SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 116
وَقَالُواْ اتَّخَذَ اللّهُ وَلَداً سُبْحَانَهُ بَل لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ
[Mereka berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan milik-Nyalah apa yang ada di langit dan di bumi; semua tunduk kepada-Nya.]
[And they say: Allah has taken to himself a son. Glory be to Him; rather, whatever is in the heavens and the earth is His; all are obedient to Him.]
1). Di ayat yang lalu kita disuguhi fahaman yang sangat mendasar mengenai وَجْهُ اللّهِ (wajɦullaɦ, wajah Allah). Tujuannya, agar mudah memahami pembahasan di ayat ini. Yaitu tentang sanggahan Allah atas pandangan agama-agama tertentu yang meyakini kalau Tuhan itu punya anak. “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘al-Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka (hanya) meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Allah murka kepada mereka; (maka) bagaimana mereka sampai berpaling?” (9:30) Kaum musyrik (penyembah berhala, politeis)—terutama kaum musyrik Mekah—juga meyakini bahwa Tuhan itu punya anak; dan anak Tuhan yang mereka percayai itu berjenis kelamin perempuan. “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza. Dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah” (53:19-20) Ada pula kalangan tertentu yang meyakini bahwa malaikat-malaikat itu adalah anak-anak Tuhan: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mempunyai anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan.” (21:26) Dari sisi agama, keyakinan seperti itu bukan perkara kecil karena punya konsekuensi pada jiwa, ruhani, dan kehidupan ideologis manusia. “Dan mereka berkata:
‘Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak’. Sungguh kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (19:88-91)
2). Mari kita lihat perbedaan makna yang terkandung pada kata وَجْهُ (wajɦun, wajah) dan وَلَد (waladun, anak). Seperti telah diterangkan di ayat sebelumnya bahwa وَجْهُ اللّهِ (wajɦullaɦ, wajah Allah) itu bermakna ‘jelmaan Allah’ atau ‘penampakan-Nya’, atau (dengan istilah lain) ‘tajalliat’-Nya, yang tidak memiliki kandungan Zat Allah sama sekali, yang melaluinya kita bisa mengenal af’al (perbuatan-perbuatan)-Nya yang agung, asma’ (nama-nama)-Nya yang indah, dan sifāt (kualitas-kualitas)-Nya yang suci. Seperti juga pada wajah seseorang; yang hanya menunjukkan keberadaan diri-nya tapi sama sekali tidak menunjukkan jati diri-nya yang sesungguhnya, tidak menunjukkan zat-nya. Wajah dibutuhkan sebagai sarana untuk “mengenal”-nya. Dari wajahnya kita mengetahui seseorang itu cantik, ganteng, putih, kuning, eropa, asia, arif, bijaksana, dan sebagainya. Itu sebabnya keridhaan Allah juga, dalam al-Qur’an, sering disebut dengan wajah-Nya: “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah (keridhaan) Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kalian maksudkan untuk mencapai wajah (keridhaan) Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (30:38-39)
Sedangkan وَلَد (waladun, anak), dalam konsep yang terfahami oleh manusia, adalah ‘turunan’ yang mencakup seluruh entitas-entitas dari orang tua (manusia) atau induknya (tumbuhan dan hewan). Karena manusia, selain makhluk biologis, tapi juga makhluk psikologis, maka kedua unsur itu juga terwariskan padanya dengan rupa (biologis) dan potensi (psikologis) yang sama. Gampangnya, apabila yang ditanam adalah biji mangga, maka yang akan tumbuh nantinya adalah juga pohon mangga yang persis sama rupa dan jenisnya dengan mangga induknya. Begitu juga manusia. Anaknya pun akan menyandang predikat manusia dengan rupa, potensi dan dengan hak, kewajiban yang sama pula. Tidak ada bedanya sama sekali. Orang tuanya manusia, anaknya pun manusia, tanpa ada yang bertambah atau berkurang sedikit pun dibanding orang tuanya. Orang tua dan anak adalah dua komponen yang benar-benar terpisah dan mandiri namuun setara dalam segala-galanya. Kalau Tuhan punya anak maka secara otomatis akan ada lebih dari satu Tuhan, dimana eksistensi dan otoritas yang satu akan menjadi batas bagi eksistensi dan otoritas yang lainnya. Maka dari itu, berkenaan dengan Tuhan, Islam menerima konsep وَجْهُ (wajɦun, wajah) dan menolak konsep وَلَد (waladun, anak). “Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu). Maha Suci Tuhan Yang empunya langit dan bumi, Tuhan Yang empunya ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu.” (43:81-82)
