Jika pembaca
yang budiman berhasil tahan dan dengan sabar ikut menempuh sejarah pemikiran
umat Kristen mengenai Tuhannya yang menjadi identitasnya, mungkin sekali
pembaca menjadi bingung dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun demikian,
melihat bagaimana umat bergumul untuk secara intelektual, konsepsual dan
linguistik mendekati inti sari imannya, Yesus Kristus, pembaca toh kiranya
turut memuji umat itu serta pemikir-pemikirnya dalam usahanya mewartakan Yesus
Kristus begitu rupa, sehingga manusia tertolong untuk mendekati Yesus dan Allah
yang diberitakan dan dinampakkan Yesus Kristus. Yesus itu memang tetap sama,
kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya. Tetapi manusia yang berubah mau
tidak mau memikirkan Dia secara lain.
Tentu saja
tidak ada satu pun kristologi disusun sepanjang sejarah yang sungguh-sungguh
memuaskan dan dapat mempertahankan diri. Adapun sebabnya bukan hanyalah
kenyataan bahwa alam pikiran manusia berubah, tetapi juga oleh karena
"objek" kristologi, yaitu Yesus Kristus melampaui pikiran, perkataan
dan bahasa manusia. Para pemikir Kristen juga tidak selalu berhasil baik dalam
usahanya. Para teolog tidak boleh terlalu berbangga atas ilmunya. Sebab
adakalanya para teolog dengan spekulasinya memasang tembok tebal antara Yesus
Kristus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka tidak selalu menolong umat
untuk juga secara intelektual, konsepsual serta linguistis semakin jelas dan
jernih melihat (bukan: membongkar) misteri yang tak terselami itu.
Syukurlah
iman tidak bergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus,
relevansi dan peranan abadi-Nya akhirnya hanya tercapai dengan hati yang
berirnan dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar daripada
otak manusia, meski otak itu amat cerdas dan tajam sekali pun. Kalau umat
condong melihat Yesus Kristus sebagai manusia, ternyata Ia lebih dari
manusia;
kalau mau dilihat sebagai "nabi," Ia toh lebih dari nabi; kalau mau
digelari "Mesias," Ia ternyata lebih dari Mesias; kalau mau dinilai
sebagai "malaikat," Ia nampak lebih dari malaikat. Akhirnya umat
sampai menyebut-Nya Allah dan di situ berhenti. Tidak ada yang melebihi Allah.
Bagaimana manusia Yesus Kristus dapat disebut Allah, tentu saja tidak mudah
dijernihkan.
Iman yang
dengannya manusia mencapai Yesus Kristus, tentu boleh malah harus mencari
pemahaman. Fides quaerens intellectum, iman sejati mencari pemahaman sejauh itu
mungkin. Hanya iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman.
Pemahaman, tegasnya pemahaman ilmiah, ialah teologi, turut berperan untuk
mengantar manusia secara menyeluruh kepada Yesus Kristus, tetapi teologi,
kristologi itu hanya sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus
sendiri, tetapi pikiran umat tentang Dia. Teologi/kristologi hanya refleksi sekunder,
meta-refleksi, refleksi ilmiah tentang refleksi umat beriman. Dalam kristologi,
baik yang spontan, maupun yang refleksif-ilmiah, Yesus Kristus melalui
konsep-konsep menjadi bahasa, "logos," kata mengenai Kristus. Dan
maksudnya ialah mengarahkan iman kepada sasarannya. Maka kristologi hanya alat.
Dan
kristologi malah bukan sarana utama. Sebab iman umat terlebih diarahkan kepada
sasarannya oleh doksologi (puji-pujian), yang tidak rasional, dan oleh
homologi, pengakuan iman bersama (syahadat). Homologi itu bukan teologi,
melainkan ucapan iman umat yang seia sekata (homo-logos memang berarti: kata
yang sama, sekata) terarah kepada sasaran imannya. Maka homologi selalu bernada
doksologi juga. Homologi itu pada tempatnya dalam ibadat umat waktu umat seia sekata
memuji dan meluhurkan Allah dalam Tuhannya, Yesus Kristus.
Karena itu
kesimpangsiuran yang selama abad XIX dan XX merajalela dalam pemikiran ilmiah
tentang Yesus Kristus (kristologi) pada umat Kristen di dunia barat, tidak usah
terlalu mengejutkan umat Kristen di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam kristologi
disebabkan oleh kesimpangsiuran dalam masyarakat dan pemikiran dunia barat itu.
Rupanya alam pikiran di barat menempuh kurun baru dalam sejarahnya. Dunia barat
itu kini mirip dengan umat manusia yang dilukiskan Kitab Suci (Kej 11:1 -9).
Waktu mencoba mendirikan menara yang puncaknya mesti sampai di surga, umat
manusia kehilangan kesatuan bahasa (dan pemikiran), sehingga tidak lagi
mengerti satu sama lain. Kristologi-kristologi bermacam-macam yang disusun para
pemikir Kristen di dunia barat itu hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural
di barat.
Kesimpangsiuran
itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia barat. Manusia, termasuk beriman,
di dunia barat melewati zaman metafisis Yunani, zaman pertengahan, zaman
pencerahan, rasionalisme, idealisme, eksistensialisme, empirisme, positivisme.
Dan orang Kristen yang berpikir mempunyai soal: Bagaimana mewartakan Yesus
Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran yang simpang siur itu?
Tidak mengherankan bahwa apa yang mereka sodorkan juga agak simpang siur.
Selama lebih
kurang 500 tahun Yesus Kristus sudah diwartakan dan diimani di tanah yang
disebut Indonesia, luas membentang. Dewasa ini sudah diimani jutaan orang
Indonesia, meskipun suatu minoritas saja. Dan Yesus Kristus benar-benar hidup
dalam hati mereka, sambil dikasihi dan sedapat-dapatnya ditaati. Tetapi ketika
Yesus Kristus mulai diberitakan kepada manusia di Indonesia, Ia sudah ratusan
tahun dipikirkan oleh umat Kristen dan direnungkan dalam rangka dunia lain,
dalam rangka kebudayaan Yunanj, Latin, Jerman, di belahan utara-barat bumi ini.
Dan tidak dapat tidak Yesus Kristus, yang tetap sama, diberitakan dengan
pertolongan konsep-konsep dan "bahasa" mental yang ada pada pemberita
Injil itu. Melalui sarana yang khas itu manusia Indonesia diantar kepada Yesus
Kristus yang tercapai dengan iman dan kasih. Nyatanya kristologi berkembang
dalam batas dunia utara-barat itu, sehingga secara konsepsual dan linguistis
Yesus Kristus, yang memang melampaui batas itu, menjadi terkurung. Itu tidak
boleh berjalan terus demikian, kalau Gereja Kristus benar-benar mau
"Katolik".
Mau tidak
mau manusia Indonesia yang beriman memikirkan dan berhak memikirkan sasaran
imannya, Yesus Kristus. Dan itu pun dengan caranya sendiri. Manusia Indonesia
itu menempuh sejarahnya sendiri, lain daripada yang ditempuh manusia barat,
yang sekian lamanya menganggap dirinya "pusat" dan "tuan"
semesta dunia. Manusia Indonesia tidak atau hanya sedikit digembleng oleh
kebudayaan dan alam pikiran Yunani, Latin, Jerman, dunia barat. Manusia
Indonesia tidak melewati zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme dan
positivisme. Hanya di pertengahan abad XX ini secara agak mendadak manusia
Indonesia dikonfrontasikan dengan hasil teknologis dan ideologis (khususnya
kapitalisme dan sosialisme) sejarah dunia barat itu.
Boleh
dikatakan bahwa situasi nyata di Indonesia dewasa ini mendesak para pemikir
yang beriman akan Yesus Kristus mulai secara ilmiah memikirkan sasaran iman
umat. Perlu dipikirkan bagaimana Yesus Kristus nyatanya hidup dalam benak umat
beriman di Indonesia, Bagaimana refleksi spontan umat itu dapat dijernihkan,
kalau perlu dibetulkan, sehingga Yesus Kristus yang tetap sama semakin hidup
dalam hati orang Indonesia dan semakin relevan dan bermakna bagi seluruh
kehidupannya. Dengan perkataan lain: Kiranya sudah tiba saatnya para teolog
Indonesia, sebagai pelayan umat, mulai menyusun suatu kristologi yang sesuai
dengan manusia Indonesia dewasa ini. Pemikiran itu tentu saja mesti melayani pewartaan
dan pemberitaan di dalam rangka umat dan di luar rangka itu. Bukan pemikiran,
teologi, kristologi perlu diberitakan, melainkan Yesus Kristus. Teologi,
kristologi hanya alat untuk membuat pemberitaan itu lebih sepadan dan sesuai,
lebih efektif dan kena di Indonesia.
Kiranya
kurang tepat, jika kristologi yang berkembang di dunia barat begitu saja
dipindahkan ke Indonesia, apalagi mengingat krisis yang sedang melanda teologi
dan kristologi di dunia barat. Seluruh permasalahan kristologi di sana berasal
dari kenyataan bahwa di dunia barat itu Allah menjadi suatu problem. Karena itu
ada tendensi kuat pada para teolog untuk menonjolkan "manusia" Yesus
Kristus, dan keilahiannya sedikit banyak disembunyikan. Sebab
"manusia" tidak menjadi problem. Tetapi di Indonesia juga demikian?
Rupanya Allah bukan suatu masalah, kecuali barangkali bagi segelintir orang
yang terpengaruh oleh "sekularisasi barat''. Agama memang subur di
Indonesia, didukung oleh negara yang menyangkal, bahwa negara sekular, kalaupun
tidak mau menjadi negara konfensional.
Dewasa ini
orang banyak berbicara dan menulis tentang "kontekstualisasi" teologi
dan "inkulturasi" seluruh Gereja (Katolik). Dan dalam Gereja Katolik
tendensi itu didukung oleh pusat di Roma. Konsili Vatikan II pada tahun 1964/1965
sudah memberi pengarahan. Dalam dekret mengenai Ekumene (UR n.6) konsili
merumuskan suatu prinsip yang boleh diperluas menjadi prinsip umum. Dikatakan
sebagai berikut, "Dalam ziarahnya Gereja dipanggil Kristus untuk
pembaharuan terus-menerus. Pembaharuan ini Gereja butuhkan sebagai pranata
manusiawi. Jadi, apabila karena keadaan dan zaman ada hal yang kurang cermat
terpelihara, baik dalam kebiasaan maupun dalam tertib hidup kegerejaan,
demikian pun pula dalam cara mengungkapkan ajaran - yang harus dibedakan dengan
teliti dari khazanah umum (depositun fidei) itu sendiri - maka pada saat yang
tepat hendaknya dipulihkan kembali semestinya''. Selanjutnya (UR n.11)
dikatakan, "Serentak pula iman Katolik harus dijelaskan dengan lebih
mendalam dan tepat, atas cara dan dalam bahasa yang benar-benar dapat dipahami
oleh saudara-saudara kita yang terpisah." Dan dalam dekret mengenai karya
misioner Gereja (AG n.22) konsili yang sama mengatakan, "Malah sama
seperti pada tata inkarnasi, Gereja-gereja muda yang berakar dalam Kristus dan
didirikan atas landasan para Rasul menerima dalam pertukaran yang mengagumkan,
semua harta kekayaan bangsa-bangsa, yang telah diberikan kepada Kristus sebagai
warisan. Gereja-gereja itu mengambil dari adat istiadat dan tradisi, dari kearifan
dan ajaran, dari kesenian dan tertib hidup bangsanya sendiri, segala sesuatu
yang dapat membantu pengakuan kejayaan Pencipta, pelukisan kasih karunia Juru
Selamat, serta penataan kehidupan Kristen yang baik. Untuk mencapai tujuan ini,
perlulah bahwa dalam tiap apa yang disebut kawasan sosio-budaya yang besar,
digiatkan penelahan teologis. Dalam terang tradisi Gereja Universal penelahan
ini meneliti kembali kejadian dan perkataan yang diwahyukan Allah, serta
tercantum dalam Kitab Suci dan diterangkan oleh Bapa-bapa Gereja dan oleh
Wewenang Mengajar. Dengan demikian lebih jelas ditangani, lewat jalan mana iman
dapat mencari pemahaman, sambil memperhitungkan filsafat dan kearifan
bangsa-bangsa ...." Pimpinan Gereja Katolik sesudah konsili masih berulang
kali mempertegas dan memperuncing pengarahan itu. Maka terbukalah jalan untuk
"menafsirkan kembali" caranya umat Kristen sepanjang sejarah
memikirkan imannya, termasuk imannya akan Yesus Kristus.
Para teolog
yang terhimpun dalam "Ecumenical Assosiation of Thrid World
Theologians" (EATWOT) sudah berulang kali angkat suara (pertemuan 1976,
1977, 1979, 1980, 1981, 1983). Mereka (mau) semakin menjauhkan diri dari
teoiogi di dunia pertama (dan kedua). Dengan cukup pedas teologi
"barat" itu dikecam, bukan saja sebagai teoiogi bekas penjajah dan
kolonisator atau neokolonial, tetapi juga sebagai teologi penjajah,
kolonisator, yang tidak sesuai dengan situasi dan sejarah dunia
"ketiga" itu. Meskipun teolog-teolog itu merasa simpatik dengan
"teologi pembebasan," namun mereka toh menilainya sebagai terlalu
kebarat-baratan. Para teolog itu menuntut suatu teologi
"kontekstual." Sayanglah mereka lebih gencar-gencar dalam kritik
negatifnya daripada dalam usaha positif. Dan kebenyakan teolog itu lulusan dari
universitas di dunia pertama. Karya teologi seperti yang dihasilkan teolog
Jepang Kazoh Kitamori (Theologie des Schmerzes Gottes, 1972) masih langka di
Asia dan Afrika. Dan teolog-teolog Katolik umumnya lebih terbelakang daripada
rekan-rekannya di kalangan gereja-gereja Reformasi.
Guna
membangun suatu kristologi Indonesia beberapa hal perlu dikerjakan dahulu atau
pun serentak.
Langkah
pertama ialah langkah negatif. Untuk sementara waktu segala macam kristologi
yang tercipta di dunia barat disingkirkan saja. Kristologi-kristologi barat itu
terlalu "kontekstual," ditentukan oleh alam pikiran aktual di barat,
hasil abad XIX-XX. Latar belakang dunia yang antroposentris, sekular,
personalis-individualis, dunia yang amat menjunjung tinggi "otonomi"
manusia, kebebasan - dengan arti tertentu -. Tidak boleh begitu saja diandaikan
bahwa semuanya itu ditemukan juga di Indonesia. Meskipun sementara teolog
berpendapat bahwa semuanya itu baik, bahkan hasil kekristenan, namun belum
pasti bahwa benar-benar berurat-berakar dalam Injil tentang dan dari Yesus
Kristus. Sejauh mana alam pikiran itu berdampak pada manusia Indonesia, yang
tentu saja berhadapan dengannya, mesti dipastikan dahulu. Konon bangsa Jepang
yang secara bulat dan gesit mengambil alih teknologi dan ilmu positif dari
dunia barat, toh tidak kehilangan identitas spiritual dan kulturalnya.
Mengadaptasikan teologi/kristologi barat itu kiranya tidak memadai dan kurang
memuaskan. Malah dogma kristologis abad III-IV untuk sementara waktu dibiarkan
saja, berarti: tidak dipakai sebagai pedoman positif. Dogma itu akhirnya toh
juga dirumuskan pada latar belakang kultural dan hirtoris khusus, yang bukan
dunia Indonesia abad XX. Tentu saja tidak seorang pun teolog mau melepaskan
dogma itu, yang juga terus mesti dipakai sebagai ukuran negatif. Artinya:
pikiran teolog jangan melanggar batas yang dipasang oleh dogma itu, asal
diartikan dengan tepat. Jauh lebih penting sebagai pegangan positif ialah
syahadat Gereja Kristus, yang tetap dapat menjadi kerangka dan pengarah positif
bagi pemikiran teolog Indonesia.
Kalau mau
disusun suatu kristologi yang sungguh-sungguh "kontekstual,"
sekaligus "pastoral" berarti: terarah kepada praxis, teolog mesti
tahu akan konteks, yaitu konteks Indonesia. Konteks itu serba majemuk (Bhinneka
tunggal ika), secara unik, sosial, kultural dan religius. Maka harus ada kerja
sama antara berbagai macam pemikir. Mesti diadakan suatu analisis sosial -
belum pasti sosiologi barat dapat memberi patokan yang sesuai; mesti ada
penyelidikan dari segi antropologi budaya, khususnya antropologi budaya
religius, mengingat pluralisme religius yang menyolok di Indonesia. Rupanya
mentalitas orang Indonesia, khususnya Jawa, sangat "lunak" dengan
daya penyerap yang tinggi sekali. Tanpa kehilangan identitas dasarnya
mentalitas itu dapat menyerap banyak pengaruh dari luar (Hindu, Budha, Islam,
Cina) yang berakhir dengan diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang tetap
sama. Mesti diselidiki apa yang nyatanya dipikirkan orang Indonesia sehubungan
dengan Yesus Kristus, mengingat pengaruh agama dan tradisi Islam di Indonesia,
Meskipun hanya diberi perhatian sedikit saja, namun agama Islam mempunyai
"kristologinya" sendiri (tegasnya: Yesuologi, teologi tentang nabi
Isa). Pikiran saudara-saudara muslimin, sama seperti pikiran umat Kristen,
terpengaruh oleh alam pikiran, filsafat Yunani. Hanya umat Islam (berkat Abû
Hämid al-Ghazzali, ± th. 1111) mencernakannya secara lain. Sejak awal
saudara-saudara muslimin berkontak dengan kekristenan. Melawan orang Kristen
yang pada masa itu dalam dogmanya mengatakan tentang Yesus Kristus: dilahirkan,
tidak dijadikan, saudara muslimin menegaskan Nabi Isa dijadikan, tidak
dilahirkan (dari Allah). Spekulasi-spekulasi sementara teolog Kristen sekitar
Yesus Kristus, juga dewasa ini, mirip dengan spekulasi sementara kaum muslimin
(Syi'a) sekitar Ali dan Imam. Seorang tokoh teolog di Indonesia mesti
memperhatikan pikiran saudara-saudara muslimin tentang nabi Isa dan tokoh-tokoh
besar lain dalam tradisi mereka. Yesus Kristus mesti tetap Yesus Kristus dan,
demi rasa hormat terhadap saudara-saudara muslimin, tidak boleh dijadikan nabi
Isa atau mirip dengan tokoh-tokoh tradisi Islam, kecuali kalau ada kemiripan.
Perlu
diselidiki juga mana dampak pengaruh internasional dewasa ini (teknologi,
ilmu-ilmu positif) pada alam pikiran (tradisional) orang Indonesia. Umumnya
disepakati bahwa sedang berlangsung suatu perubahan yang cukup mendalam dan
sukar diukur. Sekaligus berlangsung suatu peleburan berbagai kebudayaan yang
dipersatukan dalam negara Indonesia. Teolog perlu menyusun suatu kristologi
yang sesuai dengan orang Indonesia dewasa ini, bukan dengan orang Indonesia dua
ratus tahun yang lalu.
Refleksi
teologi adalah suatu refleksi sekunder, refleksi ilmiah atas refleksi
prailmiah. Refleksi macam itu tidaklah mungkin juga, kalau pada bangsa
Indonesia, termasuk umat Kristen, tidak ada tingkat refleksi (prailmiah) cukup
tinggi, khususnya refleksi mengenai "Yang ilahi." Maka teolog mesti
bertanya: Sejauh mana ada di Indonesia semacam "filsafat" (meskipun
bukan filsafat ala barat atau Yunani). Refleksi filosofis itu mesti dicari
dalam mitologi di Indonesia dan dalam kesusastraan, baik yang kuno maupun yang
modern. Di sana orang menemukan pandangan, visi menyeluruh orang Indonesia
terhadap realitas. Dan mungkin sekali ada beberapa pandangan, visi macam itu.
Sudah
pastilah penyelidikan konteks tidak akan menghasilkan suatu kristologi Kristen.
Tetap berlakulah kata Paulus: Fides ex auditu. Iman Kristen tercetus oleh
pendengaran, pemberitaan. Yesus Kristus datang dari luar dunia dan dari luar Indonesia.
Ia bukan suatu produk sejarah atau evolusi. Orang boleh saja menerima bahwa
Yesus Kristus dalam Roh Kudus berkarya di mana-mana dan sepanjang sejarah,
bahwa sejarah umat manusia seluruhnya sejarah penyelamatan dan Allah menyatakan
diri dalam seluruh sejarah, bahkan orang boleh berkata tentang "Kristen
anonim" (contradiectio in adiecto!), namun iman Kristen tetap "ex
auditu." Tanpa pemberitaan yang didengar, karya Kristus dalam Roh Kudus
dan penyataan Allah, tetapi tidak bernama. Kristus itu tidak dapat
diidentifikasikan dan Allah itu bukan Allah seperti menjadi nyata dalam Yesus
Kristus, suatu peristiwa historis dengan dampak abadi dan universal menurut
iman Kristen.
Maka teolog
tidak hanya mesti memasang kuping untuk mendengar Allah berfirman melalui
konteks nyata, tetapi terutama untuk mendengar Allah berfirman melalui
pewartaan Injil. Dan sebaik-baiknya teolog langsung kembali kepada pemberitaan
yang disangsikan oleh seluruh umat, yaitu Alkitab. Konsili Vatikan II (DV n.
10.21.24) menetapkan bahwa tolok ukur tertinggi, dasar abadi dan jiwa teologi
ialah firman Allah (yang tertulis). Maka sebaik-baiknya teolog mencoba langsung
mendengarkan Yesus Kristus yang bagaimana diberitakan Kitab Suci. Bukan
"Yesus historis" atau "Yesus yang sesungguhnya," melainkan
Yesus Kristus yang diwartakan Kitab Suci menjadi sasaran iman umat Kristen,
yang mau direfleksikan teolog. Dan tugas utama teologi justru menolong umat,
supaya imannya tetap mengenai sasarannya demi identilas Kristennya.
Seluruh
kekayaan kristologis dan soteriologis Kitab Suci dapat dan mesti dipakai.
Nyatanya sepanjang sejarah baik dalam dogma maupun dalam kristologi/soteriologi
kekayaan Alkitab selalu dipersempit dan diperkembangkan secara berat sebelah.
Tentu saja "konteks" menentukan apa yang ditonjolkan dan
diperkembangkan, Itu tak perlu dipersalahkan. Tetapi kurang baik dan kurang
bijaksana kristologi/soteriologi Indonesia mendasarkan diri pada
penyempitan, padahal seluruh kekayaan tersedia dan tunggu digali. Konteks
Indonesia lalu akan menentukan unsur mana mau ditampilkan dan diperkembangkan.
Tetapi selalu dalam rangka seluruh kekayaan Kitab Suci, yang tidak pernah boleh
hilang dari benak pemikir Indonesia. Dan kekayaan itulah yang dapat disajikan
dengan cara dan gaya yang benar-benar "kontekstual".
Tidak mau
disangkal bahwa Kitab Suci bercirikan "historis." Kumpulan karangan
dan tiap-tiap karangan itu tampil pada saat tertentu dalam sejarah dan dalam
konteks sosial, spiritual, kebudayaan tertentu. Disadari pula bahwa pewartaan
Kitab Suci tentang Yesus Kristus tidak seragam, melainkan majemuk. Kitab Suci
mewartakan Yesus Kristus sebagai-mana ditangkap dan diinterpretasikan dengan
pelbagai cara oleh umat semula dalam konteksnya sendiri. Kitab Suci tentu saja
tidak memuat suatu (beberapa) kristologi teologis, ilmiah, tetapi jelas memuat
kristologi kontekstual. Dalam Kitab Suci hanya terdapat refleksi primer,
prailmiah, tidak sistematis. Tetapi di luar Kitab Suci tidak ada jalan untuk
berkenalan dengan Yesus Kristus sebagaimana diimani dan diandalkan umat
Kristen. Orang boleh berusaha kembali kepada "Yesus historis" atau
"Yesus yang sesungguhnya." Tetapi Yesus itu amat ambivalen dan dapat
diartikan dengan pelbagai cara. Satu-satunya pengartian Kristen yang tepat
ialah tercantum dalam Alkitab yang diterima umat sebagai Kitab Sucinya.
Interpretasi lain yang secara ilmiah barangkali mungkin dan legitim, bukan
interpretasi Kristen lagi. Kitab Suci membuktikan bahwa umat Kristen menerima
beberapa interpretasi sebagai interpretasi Kristen sejati. Interpretasi-interpretasi
itu saling melengkapi dan saling mengutuhkan. Semua mesti diterima teologi dan
tidak ada yang boleh disingkirkan oleh karena tidak sesuai dengan sistemnya.
Tidak mengapa kalau nyatanya interpretasi yang bermacam-macam itu tidak dapat
diperdamaikan satu sama lain. Sebab yang mempersatukan semua bukan logika atau
sistematika, melainkan Yesus Kristus yang melampaui semua interpretasi
manusiawi, Apa yang satu ialah Yesus Kristus dan Injil.
Kitab Suci,
juga dalam "kristologinya," historis dan kontekstual dan konteks itu
bukan konteks manusia Indonesia pada abad XX. Maka Kitab Suci tidak dapat
begitu saja diulang-ulang untuk mewartakan Yesus Kristus di Indonesia dan
membangun suatu kristologi komekstual. Kitab Suci membutuhkan interpretasi.
Teolog tidak dapat tidak berhadapan dengan masalah hermeneutiks, masalah
pemahaman Kitab Suci yang tepat dan eksistensial. Selama abad terakhir
hermeneutiks dan eksegese dalam konteks barat dikuasai oleh metode
kritis-historis. Tidak perlu manfaat metode itu dalam rangka penafsiran
ditolak. Ia menjadi sarana untuk dengan tepat menentukan apa yang dikatakan dan
dimaksudkan teks Alkitab. Namun, boleh diragu-ragukan kalau-kalau metode itu
paling baik dan sesuai dengan ciri Alkitab (ialah: pewartaan yang diterima dan disangsikan
oleh umat) dan paling tepat bagi teolog. Misalnya: Perbedaan yang dalam metode
kritis-historis itu suka (dan harus?) dibuat antara "Yesus historis,"
"Yesus yang sesungguhnya" dan "Kristus kepercayaan," yang
kemudian dengan susah payah dipersatukan kembali, secara teologis tidak
relevan, tidak ada dalam Kitab Suci, tidak ada dalam syahadat dan tidak ada
dalam dogma. Hanya ada satu Yesus Kristus. Metode lain, yaitu strukturalisme,
semiotik, holistik, barangkali lebih sesuai dan lebih berguna bagi teologi.
Boleh juga dicari suatu metode lain dan baru oleh teolog/ahli kitab Indonesia.
Sebab
problem bagi teologi bukanlah bagaimana teks terbentuk dan berkembang,
melainkan apa yang dikatakan dan dimaksudkan teks seadanya. Sebab itulah
kesaksian otentik tentang iman umat Kristen generasi pertama. Tetapi: bagaimana
menentukan apa yang dikatakan dan dimaksud teks seadanya, yang berlatar
belakang konteks yang lain dari konteks Indonesia dewasa ini? Masalah
hermeneutiks tetap ada.
Sama seperti
"Yesus historis," "Yesus yang sesungguhnya" mengizinkan
pelbagai interpretasi legitim, juga yang tidak tercantum dalam Alkitab,
demikian pun teks Alkitab seadanya mengizinkan pelbagai interpretasi yang
secara ilmiah legitim dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalah bagi teologi
ialah: Interpretasi manakah mesti diterima teolog sebagai pelayan iman umat?
Di sini
mulai berperanlah apa yang diistilahkan sebagai "tradisi" (lanjutan).
Teolog yang ingin menyusun suatu kristologi Kristen tidak dapat tidak
memperhatikan tradisi, ialah "Wirkungs-geschichte" peristiwa Yesus
dan pemberitaan semula. Bagaimana itu diterima, diinterpretasikan kembali dan
diteruskan, mesti diselidiki teologi di Indonesia. Teks Kitab Suci mengizinkan
beberapa interpretasi, tetapi, kerap kali melalui perjuangan sengit dan lama,
umat menentukan mana dari interpretasi mesti diterima oleh mereka yang mau
mengaku diri sebagai anggota umat Kristen. Interpretasi "otentik"
(berwibawa, mewajibkan) macam itu antara lain tercantum dalam "pengakuan
iman" yang disusun dan diterima umat Kristen dan dalam dogma-dogma yang
dirumuskan dalam konteks tertentu dan karena itu mesti diinterpretasikan
kembali oleh teologi. Baiklah diingat mana peranan rumus-rumus doktnn. Itu pun
hanya sarana intelektual-linguistis (semacam tata bahasa iman bersama) guna
mengarahkan iman umat kepada sasarannya yang melampaui rumus itu.
"Kebenaran" tidak tercapai dengan "intellectus" (akal)
melainkan dengan "affectus" (kemauan berkasih), dengan iman. "Affectus"itu
bukan antiintelektual, tetapi supraintelektual. Maka rumus-rumus
intelektual-linguistis itu bernilai relatif, artinya: relatif terhadap
"kebenaran." Tetapi rumus resmi itu lebih kurang "mutlak"
terhadap rumus-rumus pribadi. Di samping itu tradisi dengan interpretasi
otentik juga termuat dalam liturgi umat yang lama dan umum dipakai, terdapat
pada mereka yang diakui sebagai orang Kristen sejati (orang kudus), pada para
mistisi. Dan khususnya perlu disebut "devosi rakyat," yang boleh
dinilai sebagai "mistik kerakyatan." "Devosi rakyat" itu
membahasakan refleksi rakyat (tentu prailmiah) atas pengalamannya dengan
misteri Yesus Kristus. Teologi, khususnya teologi di Indonesia, perlu mengenal,
menganalisis, menilai dan (kalau perlu) membetulkan refleksi rakyat dalam
refleksi ilmiahnya. Janganlah"teologi mengkonstruksikan Kristusnya, lalu
disampaikan/dipaksakan kepada rakyat/umat. Boleh misalnya ditanyakan Yesus
Kristus yang mana paling berarti bagi para petani miskin di Amerika Latin atau
Filipina, Yesus Kristus yang berdarah, yang penyaliban-Nya diperagakan secara
realis sekali, atau "Yesus Pembebas" yang dikonstruksikan teologi
pembebasan? Pokoknya "interpretasi otentik" terhadap Yesus Kristus
yang diberitakan Kitab Suci diberi oleh "sensus fidelium." "Sensus
fidelium" itu menyatakan diri dengan pelbagai cara. Tentu saja agak sukar
bagi teolog untuk menentukan bobot masing-masing kesaksian tradisi yang hidup
itu. Sebab tradisi itu biasanya merupakan suatu campuran unsur-unsur otentik
dan unsur kurang otentik, malah unsur gadungan. Tradisi sejati mesti disaring.
Dan ukurannya ialah: Kitab Suci, yang menurut konsili Vatikan II (DV 10) di
atas "magisterirum," tolak ukur lain bagi tradisi yang hidup.
Maka teolog
yang ingin menyusun suatu kristologi otentik dan kontekstual di Indonesia perlu
memperhatikan pelbagai faktor. Semua faktor itu dapat dipadatkan dalam: konteks
nyata umat Kristen di Indonesia dan pewartaan otentik. Dengan kristologi
kontekstualnya teolog turut memasang jembatan antara umat Kristen pada abad XX
di Indonesia dan umat Kristen di masa yang lampau sampai dengan awalnya. Dan
dengan demikian ia turut menjamin identitas historis umat Kristen.
Serentak
teolog mesti melayani "koinonia," persekutuan dan persatuan umat
Kristen aktual secara mendatar. Artinya: persekutuan dalam iman dengan umat
Kristen yang kini berada dalam konteks lain. Dan dalam rangka ini barulah
teolog Indonesia yang mau menyusun kristologi kontekstual mesti memasang
kupingnya untuk mendengar bagaimana dalam konteks lain, konteks Eropa, konteks
Asia, konteks Afrika, konteks Amerika Latin dan sebagainya para pemikir Kristen
berusaha memikirkan Yesus Kristus dan begitu melayani pewartaan dan iman umat
setempat. Dan komunikasi antara teolog-teolog yang berkarya dalam konteks yang
berbeda dan yang buah pikirannya disajikan dalam rupa dan bentuk yang dapat
sangat berlain-lainan, tidak hanya perlu demi persatuan seluruh Yesus Kristus,
tetapi juga dapat berlangsung. Para linguis sudah menemukan bahwa di bawah dan
di belakang struktur permukaan yang amat berbeda-beda, toh terdapat suatu
struktur dasar yang sama pada semua manusia, bahkan semua generasi. Ada
struktur pemikiran manusia yang tidak berubah, sehingga komunikasi selalu
mungkin. Kekacauan yang disebabkan oleh menara Babel, memang sudah dipulihkan
oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Itulah keterangan teologis bagi gejala
nyata yang ditemukan para linguis.
Dalam rangka
ini teolog sangat tertolong oleh patokan dan pengarahan yang diberikan oleh
mereka yang lebih kurang berwewenang dalam rangka Gereja Katolik, tetapi juga
dalam rangka gereja-gereja Reformasi (misalnya: World Counsel of Churches).
Akhir-akhir itu pusat Gereja Katolik di Roma memang memasang patokan dan
memberi pengarahan justru sehubungan dengan kristologi/soteriologi.
Disebutkan saja: Commissio theologica internationalis, De promotione humana et
salute Christiana, 1977; Quaestiones selectae de christologia, 1980; S.
Congregatio de doctrina fidei Declaratio ad fidem tuendam in mysterio
incarnationis et santissimae Trinitads a quibusdam recentioribus erroribus,
1972; Instructio de quibus dan aspectibus theologiae liberationis, 1984;
Instructio de libertate et liberatione Christiana, 1986. Semua dokumen itu
menyangkut gejolak yang di Eropa dan Amerika Latin melanda kristologi/soteriologi.
Latar belakang mesti diketahui, lalu keterangan-keterangan itu memberi semacam
kerangka yang perlu diperhatikan pemikiran para teolog di Indonesia tentang
Yesus Kristus. Tetapi pasti tidak perlu diulang-ulang saja. Pengarahan itu
justru penting oleh karena menolong teolog Indonesia untuk menjauhkan diri dari
kristologi kontekstual yang disusun dalam lingkup lain.
Akhirnya
teologi mesti melayani "diakonia," pelayanan, praxis umat. Teologi
pembebasan kembali menyadarkan para teolog bahwa teologi, termasuk kristologi,
tidak boleh menjadi atau tinggal "teori" belaka. Teologi selalu harus
pastoral dan terarah kepada praxis. Nilai pastoral teologi/kristologi
ditentukan oleh praxis yang tercetus olehnya. Maka seharusnya para pemikir
Indonesia berteologi di tengah umat, dari dalam praxis. Praxis itu menjadi
sarana hermeneutis bagi teolog. Begitu terhindar terpisahnya kristologi ilmiah
dari kristologi yang hidup dalam hati dan praxis umat.
Barangkali
ada baiknya para teolog Indonesia juga memikirkan sedikit cara mana mau
menyajikan buah pikirannya, antara lain tentang Yesus Kristus. Mungkin sekali
cara "barat," abstrak, spekulatif, filosofis, intelektualis,
konsepsual kurang cocok untuk Indonesia. Pikiran sementara teolog barat begitu
berbelit dan dituangkan dalam bahasa yang begitu sukar, sehingga tidak lagi
dapat ditangkap "awam," meskipun cendekiawan. Sebelum, misalnya mulai
membaca karangan Rahner atau Schillebeeckx, orang mesti terlebih dahulu
menyusun sebuah "Kamus Khusus" dan "Tata Bahasa istimewa"
dan belajar banyak. Kalau tidak, karangan-karangan itu tidak terbaca. Lebih
baik dicontoh (bukan: ditiru) gaya seperti yang dipakai R. Guardini dalam
karyanya "Der Herr," 1938; Jesus Christus: Sein Bild in den Schriften
des Neuen Testaments," 1940. Barangkali bagi Indonesia juga amat berguna
kalau berkenalan dengan cara berteologi Gereja Timur (Ortodoks), misalnya karya
Dumitru Staniloae, Orthodoxe Dogmatik (terj.), 1985. Baiklah para teolog ingat
pula bahwa bahasa yang paling cocok dengan Allah dan rahasia-Nya, ialah bahasa
kiasan, simbolis, metaforis, bukan bahasa konsepsual. Katanya bahwa orang
Indonesia, khususnya Jawa, condong kepada "mistik." Bahasa mistis
tentu saja bukan bahasa konsepsual, melainkan bahasa simbolis dan metaforis.
Jelaslah
tugas membangun suatu kristologi kontekstual, Indonesia sejati dan Kristen
tulen, hanyalah tugas teolog Indonesia semata-mata. Orang yang berlatar
belakang lain, seperti penulis ulasan ini (yang minta maaf, kalau memberi kesan
mau menggurui pemikir Indonesia), agaknya tidak dapat menangani tugas yang mahaberat
itu. Tetapi justru itulah tantangan bagi para teolog, antropolog, sosiolog dan
sejarawan Indonesia. Kristologi semacam tidak selesai dalam satu hari atau satu
tahun, tidak dapat diselesaikan satu orang saja. Setelah sekian banyak pemikir
dalam konteks lain bergumul dengan Tuhan kita Yesus Kristus, sudah tiba giliran
para pemikir Indonesia dengan sabar dan rendah hati, dengan risiko bahwa
sebentar keliru, dan dengan caranya sendiri melayani Tuhannya itu serta
umat-Nya di Indonesia, serentak umat-Nya di mana saja berada.
Dengan
demikian Yesus Kristus semakin "menjelma" di Indonesia, semakin
meresap ke dalam hati dan budi orang Indonesia. Dan Yesus Kristus dengan
diserap oleh hati dan budi Indonesia serentak akan mengubah hati dan budi orang
Indonesia. Sebab dengan Yesus Kristus masuklah sesuatu yang sungguh-sungguh
baru, yang mengubah manusia, termasuk strukiur pemikirannya. Dan menjadi
matanglah iman dan praxis mereka yang dirangkul oleh kasih Yesus Kristus, yang
tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan untuk selama-lamanya (Ibr 13:8).
Bagi Dia kemuliaan sampai selamanya. Amin (Ibr 13:21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar