Segala puji milik Allah, Dzat yang telah menurunkan Al Qur’an kepada pemimpin kita, Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sholawat dan salaam semoga Allah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad.
Islam sebagai sebuah kepercayaan, sistem ritual, dan sekaligus sistem
kehidupan, tidak mungkin mempertahankan bentuk keaslian dan
kesakralannya tanpa ada jaminan terhadap keotentikkan Al Qur’an. Oleh
karena itu, sejak awal penurunan Al Qur’an, senantiasa ada sebagian umat
islam yang membaktikan dirinya untuk menjaga keotentikan Kitab
tersebut. Mereka telah mengembangkan sistem yang sedemikian rupa,
sehingga sampai saat ini, kita masih bisa membaca wahyu yang diturunkan
oleh Sang Pencipta itu persis sebagaimana Jibril ‘alaihis salaam mengajarkannya kepada Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallama.
Akan tetapi, musuh-musuh islam senantiasa ingin meruntuhkan islam dengan
segenap cara. Keimanan terhadap Al Qur’an yang memiliki posisi
sedemikian strategis tak luput dari incaran mereka. Mereka ingin
mengarahkan tikaman langsung ke arah jantung keperayaan umat (aqidah)
yang senantiasa memompa dan mengalirkan arus keimanan serta ketaqwaan
keseluruh tubuh kaum muslimin. Jika kepercayaan terhadap Al Qur’an ini
runtuh, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari islam.
Salah satu usaha yang mereka lakukan untuk menebar keraguan terhadap Al
Qur’an adalah memberikan persepsi yang lemah dan kabur mengenai sejarah
pembukuan Al Qur’an. Mereka ingin menunjukkan sebuah fakta palsu bahwa
Al Qur’an -dalam sejarahnya- memiliki banyak versi yang membingungkan,
dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa mush-haf yang ada ditangan kita saat ini adalah benar-benar Al Qur’an, kalamullah. Allahumma-nshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin!
Seorang orientalis, Gerd E. Joseph Puin, mengatakan, “Kaum muslim
beranggapan bahwa semua yang ada di antara dua sampul (baca: Al Qur’an)
adalah kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”. Kemudian dia berkata, “mereka
suka mengutip (dari bible) teks yang menujukkan bahwa bible punya
sejarah (penulisan pasca kematian yesus), dan dia tidaklah jatuh dari
langit. Tetapi sampai saat ini, Al Qur’an selalu berada di luar diskusi
seperti ini. Satu-satunya cara untuk menggempur dinding (keyakinan) ini
adalah dengan membuktikan bahwa Al Qur’an juga memiliki sejarah
(penulisan dan penyempurnaan pasca Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa
sallama).1
Untuk membuktikan tuduhan mereka itu, mereka berusaha menunjukkan fakta tentang adanya keragaman teks dan bacaan (qiroah)
pada masa-masa awal islam. Mereka menganggap, mushaf yang ada sekarang
tidak mengakomodir keragaman itu. Oleh kaenanya, mereka mengkampanyekan
usaha penyusunan “Al Qur’an ” edisi kritis sebagai tandingan Al Qur’an
yang sebenarnya. Bahkan usaha ini telah mempengaruhi sebagian orang
islam yang merasa inferior di hadapan orientalis dan menyangka bahwa
usaha penyusunan edisi kritis adalah usaha yang jujur, ilmiah dan
positif.
Tofik Adnan Amal menulis di harian Jawa Pos, 28 Oktober 2001, “Di
kalangan muslim kebanyakan, teks (rasm) dan bacaan (qiro’ah) dalam
mush-haf Al Qur’an dewasa ini diyakini sebagai rekaman lengkap dan
otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallama. yang
dikodifikasi oleh Zaid bin Tsabit berdasarkan otoritas Kholifah `Utsman
bin “affan. … Tetapi, orang yang mengetahui perjalanan sejarah Al Qur’an
menyadari bahwa keadaan yang sebenarnya adalah tidak sesederhana itu.
Sejarah awal Al Qur’an justru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi
teks dan bacaan kitab suci itu, yang karena dan atasnya dilakukan
serangkaian upaya unifikasi untuk menjamin kemantapannya. … Proses
(unifikasi) tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik
dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya,… karena itu, tulisan
ini juga akan membahas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat
suatu upaya penyuntingan edisi kritis Al Qur’an.2