3). Lalu bagaimana hubungan Allah dengan tampakan-tampakan yang kita saksikan melalui alat-alat penginderaan kita? Hubungannya bersifat “memiliki-dimiliki”. Allah sebagai al-Mālik (Pemilik) sementara selainnya sebagai al-mamlŭk (yang dimiliki). Dalam hubungan ini, pihak yang berstatus Pemilik mempunyai otoritas mutlak terhadap yang dimiliki. Dan pihak yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan apa-apa terhadap Pemilik-nya. Hubungan “memiliki-dimiliki” ini dalam kaitannya Allah dengan selain-Nya jauh melampaui konsep mental kita dalam kaitan manusia dengan apa-apa yang dimilikinya. Kalau kita (manusia) memiliki sesuatu, umpamanya mobil, mobil itu bukan ‘jelmaan’ dari DIRI kita. Hubungan kepemilikan kita dengan mobil hanya bersifat hukum, legalitas formal, dan tidak bersifat eksistensial. Keberadaan mobil tidak tergantung pada keberadaan kita. Keberadaan mobil (sebagai yang dimiliki) dan keberadaan kita (sebagai pemilik) bersifat otonom, mandiri, dalam ruang waktunya masing-masing. Dan karenanya tidak saling mempengaruhi, tapi saling membatasi (ruang geraknya masing-masing). Artinya, semakin banyak mobil semakin mengurangi ruang gerak manusia. Di sinilah cacat besar dalam konsep “memiliki-dimiliki” dalam kaitannya manusia (sebagai pemilik) dengan apa yang dimilikinya. Untuk Tuhan, eksistensi semua yang dimiliki-Nya sepenuhnya tergantung pada DIRI-nya. Meng-ada atau meni-ada-nya sesuatu tergantung seratus persen pada Kehendak-Nya. “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: ‘Kun (jadilah)’, maka jadilah ia.” (16:40) Itulah sebabnya tidak ada satupun dari selain-Nya yang pantas ‘menjadi’ Tuhan, karena segala sesuatu selain-Nya bergantung sepenuhnya kepada kehandak-Nya. Bagaimana mungkin sesuatu yang “bergantung” pada kehendak di luar dirinya disebut Tuhan. Tidak masuk akal. Maka dari itu, jelas, mengapa Allah menyebut apa yang ada di seluruh lapis langit dan di bumi sebagai milik-Nya: لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ (laɦu mā fĭs-samāwāti wal-ardh, milik-Nyalah apa yang ada di langit dan di bumi).
4). Karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah—dan milik-Nya tidak bersifat otonom dan mandiri—maka akibatnya semuanya patuh kepadanya: كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ (kullun laɦu qānitŭwn, semua tunduk kepada-Nya). Tidak ada satupun yang berani membangkang. Yang punya potensi membangkang hanya manusia dan jin karena kepadanya memang diberikan kehendak yang berasal dari kehendak-Nya. Maka problem manusia sebetulnya sangat sederhana: menjadikan kehendak-nya sejalan dengan kehendak-Nya. Dalam kaitan inilah Allah berkali-kali menyebut di dalam al-Qur’an bahwa di seluruh penjuru alam ini dan di dalam diri manusia sendiri terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Artinya, manusia diminta berkaca kepada keluasan alam yang mengepungnya untuk juga patuh kepada Pemilikinya. Sehingga melahirkan suatu pahaman menyeluruh yang pada akhirnya, seperti diuraikan di ayat sebelumnya, membentuk satu struktur pandangan dunia (world view) yang utuh yang mencakup wilayah psikologis, kosmologis, dan ideologis sekaligus. Karena inti dari ini semua adalah KEPATUHAN. “Katakanlah: ‘Sesungguhnya patutkah kalian ingkar kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Padahal Dia) itulah Tuhan semesta alam’. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Apakah kamu berdua akan datang (menuruti) perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati’.” (41:9-11) Maka siapa yang tidak datang (kembali) kepada Allah (sebagai Pemiliknya) dengan suka hati, derajatnya lebih rendah daripada benda-benda mati tersebut. Dalam sebuah Hadits Shahih yang diriwatkan oleh Ibnu Abbas ra, Rasulullah bersabda: “Siapa yang ingin (menjadikan) popularitas (sebagai tujuan hidupnya), Allah menantangnya dengan popularitas-Nya; dan siapa yang (menjadikan) sifat pamer (sebagai tujuan amal ibadahnya), Allah menantangnya dengan sifat pamer-Nya.” (HR. Muslim)
AMALAN PRAKTIS
Hubungan Allah dengan selain-Nya adalah hubungan Pemilik dan milik-Nya, dan bukan hubungan Bapak dan anak-Nya. Akibatnya, semua menjadi “tidak berdaya” di bawah kekuasaan-Nya. Semua kemudian datang menjumpai-Nya dengan suka hati. Bedanya, manusia diberi “kehendak” sehingga bebas memilih untuk datang kepada-Nya dalam keadaan suka hati atau terpaksa. Maka manusia yang kembali kepada-Nya dalam keadaan terpaksa, derajatnya lebih rendah dari benda mati yang paling hina.
Muhammad Rusli Malik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar