pula dalam cara mengungkapkan ajaran - yang harus dibedakan dengan teliti dari khazanah umum (depositun fidei) itu sendiri - maka pada saat yang tepat hendaknya dipulihkan kembali semestinya''. Selanjutnya (UR n.11) dikatakan, "Serentak pula iman Katolik harus dijelaskan dengan lebih mendalam dan tepat, atas cara dan dalam bahasa yang benar-benar dapat dipahami oleh saudara-saudara kita yang terpisah." Dan dalam dekret mengenai karya misioner Gereja (AG n.22) konsili yang sama mengatakan, "Malah sama seperti pada tata inkarnasi, Gereja-gereja muda yang berakar dalam Kristus dan didirikan atas landasan para Rasul menerima dalam pertukaran yang mengagumkan, semua harta kekayaan bangsa-bangsa, yang telah diberikan kepada Kristus sebagai warisan. Gereja-gereja itu mengambil dari adat istiadat dan tradisi, dari kearifan dan ajaran, dari kesenian dan tertib hidup bangsanya sendiri, segala sesuatu yang dapat membantu pengakuan kejayaan Pencipta, pelukisan kasih karunia Juru Selamat, serta penataan kehidupan Kristen yang baik. Untuk mencapai tujuan ini, perlulah bahwa dalam tiap apa yang disebut kawasan sosio-budaya yang besar, digiatkan penelahan teologis. Dalam terang tradisi Gereja Universal penelahan ini meneliti kembali kejadian dan perkataan yang diwahyukan Allah, serta tercantum dalam Kitab Suci dan diterangkan oleh Bapa-bapa Gereja dan oleh Wewenang Mengajar. Dengan demikian lebih jelas ditangani, lewat jalan mana iman dapat mencari pemahaman, sambil memperhitungkan filsafat dan kearifan bangsa-bangsa ...." Pimpinan Gereja Katolik sesudah konsili masih berulang kali mempertegas dan memperuncing pengarahan itu. Maka terbukalah jalan untuk "menafsirkan kembali" caranya umat Kristen sepanjang sejarah memikirkan imannya, termasuk imannya akan Yesus Kristus.
Para teolog yang terhimpun dalam "Ecumenical Assosiation of Thrid World Theologians" (EATWOT) sudah berulang kali angkat suara (pertemuan 1976, 1977, 1979, 1980, 1981, 1983). Mereka (mau) semakin menjauhkan diri dari teoiogi di dunia pertama (dan kedua). Dengan cukup pedas teologi "barat" itu dikecam, bukan saja sebagai teoiogi bekas penjajah dan kolonisator atau neokolonial, tetapi juga sebagai teologi penjajah, kolonisator, yang tidak sesuai dengan situasi dan sejarah dunia "ketiga" itu. Meskipun teolog-teolog itu merasa simpatik dengan "teologi pembebasan," namun mereka toh menilainya sebagai terlalu kebarat-baratan. Para teolog itu menuntut suatu teologi "kontekstual." Sayanglah mereka lebih gencar-gencar dalam kritik negatifnya daripada dalam usaha positif. Dan kebenyakan teolog itu lulusan dari universitas di dunia pertama. Karya teologi seperti yang dihasilkan teolog Jepang Kazoh Kitamori (Theologie des Schmerzes Gottes, 1972) masih langka di Asia dan Afrika. Dan teolog-teolog Katolik umumnya lebih terbelakang daripada rekan-rekannya di kalangan gereja-gereja Reformasi.
Guna membangun suatu kristologi Indonesia beberapa hal perlu dikerjakan dahulu atau pun serentak.
Langkah pertama ialah langkah negatif. Untuk sementara waktu segala macam kristologi yang tercipta di dunia barat disingkirkan saja. Kristologi-kristologi barat itu terlalu "kontekstual," ditentukan oleh alam pikiran aktual di barat, hasil abad XIX-XX. Latar belakang dunia yang antroposentris, sekular, personalis-individualis, dunia yang amat menjunjung tinggi "otonomi" manusia, kebebasan - dengan arti tertentu -. Tidak boleh begitu saja diandaikan bahwa semuanya itu ditemukan juga di Indonesia. Meskipun sementara teolog berpendapat bahwa semuanya itu baik, bahkan hasil kekristenan, namun belum pasti bahwa benar-benar berurat-berakar dalam Injil tentang dan dari Yesus Kristus. Sejauh mana alam pikiran itu berdampak pada manusia Indonesia, yang tentu saja berhadapan dengannya, mesti dipastikan dahulu. Konon bangsa Jepang yang secara bulat dan gesit mengambil alih teknologi dan ilmu positif dari dunia barat, toh tidak kehilangan identitas spiritual dan kulturalnya. Mengadaptasikan teologi/kristologi barat itu kiranya tidak memadai dan kurang memuaskan. Malah dogma kristologis abad III-IV untuk sementara waktu dibiarkan saja, berarti: tidak dipakai sebagai pedoman positif. Dogma itu akhirnya toh juga dirumuskan pada latar belakang kultural dan hirtoris khusus, yang bukan dunia Indonesia abad XX. Tentu saja tidak seorang pun teolog mau melepaskan dogma itu, yang juga terus mesti dipakai sebagai ukuran negatif. Artinya: pikiran teolog jangan melanggar batas yang dipasang oleh dogma itu, asal diartikan dengan tepat. Jauh lebih penting sebagai pegangan positif ialah syahadat Gereja Kristus, yang tetap dapat menjadi kerangka dan pengarah positif bagi pemikiran teolog Indonesia.
Kalau mau disusun suatu kristologi yang sungguh-sungguh "kontekstual," sekaligus "pastoral" berarti: terarah kepada praxis, teolog mesti tahu akan konteks, yaitu konteks Indonesia. Konteks itu serba majemuk (Bhinneka tunggal ika), secara unik, sosial, kultural dan religius. Maka harus ada kerja sama antara berbagai macam pemikir. Mesti diadakan suatu analisis sosial - belum pasti sosiologi barat dapat memberi patokan yang sesuai; mesti ada penyelidikan dari segi antropologi budaya, khususnya antropologi budaya religius, mengingat pluralisme religius yang menyolok di Indonesia. Rupanya mentalitas orang Indonesia, khususnya Jawa, sangat "lunak" dengan daya penyerap yang tinggi sekali. Tanpa kehilangan identitas dasarnya mentalitas itu dapat menyerap banyak pengaruh dari luar (Hindu, Budha, Islam, Cina) yang berakhir dengan diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang tetap sama. Mesti diselidiki apa yang nyatanya dipikirkan orang Indonesia sehubungan dengan Yesus Kristus, mengingat pengaruh agama dan tradisi Islam di Indonesia, Meskipun hanya diberi perhatian sedikit saja, namun agama Islam mempunyai "kristologinya" sendiri (tegasnya: Yesuologi, teologi tentang nabi Isa). Pikiran saudara-saudara muslimin, sama seperti pikiran umat Kristen, terpengaruh oleh alam pikiran, filsafat Yunani. Hanya umat Islam (berkat Abû Hämid al-Ghazzali, ± th. 1111) mencernakannya secara lain. Sejak awal saudara-saudara muslimin berkontak dengan kekristenan. Melawan orang Kristen yang pada masa itu dalam dogmanya mengatakan tentang Yesus Kristus: dilahirkan, tidak dijadikan, saudara muslimin menegaskan Nabi Isa dijadikan, tidak dilahirkan (dari Allah). Spekulasi-spekulasi sementara teolog Kristen sekitar Yesus Kristus, juga dewasa ini, mirip dengan spekulasi sementara kaum muslimin (Syi'a) sekitar Ali dan Imam. Seorang tokoh teolog di Indonesia mesti memperhatikan pikiran saudara-saudara muslimin tentang nabi Isa dan tokoh-tokoh besar lain dalam tradisi mereka. Yesus Kristus mesti tetap Yesus Kristus dan, demi rasa hormat terhadap saudara-saudara muslimin, tidak boleh dijadikan nabi Isa atau mirip dengan tokoh-tokoh tradisi Islam, kecuali kalau ada kemiripan.
Perlu diselidiki juga mana dampak pengaruh internasional dewasa ini (teknologi, ilmu-ilmu positif) pada alam pikiran (tradisional) orang Indonesia. Umumnya disepakati bahwa sedang berlangsung suatu perubahan yang cukup mendalam dan sukar diukur. Sekaligus berlangsung suatu peleburan berbagai kebudayaan yang dipersatukan dalam negara Indonesia. Teolog perlu menyusun suatu kristologi yang sesuai dengan orang Indonesia dewasa ini, bukan dengan orang Indonesia dua ratus tahun yang lalu.
Refleksi teologi adalah suatu refleksi sekunder, refleksi ilmiah atas refleksi prailmiah. Refleksi macam itu tidaklah mungkin juga, kalau pada bangsa Indonesia, termasuk umat Kristen, tidak ada tingkat refleksi (prailmiah) cukup tinggi, khususnya refleksi mengenai "Yang ilahi." Maka teolog mesti bertanya: Sejauh mana ada di Indonesia semacam "filsafat" (meskipun bukan filsafat ala barat atau Yunani). Refleksi filosofis itu mesti dicari dalam mitologi di Indonesia dan dalam kesusastraan, baik yang kuno maupun yang modern. Di sana orang menemukan pandangan, visi menyeluruh orang Indonesia terhadap realitas. Dan mungkin sekali ada beberapa pandangan, visi macam itu.
Sudah pastilah penyelidikan konteks tidak akan menghasilkan suatu kristologi Kristen. Tetap berlakulah kata Paulus: Fides ex auditu. Iman Kristen tercetus oleh pendengaran, pemberitaan. Yesus Kristus datang dari luar dunia dan dari luar Indonesia. Ia bukan suatu produk sejarah atau evolusi. Orang boleh saja menerima bahwa Yesus Kristus dalam Roh Kudus berkarya di mana-mana dan sepanjang sejarah, bahwa sejarah umat manusia seluruhnya sejarah penyelamatan dan Allah menyatakan diri dalam seluruh sejarah, bahkan orang boleh berkata tentang "Kristen anonim" (contradiectio in adiecto!), namun iman Kristen tetap "ex auditu." Tanpa pemberitaan yang didengar, karya Kristus dalam Roh Kudus dan penyataan Allah, tetapi tidak bernama. Kristus itu tidak dapat diidentifikasikan dan Allah itu bukan Allah seperti menjadi nyata dalam Yesus Kristus, suatu peristiwa historis dengan dampak abadi dan universal menurut iman Kristen.
Maka teolog tidak hanya mesti memasang kuping untuk mendengar Allah berfirman melalui konteks nyata, tetapi terutama untuk mendengar Allah berfirman melalui pewartaan Injil. Dan sebaik-baiknya teolog langsung kembali kepada pemberitaan yang disangsikan oleh seluruh umat, yaitu Alkitab. Konsili Vatikan II (DV n. 10.21.24) menetapkan bahwa tolok ukur tertinggi, dasar abadi dan jiwa teologi ialah firman Allah (yang tertulis). Maka sebaik-baiknya teolog mencoba langsung mendengarkan Yesus Kristus yang bagaimana diberitakan Kitab Suci. Bukan "Yesus historis" atau "Yesus yang sesungguhnya," melainkan Yesus Kristus yang diwartakan Kitab Suci menjadi sasaran iman umat Kristen, yang mau direfleksikan teolog. Dan tugas utama teologi justru menolong umat, supaya imannya tetap mengenai sasarannya demi identilas Kristennya.
Seluruh kekayaan kristologis dan soteriologis Kitab Suci dapat dan mesti dipakai. Nyatanya sepanjang sejarah baik dalam dogma maupun dalam kristologi/soteriologi kekayaan Alkitab selalu dipersempit dan diperkembangkan secara berat sebelah. Tentu saja "konteks" menentukan apa yang ditonjolkan dan diperkembangkan, Itu tak perlu dipersalahkan. Tetapi kurang baik dan kurang bijaksana kristologi/soteriologi Indonesia mendasarkan diri pada penyempitan, padahal seluruh kekayaan tersedia dan tunggu digali. Konteks Indonesia lalu akan menentukan unsur mana mau ditampilkan dan diperkembangkan. Tetapi selalu dalam rangka seluruh kekayaan Kitab Suci, yang tidak pernah boleh hilang dari benak pemikir Indonesia. Dan kekayaan itulah yang dapat disajikan dengan cara dan gaya yang benar-benar "kontekstual".
Tidak mau disangkal bahwa Kitab Suci bercirikan "historis." Kumpulan karangan dan tiap-tiap karangan itu tampil pada saat tertentu dalam sejarah dan dalam konteks sosial, spiritual, kebudayaan tertentu. Disadari pula bahwa pewartaan Kitab Suci tentang Yesus Kristus tidak seragam, melainkan majemuk. Kitab Suci mewartakan Yesus Kristus sebagai-mana ditangkap dan diinterpretasikan dengan pelbagai cara oleh umat semula dalam konteksnya sendiri. Kitab Suci tentu saja tidak memuat suatu (beberapa) kristologi teologis, ilmiah, tetapi jelas memuat kristologi kontekstual. Dalam Kitab Suci hanya terdapat refleksi primer, prailmiah, tidak sistematis. Tetapi di luar Kitab Suci tidak ada jalan untuk berkenalan dengan Yesus Kristus sebagaimana diimani dan diandalkan umat Kristen. Orang boleh berusaha kembali kepada "Yesus historis" atau "Yesus yang sesungguhnya." Tetapi Yesus itu amat ambivalen dan dapat diartikan dengan pelbagai cara. Satu-satunya pengartian Kristen yang tepat ialah tercantum dalam Alkitab yang diterima umat sebagai Kitab Sucinya. Interpretasi lain yang secara ilmiah barangkali mungkin dan legitim, bukan interpretasi Kristen lagi. Kitab Suci membuktikan bahwa umat Kristen menerima beberapa interpretasi sebagai interpretasi Kristen sejati. Interpretasi-interpretasi itu saling melengkapi dan saling mengutuhkan. Semua mesti diterima teologi dan tidak ada yang boleh disingkirkan oleh karena tidak sesuai dengan sistemnya. Tidak mengapa kalau nyatanya interpretasi yang bermacam-macam itu tidak dapat diperdamaikan satu sama lain. Sebab yang mempersatukan semua bukan logika atau sistematika, melainkan Yesus Kristus yang melampaui semua interpretasi manusiawi, Apa yang satu ialah Yesus Kristus dan Injil.
Kitab Suci, juga dalam "kristologinya," historis dan kontekstual dan konteks itu bukan konteks manusia Indonesia pada abad XX. Maka Kitab Suci tidak dapat begitu saja diulang-ulang untuk mewartakan Yesus Kristus di Indonesia dan membangun suatu kristologi komekstual. Kitab Suci membutuhkan interpretasi. Teolog tidak dapat tidak berhadapan dengan masalah hermeneutiks, masalah pemahaman Kitab Suci yang tepat dan eksistensial. Selama abad terakhir hermeneutiks dan eksegese dalam konteks barat dikuasai oleh metode kritis-historis. Tidak perlu manfaat metode itu dalam rangka penafsiran ditolak. Ia menjadi sarana untuk dengan tepat menentukan apa yang dikatakan dan dimaksudkan teks Alkitab. Namun, boleh diragu-ragukan kalau-kalau metode itu paling baik dan sesuai dengan ciri Alkitab (ialah: pewartaan yang diterima dan disangsikan oleh umat) dan paling tepat bagi teolog. Misalnya: Perbedaan yang dalam metode kritis-historis itu suka (dan harus?) dibuat antara "Yesus historis," "Yesus yang sesungguhnya" dan "Kristus kepercayaan," yang kemudian dengan susah payah dipersatukan kembali, secara teologis tidak relevan, tidak ada dalam Kitab Suci, tidak ada dalam syahadat dan tidak ada dalam dogma. Hanya ada satu Yesus Kristus. Metode lain, yaitu strukturalisme, semiotik, holistik, barangkali lebih sesuai dan lebih berguna bagi teologi. Boleh juga dicari suatu metode lain dan baru oleh teolog/ahli kitab Indonesia.
Sebab problem bagi teologi bukanlah bagaimana teks terbentuk dan berkembang, melainkan apa yang dikatakan dan dimaksudkan teks seadanya. Sebab itulah kesaksian otentik tentang iman umat Kristen generasi pertama. Tetapi: bagaimana menentukan apa yang dikatakan dan dimaksud teks seadanya, yang berlatar belakang konteks yang lain dari konteks Indonesia dewasa ini? Masalah hermeneutiks tetap ada.
Sama seperti "Yesus historis," "Yesus yang sesungguhnya" mengizinkan pelbagai interpretasi legitim, juga yang tidak tercantum dalam Alkitab, demikian pun teks Alkitab seadanya mengizinkan pelbagai interpretasi yang secara ilmiah legitim dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalah bagi teologi ialah: Interpretasi manakah mesti diterima teolog sebagai pelayan iman umat?
Di sini mulai berperanlah apa yang diistilahkan sebagai "tradisi" (lanjutan). Teolog yang ingin menyusun suatu kristologi Kristen tidak dapat tidak memperhatikan tradisi, ialah "Wirkungs-geschichte" peristiwa Yesus dan pemberitaan semula. Bagaimana itu diterima, diinterpretasikan kembali dan diteruskan, mesti diselidiki teologi di Indonesia. Teks Kitab Suci mengizinkan beberapa interpretasi, tetapi, kerap kali melalui perjuangan sengit dan lama, umat menentukan mana dari interpretasi mesti diterima oleh mereka yang mau mengaku diri sebagai anggota umat Kristen. Interpretasi "otentik" (berwibawa, mewajibkan) macam itu antara lain tercantum dalam "pengakuan iman" yang disusun dan diterima umat Kristen dan dalam dogma-dogma yang dirumuskan dalam konteks tertentu dan karena itu mesti diinterpretasikan kembali oleh teologi. Baiklah diingat mana peranan rumus-rumus doktnn. Itu pun hanya sarana intelektual-linguistis (semacam tata bahasa iman bersama) guna mengarahkan iman umat kepada sasarannya yang melampaui rumus itu. "Kebenaran" tidak tercapai dengan "intellectus" (akal) melainkan dengan "affectus" (kemauan berkasih), dengan iman. "Affectus"itu bukan antiintelektual, tetapi supraintelektual. Maka rumus-rumus intelektual-linguistis itu bernilai relatif, artinya: relatif terhadap "kebenaran." Tetapi rumus resmi itu lebih kurang "mutlak" terhadap rumus-rumus pribadi. Di samping itu tradisi dengan interpretasi otentik juga termuat dalam liturgi umat yang lama dan umum dipakai, terdapat pada mereka yang diakui sebagai orang Kristen sejati (orang kudus), pada para mistisi. Dan khususnya perlu disebut "devosi rakyat," yang boleh dinilai sebagai "mistik kerakyatan." "Devosi rakyat" itu membahasakan refleksi rakyat (tentu prailmiah) atas pengalamannya dengan misteri Yesus Kristus. Teologi, khususnya teologi di Indonesia, perlu mengenal, menganalisis, menilai dan (kalau perlu) membetulkan refleksi rakyat dalam refleksi ilmiahnya. Janganlah"teologi mengkonstruksikan Kristusnya, lalu disampaikan/dipaksakan kepada rakyat/umat. Boleh misalnya ditanyakan Yesus Kristus yang mana paling berarti bagi para petani miskin di Amerika Latin atau Filipina, Yesus Kristus yang berdarah, yang penyaliban-Nya diperagakan secara realis sekali, atau "Yesus Pembebas" yang dikonstruksikan teologi pembebasan? Pokoknya "interpretasi otentik" terhadap Yesus Kristus yang diberitakan Kitab Suci diberi oleh "sensus fidelium." "Sensus fidelium" itu menyatakan diri dengan pelbagai cara. Tentu saja agak sukar bagi teolog untuk menentukan bobot masing-masing kesaksian tradisi yang hidup itu. Sebab tradisi itu biasanya merupakan suatu campuran unsur-unsur otentik dan unsur kurang otentik, malah unsur gadungan. Tradisi sejati mesti disaring. Dan ukurannya ialah: Kitab Suci, yang menurut konsili Vatikan II (DV 10) di atas "magisterirum," tolak ukur lain bagi tradisi yang hidup.
Maka teolog yang ingin menyusun suatu kristologi otentik dan kontekstual di Indonesia perlu memperhatikan pelbagai faktor. Semua faktor itu dapat dipadatkan dalam: konteks nyata umat Kristen di Indonesia dan pewartaan otentik. Dengan kristologi kontekstualnya teolog turut memasang jembatan antara umat Kristen pada abad XX di Indonesia dan umat Kristen di masa yang lampau sampai dengan awalnya. Dan dengan demikian ia turut menjamin identitas historis umat Kristen.
Serentak teolog mesti melayani "koinonia," persekutuan dan persatuan umat Kristen aktual secara mendatar. Artinya: persekutuan dalam iman dengan umat Kristen yang kini berada dalam konteks lain. Dan dalam rangka ini barulah teolog Indonesia yang mau menyusun kristologi kontekstual mesti memasang kupingnya untuk mendengar bagaimana dalam konteks lain, konteks Eropa, konteks Asia, konteks Afrika, konteks Amerika Latin dan sebagainya para pemikir Kristen berusaha memikirkan Yesus Kristus dan begitu melayani pewartaan dan iman umat setempat. Dan komunikasi antara teolog-teolog yang berkarya dalam konteks yang berbeda dan yang buah pikirannya disajikan dalam rupa dan bentuk yang dapat sangat berlain-lainan, tidak hanya perlu demi persatuan seluruh Yesus Kristus, tetapi juga dapat berlangsung. Para linguis sudah menemukan bahwa di bawah dan di belakang struktur permukaan yang amat berbeda-beda, toh terdapat suatu struktur dasar yang sama pada semua manusia, bahkan semua generasi. Ada struktur pemikiran manusia yang tidak berubah, sehingga komunikasi selalu mungkin. Kekacauan yang disebabkan oleh menara Babel, memang sudah dipulihkan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Itulah keterangan teologis bagi gejala nyata yang ditemukan para linguis.
Dalam rangka ini teolog sangat tertolong oleh patokan dan pengarahan yang diberikan oleh mereka yang lebih kurang berwewenang dalam rangka Gereja Katolik, tetapi juga dalam rangka gereja-gereja Reformasi (misalnya: World Counsel of Churches). Akhir-akhir itu pusat Gereja Katolik di Roma memang memasang patokan dan memberi pengarahan justru sehubungan dengan kristologi/soteriologi. Disebutkan saja: Commissio theologica internationalis, De promotione humana et salute Christiana, 1977; Quaestiones selectae de christologia, 1980; S. Congregatio de doctrina fidei Declaratio ad fidem tuendam in mysterio incarnationis et santissimae Trinitads a quibusdam recentioribus erroribus, 1972; Instructio de quibus dan aspectibus theologiae liberationis, 1984; Instructio de libertate et liberatione Christiana, 1986. Semua dokumen itu menyangkut gejolak yang di Eropa dan Amerika Latin melanda kristologi/soteriologi. Latar belakang mesti diketahui, lalu keterangan-keterangan itu memberi semacam kerangka yang perlu diperhatikan pemikiran para teolog di Indonesia tentang Yesus Kristus. Tetapi pasti tidak perlu diulang-ulang saja. Pengarahan itu justru penting oleh karena menolong teolog Indonesia untuk menjauhkan diri dari kristologi kontekstual yang disusun dalam lingkup lain.
Akhirnya teologi mesti melayani "diakonia," pelayanan, praxis umat. Teologi pembebasan kembali menyadarkan para teolog bahwa teologi, termasuk kristologi, tidak boleh menjadi atau tinggal "teori" belaka. Teologi selalu harus pastoral dan terarah kepada praxis. Nilai pastoral teologi/kristologi ditentukan oleh praxis yang tercetus olehnya. Maka seharusnya para pemikir Indonesia berteologi di tengah umat, dari dalam praxis. Praxis itu menjadi sarana hermeneutis bagi teolog. Begitu terhindar terpisahnya kristologi ilmiah dari kristologi yang hidup dalam hati dan praxis umat.
Barangkali ada baiknya para teolog Indonesia juga memikirkan sedikit cara mana mau menyajikan buah pikirannya, antara lain tentang Yesus Kristus. Mungkin sekali cara "barat," abstrak, spekulatif, filosofis, intelektualis, konsepsual kurang cocok untuk Indonesia. Pikiran sementara teolog barat begitu berbelit dan dituangkan dalam bahasa yang begitu sukar, sehingga tidak lagi dapat ditangkap "awam," meskipun cendekiawan. Sebelum, misalnya mulai membaca karangan Rahner atau Schillebeeckx, orang mesti terlebih dahulu menyusun sebuah "Kamus Khusus" dan "Tata Bahasa istimewa" dan belajar banyak. Kalau tidak, karangan-karangan itu tidak terbaca. Lebih baik dicontoh (bukan: ditiru) gaya seperti yang dipakai R. Guardini dalam karyanya "Der Herr," 1938; Jesus Christus: Sein Bild in den Schriften des Neuen Testaments," 1940. Barangkali bagi Indonesia juga amat berguna kalau berkenalan dengan cara berteologi Gereja Timur (Ortodoks), misalnya karya Dumitru Staniloae, Orthodoxe Dogmatik (terj.), 1985. Baiklah para teolog ingat pula bahwa bahasa yang paling cocok dengan Allah dan rahasia-Nya, ialah bahasa kiasan, simbolis, metaforis, bukan bahasa konsepsual. Katanya bahwa orang Indonesia, khususnya Jawa, condong kepada "mistik." Bahasa mistis tentu saja bukan bahasa konsepsual, melainkan bahasa simbolis dan metaforis.
Jelaslah tugas membangun suatu kristologi kontekstual, Indonesia sejati dan Kristen tulen, hanyalah tugas teolog Indonesia semata-mata. Orang yang berlatar belakang lain, seperti penulis ulasan ini (yang minta maaf, kalau memberi kesan mau menggurui pemikir Indonesia), agaknya tidak dapat menangani tugas yang mahaberat itu. Tetapi justru itulah tantangan bagi para teolog, antropolog, sosiolog dan sejarawan Indonesia. Kristologi semacam tidak selesai dalam satu hari atau satu tahun, tidak dapat diselesaikan satu orang saja. Setelah sekian banyak pemikir dalam konteks lain bergumul dengan Tuhan kita Yesus Kristus, sudah tiba giliran para pemikir Indonesia dengan sabar dan rendah hati, dengan risiko bahwa sebentar keliru, dan dengan caranya sendiri melayani Tuhannya itu serta umat-Nya di Indonesia, serentak umat-Nya di mana saja berada.
Dengan demikian Yesus Kristus semakin "menjelma" di Indonesia, semakin meresap ke dalam hati dan budi orang Indonesia. Dan Yesus Kristus dengan diserap oleh hati dan budi Indonesia serentak akan mengubah hati dan budi orang Indonesia. Sebab dengan Yesus Kristus masuklah sesuatu yang sungguh-sungguh baru, yang mengubah manusia, termasuk strukiur pemikirannya. Dan menjadi matanglah iman dan praxis mereka yang dirangkul oleh kasih Yesus Kristus, yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan untuk selama-lamanya (Ibr 13:8). Bagi Dia kemuliaan sampai selamanya. Amin (Ibr 13:21).

Tidak ada komentar: