Beberapa waktu lalu, sebuah workshop yang membedah ide sekulerisme dan liberalisme dalam Islam digelar di Depok, Jawa Barat. Satu di antara pembicaranya adalah, Prof. DR. Mohd. Wan Daud Wan Anwar, Muslim Malaysia yang dikenal gigih membendung pemikiran liberal dan sekuler yang menyerbu kaum Muslim.
Kamis, 05 Januari 2012
Prof. DR. Mohammad Wan Daud Wan Anwar : Jangan Komentari Ide Gila
Beberapa waktu lalu, sebuah workshop yang membedah ide sekulerisme dan liberalisme dalam Islam digelar di Depok, Jawa Barat. Satu di antara pembicaranya adalah, Prof. DR. Mohd. Wan Daud Wan Anwar, Muslim Malaysia yang dikenal gigih membendung pemikiran liberal dan sekuler yang menyerbu kaum Muslim.
ISLAMIA : Menangkal Virus JIL Perusak Aqidah
Virus menyerbu akidah, namun tak cukup vaksin untuk menangkalnya. Tak banyak yang sadar telah ditulari dan tak berdaya.
Seorang santri dari pesantren Al Amin, sebuah pondok di Parenduan, di ujung pulau Madura mempunyai pendapat yang cukup menggetarkan. Menurutnya, al-Qur’an adalah kitab yang tak sempurna. Dengan nada filosofis ia menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna dalam ketidaksempurnaan.
Fakta menyedihkan ini terungkap dalam sebuah workshop Sekulerisasi dan Liberalisasi dalam Pemikiran Islam. Workshop marathon ini diprakarsai oleh beberapa mahasiswa program doktoral di International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Malaysia. Selain di Madura, acara yang sama juga digelar di Surabaya, Solo, Jogjakarta dan Jakarta.
Geger Islam Liberal: Buruk Muka Islam Dibelah
Counter Liberalisme Oleh : Erros Jafar
Awal Februari lalu, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntaskan program doktornya di bidang tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an di Universitas al Azhar, Mesir, berkirim kabar. Lewat email, ia menyatakan, bahwa saat itu Masdar Farid Mas’udi, Ketua P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) sedang berada di Mesir.
Geger Dialog Lintas Agama : Teror Mengancam Muslim Bitung
Counter Liberalisme
Muslim Bitung Semakin Kuat Lantaran FitnahJudul koran dan media di Manado serta Bitung akhir-akhir ini begitu panas dan menyiratkan konflik beraroma agama. Sekelompok umat Kristiani bahkan mengancam akan menegakkan hukum dengan caranya sendiri.
Ihwal geger berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) ini bermula dari dialog lintas agama antara umat Kristiani dan Muslim yang gagal dilaksanakan pada tanggal 24 Januari 2004 silam. Dialog lintas agama yang bertajuk Keselamatan dalam Islam dan Kristen ini batal gara-gara tekanan beberapa kelompok tertentu yang merasa dialog hanya akan memicu keresahan antarpemeluk agama di Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Islam Liberal, Pemurtadan Berlebel Islam
Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru
dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu
setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut
pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL.
Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.
Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama).
Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975.
Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.
Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam.
Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam kehidupan.
Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut:
Kutipan:
"…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid).
Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.
Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.
Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.
Faham JIL
Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.
Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.
Tampaknya orang-orang yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah.
Berikut ini contoh nyata, Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo. Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi, tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut:
Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai Dasar Islam
Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:
Kutipan:
" Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).
Tanggapan:
Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.
Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.
Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.
Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS Al-Baqarah: 23).
Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.
Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab.
Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur'an dan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?
Pandangan-pandangan berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina
Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL).
Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.
Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.
Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal
Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS Al-Kaafiruun/ 109: 6). [/color]
Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Al-Mumtahanah/ 60: 4) (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).
Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Faham inklusifisme dan pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.[]
Dari Aldakwah.com
Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz
Fiqih Lintas Agama berlanjut di Mesir : Mati buat Masdar Farid Masudi
Acara tersebut rencananya akan dihadiri 75 mahasiswa Indonesia di Mesir dan salah satu acara tersebut juga untuk mensosialisasikan bahwa shalat tidak wajib etc. etc.... dan acara berlangsung di Hotel BINTANG LIMA. Peserta pokoknys nggak keluar duit seperak pun, tinggal pasang kuping, perut kenyang, tidur nyenyak.
Informasi ini diperoleh dari pak Hartono Ahmad Jaiz, untung saja ada Limra Zainuddin. Rupanya, di Indonesia mereka lebih bebas berkiprah, karena tidak ada yang seberani Limra.
Para 'fundamentalis"-nya cuma berani sama gedung (spt Marriott dsb). Insya Allah, para 'fundamentalis' di Indonesia patut mencontoh GEBRAKAN Limra Zainudin agar dimasa yad jangan lagi menjadikan gedung sebagai sasaran tapi "orangnya" yakni orang yang mengaku muslim bergelar Kiai tapi merusak Aqidah Islam dengan baju Liberalisme.
Kelompok ini saling bersinergi dengan kelompok Jaringan Islam Liberal yang diketuai oleh Ulil Abshar Abdalla keponakan GusDur yang berbagai buah pikirannya dengan dalih Liberlisme merusak Aqidah.
Waspadalah... wahai umat Islam atas sepak terjang Poros JIL ini yakni Jaringan Iblis Liberal
Berikut ini sebuah liputan dari Mesir oleh GATRA tentang ANCAMAN BUNUH untuk Masdar F. Mas'udi (wakil dari Paramadina)
Gertak Mati Pengawal Akidah
SENYUM renyah tersungging di bibir Masdar Farid Mas'udi saat ia melihat lambaian tangan istrinya yang menjemput di Pintu 1 Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Selasa malam lalu. Semua beban yang menindih benaknya seakan sirna. Zuhairi Misrawi dan Nur Rofi'ah, yang berjalan mengapit Masdar, juga mengumbar senyum lebar.Mareka baru saja terbang selama 19 jam dengan pesawat maskapai penerbangan Emirates Airlines dari Kairo, Mesir. "Lega rasanya kembali menghirup udara kebebasan berpikir di Indonesia," ujar Zuhairi, berbinar-binar. Mereka pantas ceria karena terbebas dari bayang-bayang ancaman maut di "negeri piramida".
Para pengurus Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu merasa jiwanya terancam oleh ucapan Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, Limra Zainuddin. Ia antara lain menyatakan: "Saya akan membunuh Bapak atau Zuhairi. Kalau bukan Bapak yang mati, atau Zuhairi, maka saya yang mati. Pilihannya mayat saya, mayat Bapak atau Zuhairi. Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak."
Ancaman itu dikutip dalam catatan kronologi bikinan tim panitia yang beredar di milis para mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir, akhir pekan lalu. Limra mengucapkannya ketika bertemu Masdar di lobi Hotel Sonesta, Kairo, Jumat sore pekan silam.
Direktur P3M itu berada di sana karena besoknya, ia berencana punya gawe bertajuk "Pendidikan dan Bahtsul Masail Islam Emansipatoris". Acara ini akan dilangsungkan di hotel bintang lima tersebut, Sabtu hingga Senin pekan lalu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama P3M, Kekatiban Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), dan organisasi mahasiswa setempat, "Sanggar Strategi TEROBOSAN". Pesertanya sekitar 75 mahasiswa Indonesia di Mesir yang mewakili sejumlah simpul. Pemikir Mesir, Prof. Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah, dijadwalkan menjadi pembicara.
Sore itu, Limra mendatangi hotel untuk menolak acara tersebut. Setelah menemui manajer hotel, ia bertemu panitia dari unsur mahasiswa Indonesia di Kairo. Limra menyebutkan alasan menolak acara, karena lontaran pemikiran Zuhairi dianggap meresahkan masyarakat.
"Pernyataan Zuhairi tentang salat tidak wajib. Dan permasalahan muslim menikahi wanita musyrik," kata Limra. "Juga pendapat Masdar tentang haji," Limra menambahkan. Baru beberapa menit Limra berada di lobi hotel, kemudian muncul Masdar bersama beberapa mahasiswa.
Limra menyampaikan tembusan surat keberatan PPMI kepada Masdar. Surat tertanggal 5 Februari 2004 itu meminta Duta Besar RI untuk Mesir meniadakan acara yang akan digelar Zahairi Misrawi selaku Koordinator Program Islam Emansipatoris P3M. Penolakan itu, katanya, berdasar aspirasi mahasiswa Indonesia di Mesir.
Ujung surat PPMI itu menyiratkan ancaman. "Bapak sudah bisa membaca apa yang terjadi, bila acara Zuhairi tetap dilaksanakan." Menanggapi persoalan itu, Masdar berusaha mendinginkan susana dengan menawarkan dialog. Limra menolak, dengan alasan hanya buang-buang waktu.
Ia menilai pandangan Masdar tentang pelanggaran waktu haji telah mengungkit akidah. "Itu kan sekadar pemikiran. Anda tidak harus mengikutinya," kata Masdar, berargumentasi. "Pokoknya tidak bisa," ujar Limra dengan nada tinggi. "Saya sudah capek mengurus persoalan seperti ini, sampai program saya terbengkalai. Sejak Lebaran, saya sudah marah. Sampai sekarang saya masih marah."
Masdar lalu menantang, "Seandainya acara ini tetap dilaksanakan, apa akibatnya?" Limra menanggapinya dengan melontarkan ancaman akan membunuh Masdar. Dengan tenang, Masdar meledek Limra, "Bisa nggak saya dibikinkan surat ancaman bahwa saya akan dibunuh?" Dan Limra pun berkelit, "Saya hanya bisa lewat lisan, saya banyak pekerjaan."
Masdar kembali melontarkan pertanyaan, "Jadi, sama sekali nggak ada jalan keluar?" Limra naik pitam. Napasnya terengah-engah. Tangan kanannya mengambil asbak di meja, lalu diacungkan ke muka Masdar. "Apa perlu Bapak saya bunuh sekarang?" Limra menbentak.
Para mahasiswa di sekitar Masdar segera menenangkan Limra. Asbak dikembalikan ke tempat. Masdar "diamankan" ke kamar. Limra digandeng ke luar hotel. Pertemuan bubar. Masdar langsung menelepon Duta Besar RI untuk Mesir, Prof. Bachtiar Aly, meminta perlindungan. Kepada GATRA, Bachtiar Aly mengaku terkejut mendengar insiden ini.
"Setahu saya, acara ini ditunda sampai setelah pemilu. Ternyata jadi dilaksanakan sekarang," kata Bachtiar. Ia menyatakan, Kedutaan Besar RI (KBRI) pernah menyarankan penundaan acara itu, karena ada surat penolakan dari ICMI dan NU Mesir. Anehnya, surat-surat itu tidak menohok Masdar, tetapi Zuhairi, alumni Jurusan Akidah Filsafat Al-Azhar.
Surat ICMI menyebut Zuhairi sebagai sosok yang menimbulkan kontroversi karena pernah menyatakan salat tidak wajib. Surat NU menyatakan bersedia bekerja sama menyelenggarakan acara ini, dengan catatan tidak menampilkan Zuhairi sebagai pembicara. Ia dinilai memiliki resistensi kuat di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo.
PPMI malah secara khusus menulis surat kepada Zuhairi, tertanggal 6 Februari. Isinya mengecam Zuhairi yang dinilai sering mengusik ketenangan umat dalam menjalankan syariat. "Pemikiran dan slogan yang selama ini Saudara usung tidak sesuai dengan kepribadian seseorang yang pernah menuntut ilmu di Al-Azhar," tulis surat itu.
Zuhairi menyangkal pernah mengatakan salat tidak wajib. "Sebagai alumni pesantren dan Al-Azhar, tidak mungkin saya mengatakan salat tidak wajib," katanya. "Saya hanya mengkritik salat yang tidak memiliki efek sosial bagi perbaikan masyarakat. Salat jalan, tapi korupsi juga jalan," salah satu penulis buku Fiqih Lintas Agama ini menambahkan.
Seingat Zuhairi, tudingan itu bukan hal baru. Tahun 1999, saat masih kuliah di Al-Azhar, Zuhairi pernah sampai menandatangani surat pernyataan bahwa ia tak pernah menyatakan salat itu tidak wajib. Pengagum Hassan Hanafi ini lalu mempertanyakan klaim bahwa resistensi atas dirinya amat kuat. "Pada acara ini saya buktikan bisa mendapat dukungan 200-an mahasiswa. Janganlah memanipulasi slogan-slogan kosong," katanya.
Kalau yang dibidik Zuhairi, mengapa Masdar yang kena damprat? "Masdar lagi apes saja," kata Bachtiar Aly. "Sebenarnya mereka mencari Zuhairi. Ternyata di hotel mereka ketemunya dengan Masdar, ditumpahkanlah segala emosi pada Masdar," Bachtiar menjelaskan.
Insiden ini berakibat dibatalkannya acara itu. State Security, lembaga keamanan negara Mesir, menghubungi manajer hotel. Pihak hotel kemudian mengontak KBRI, mengabarkan tentang pembatalan acara tersebut. Menurut Masdar, karena KBRI tak bisa memberi jaminan, maka hotel pun angkat tangan. "Saya memang kecewa, tapi saya bisa mengerti," kata Masdar.
Namun yang membuat Masdar masygul, ia dipersulit ketika bersilaturahmi ke kantor NU Mesir. Ketika Katib Syuriyah ini baru berbicara santai selama lima menit di kantor NU Mesir, tiba-tiba ada telepon dari State Security, minta Masdar membubarkan pertemuan. "Ini gimana, saya ketemu warga sendiri saja tidak bisa," katanya.
Pembatalan acara itu, menurut Kepala Bidang Penerangan KBRI, Teuku Darmawan, sepenuhnya merupakan kebijakan State Security. KBRI di Mesir tidak ikut-ikutan. "Kami tahu ada pembatalan setelah mendapat info dari Hotel Sonesta yang mendapat teguran dari State Security," kata Darmawan.
Atase Pertahanan KBRI, Kolonel Yohastihar, menjelaskan bahwa kegiatan orang asing di Kairo harus ada clearence dari State Security. Untuk salat id saja, KBRI juga memberitahukan ke State Security. "KBRI tidak punya wewenang membubarkan acara. Kalau State Security yang melakukan, KBRI tidak bisa intervensi," tutur Yohastihar.
Pembatalan acara ternyata tak membuat ancaman mati Presiden PPMI berhenti. Limra melebarkan ancamannya kepada para mahasiswa yang menjadi saksi dan penyusun kronologi versi P3M. Kepulangan Masdar, Zuhairi, dan Rofi'ah hanya menenangkan diri mereka. Sementara beberapa mahasiswa di Kairo masih dalam bayang-bayang ketakutan.
Saat dihubungi GATRA, Selasa malam lalu, Limra menolak berkomentar. Untuk meredakan ekses lebih lanjut, Selasa siang lalu Duta Besar Bachtiar Aly mempertemukan pengurus PPMI dan Panitia P3M. Bachtiar menginginkan adanya islah, dan ketegangan bisa mereda. PPMI memberi surat berisi dua tuntutan pada panitia. Pertama, melengkapi kronologi. Kedua, minta maaf.
PPMI mematok tenggat sampai Rabu pekan ini pukul 10 malam. Bila tidak terpenuhi, Presiden PPMI akan mengundurkan diri. Panitia Pengarah Acara P3M, Mas Guntur Romli, siap memenuhi tuntutan itu. "Dari segi substansi, Limra tidak menyangkal adanya ancaman bunuh," kata Guntur. Sehingga, kalaupun kronologi dilengkapi, tidak akan mengubah isi. Tampaknya, perjalanan menuju titik temu kian dekat. (GaTRa)
Wawancara Masdar Farid Mas'Udi
Ini Fakta Menyedihkan
NAMA KH Masdar Farid Mas'udi, MA, sudah lama masuk deretan pemikir muslim Indonesia progresif. Gagasan Masdar, 50 tahun, tak jarang melawan arus. Dua ide kontroversialnya: risalah zakat/pajak dan pelonggaran waktu haji, masuk sebagai materi Pendidikan dan Bahtsul Masail Islam Emansipatoris di Kairo, Mesir, 7-9 Februari lalu. Namun acara gagal setelah Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini diancam mati oleh Limra Zainuddin, Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Wartawan GATRA Asrori S. Karni mewawancarai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu setiba dari Kairo, Selasa malam lalu. Berikut petikannya:Apa reaksi Anda mendapat ancaman bunuh dari Limra Zainuddin?
Saya tidak menduga sedahsyat itu resistensinya. Beberapa pemikiran saya memang sudah lama mendapat resistensi dari sebagian mahasiswa di Kairo. Itu wajar. Saya berharap, para mahasiswa itu, dengan kedalaman pengetahuannya, bisa lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Tetapi yang terjadi lain. Ini fenomena yang sama sekali tidak pantas dilakukan komunitas mahasiswa yang terpelajar.
Argumen yang dikemukakan Limra ketika mengancam Anda?
Bagi dia, akidah adalah segalanya. Pemikiran saya serta teman-teman dinilai merusak akidah itu.
Itu sikap pribadi Limra atau gambaran sikap kolektif konstituen organisasinya?
Khusnudzan saya, ancaman itu bukan trend dominan di Kairo. Itu hanya terjadi pada satu-dua orang. Mungkin karena faktor pribadi. Karena temperamennya atau karena yang bersangkutan punya masalah. Limra waktu mengancam memang ngomong sedang pusing. Program pendidikannya sudah lama terbengkalai. Dia sudah delapan tahun kuliah tidak selesai-selesai. Saya kira, itu mempengaruhi kondisi psikologis dia. Yang saya sesalkan, dan saya menjadi kasihan kepada Limra, temperamen pribadi itu dipakai oleh sejumlah orang yang tidak ingin acara saya terjadi.
Ada kabar, yang menjadi sasaran tembak sebenarnya Zuhairi Misrawi, staf Anda. Bagaimana konteksnya?
Zuhairi dulu alumni sana. Ia juga punya pemikiran yang "nakal". Misalnya, statemennya bahwa salat tidak wajib seperti pernah dimuat GATRA. Kalau memang begitu, saya pernah mengusulkan, ya, klarifikasi saja. Tapi persoalan salat kan sesuatu yang undebatable. Saya nggak tahu apakah ada juga persoalan lain, apakah politik atau persaingan sesama aktivis, wallahualam.
Yang pasti, ada resistensi secara pribadi pada Zuhairi. Jalan keluar yang kami diskusikan dengan Pak Dubes, kalau mereka menganggap masalahnya pada Zuhairi, bisa dilokalisasi dengan tidak melibatkan Zuhairi pada acara ini. Zuhairi sendiri nggak masalah. Tapi kemudian masalah diperlebar pada gagasan yang diusung P3M, di mana saya sebagai pimpinannya.
erius ancaman ini? Sekadar ucapan spontan atau pernah ada preseden hal itu bisa benar-benar terjadi?
Saya tidak tahu sejarah Limra. Saya juga tidak menduga sekeras itu resistensinya. Karena dia seorang mahasiswa, bahkan presiden mahasiswa yang belajar di Mesir. Saya tadinya menduga, dia pasti seorang intelektual. Tapi melihat fakta seperti itu, saya juga sedih. Para mahasiswa kita di Kairo itu kan didambakan akan menjadi pemimpin Islam masa depan. Tapi kok seperti itu. Ini kerugian bagi kita semua. Bukan hanya bagi Limra dan teman-teman di Kairo, juga bagi kita di Indonesia. Ini menyedihkan.
Sesudah ada ancaman, teman-teman bikin kronologi ancaman itu dan disebar ke milis. Limra tambah panas dan tambah mengancam pada semua orang yang menjadi saksi dalam penyusunan kronologi. Ternyata ancaman itu masih serius. Tidak hanya pada saya, juga pada teman-teman di Mesir. Sebelum pulang, saya bilang ke Pak Dubes bahwa ancaman ini makin melebar, tolong bisa dilakukan langkah kongkret untuk melindungi keamanan semua pihak. Baik yang diancam maupun Limra sendiri. Meskipun Limra mengancam, kalau terjadi konflik fisik dan dia terluka, juga nggak enak terdengar.
Anda berencana memerkarakan si pengancam secara hukum?
Sejak pertama diancam, saya lapor ke Pak Dubes. Dia bilang, segera melakukan langkah pengamanan. Limra sendiri berada di bawah pengawasan pihak keamanan. Ancaman ini sudah kriminal. Karena itu, saya lapor ke Pak Dubes. Apakah akan ada tindakan hukum di sana, saya nggak tahu. Tapi kalau serius, ya, harus ada langkah-langkah hukum. Karena kalau ancamannya nyata, ya, fatal itu.
Debat Publik FiQih Lintas Agama : MMI versus PARAMADINA 2
Tanggapan untuk Ulil Abshar Abdalla :JIL, Islam Kaffah, Mungkinkah?
Counter Liberalisme Oleh : Qomarul Zaman 19 Feb 2004 - 12:15 pmSetiap manusia pada dasarnya mengakui sepenuhnya bahwa ketenangan/kebahagiaan yang hakiki akan didapat apabila ia merasa dekat dengan "Kholik/Allah SWT" (penciptanya). manusia adalah makhluk, lemah, senantiasa membutuhkam bimbingan/arahan dari sang kholik, karenanya kholik tidak membiarkan makhluk hidup tanpa arahan, hidup semaunya, tanpa aturan, tanpa suri tauladan
Untuk itulah maka ada aturan agama (syari'at), yang Kholik ciptakan amat sangat sesuai dengan kudrat/kebutuhan si makhluk, atau dengan kata lain aturan yang sempurna. Namun dalam menyerap aturan-aturan yang ada tentu saja manusia akan sangat berbeda satu sama lain, karena begitu banyak faktor yang berpengaruh di sana.
Nafsu manusia... (kemalasan, kesombongan, takabur, dan seterusnya) , kemudian ditambahi dengan permusuhan abadi tentara "Syaitan" yang senantiasa menunggu kelengahan manusia.
Kesemuanya menjadi penyebab bertingkat-tingkatnya kemampuan menusia dalam menyerap dan mengamalkan aturan sang kholik, namun selama mereka tetap berpegang pada aturan yang murni (Qur'an dan Hadits) mereka tidak akan pernah tersesat, tidak akan pernah merasa jenuh sekali dengan kehidupan sehingga mencari pemuasan dengan aneka "hiburan" yang begitu berlebihan. Dalam tingkatan apapun tetap akan dirasakan ketenangan/kebahagiaan itu asalkan sekali lagi "tetap berpegang pada aturan yang murni dan sempurna (qur'an dan hadits)", karena mereka "muslim", kholik selalu bersama mereka.
Berbeda jelas sekali dengan mereka yg begitu memaksakan dan begitu mencari pengakuan kepada makhluk untuk dapat diakui sebagai seorang "muslim" (plus intelek katanya), padahal tidak satu pun aturan Kholik (qur'an dan hadits) yang mereka terima dalam hati nuraninya. Ini perlu ditekankan, karena aturan ini memang benar2 sempurna, sangat sesuai dengan kudrat manusia, universal, berlaku untuk seluruh zaman, tak pernah usang dimakan waktu.
Maka seberapapun berbedanya kondisi kehidupan saat ini dengan aneka dinamikanya, tak akan pernah menjadi masalah selama ia telah masuk dan berupaya menyerap "aturan Kholik" dengan kemampuan yg ada padanya (upaya manusia menjadi kaffah dalam menerima aturan Kholik yg amat sesuai dengan kondisinya sebagai makhluk).
Maka masuk.. kemudian berupayalah (untuk menjadi kaffah), seterusnya adalah hak Kholik untuk menilai.. bukan hak makhluk untuk menilai apakah seseorang telah kaffah atau tidak. Inilah semangat yang hendak ditekankan dalam Islam, satu yg harus dipegang "tetaplah bersama aturan yang murni... tetaplah bersama Qur'an dan Hadits" (diperlukan keikhlasan dalam menerima).
Jika tahap dasar ini telah anda lalui, maka dinamika kehidupan (aneka hiburan/budaya yg rendah menjadi ujian baginya sedang sunnah (suri tauladan) Rasulullah menjadi tantangan yg begitu menggiurkan untuk dapat dilaksanakan.. karena pada hakikatnya seseorang yang telah masuk dan melalui tahap dasar akan mendapat arahan lebih lanjut dari sang Kholik untuk dapat membedakan mana yg benar (sesuai aturan) mana yang tidak... mana yg salah mana yg benar.
Berbeda sekali dengan mereka yg hanya "merasa" menjalankan sebagian aturan... padahal pada hakikatnya tidak sedikitpun aturan yg diikuti (tak ada keikhlasan) atau mungkin telah mengikuti aturan yg salah (aturan Syeitan), atau bahkan mungkin telah menjadi tentara Syaitan dengan motivasi mencari kelengahan sang muslim sejati.... Who knows?? Untuk itu maka....
WASPADALAH!!! WASPADALAH!!! WAHAI MUSLIM!!!
Berikut artikel Ulil Abshar-Abdalla, JIL = Jaringan Iblis Liberal
aa_iwan_oce@yahoo.com
UAA-JIL Islam Kaffah, Mungkinkah? (Sebuah anti-thesa Tentang Konsep Piagam Madinah)
Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Saya akan mengajukan suatu pikiran kecil yang sudah mengganjal dalam benak saya sejak lama, yaitu perihal "kaffah." Apakah beragama itu harus "kaffah"? "Kaffah" itu artinya adalah menyeluruh. Kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, "kaffah" artinya sudut 360 derajat, lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara "lingkaran penuh"?Menurut saya, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan "kata putus" dari agama. Agama yang "kaffah" itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami "sofistikasi" kehidupan seperti zaman modern.
Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini. Masyarakat moden mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama.
Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pamaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”
Ambillah contoh berikut ini. Kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah: boleh jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita tak bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati kedudukan yang sangat penting dalam zaman modern.
Di Malaysia, PAS, suatu partai yang mewakili pandangan keislaman yang konservatif, hendak melarang seni Melayu lokal, Makyong. Di Indonesia, FPI dan yang lain-lain mau menutup tempat-tempat hiburan, di Afghanistan orang-orang diwajibkan berjenggot. Di mana-mana, ketika Islam (konservatif) bangkit, dunia hiburan selalu menjadi korban. Apakah hiburan tak boleh? "Boleh!" kata mereka, asal sesuai dengan Islam.
Kalau kita berislam secara kaffah, pertanyaannya adalah "how kaffah can you go?" Masing-masing orang berlomba paling kaffah dari yang lain. Orang-orang yang masih satu senti kurang kaffah dianggap kurang "Islami" oleh orang-orang lain yang kebetulan sudah satu senti lebih kaffah, dan seterusnya. Saya tak sanggup hidup dalam lingkungan di mana orang-orang di dalamnya berlomba menunjukkan kesalehan secara obsesif.
Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik. Panduan yang layak kita petik dari agama adalah ajaran tentang larangan "israf" atau berlebihan. Asal tak berlebihan saja.
Sogeng, Jakarta. Saya kira Ulil benar. Tak ada penganut agama yang kaffah, baik ia seorang muslim, Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu Chu. Sangat mustahil ada orang beragama secara khaffah, karena missi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah" ke arah destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk dinamisasi kehidupan.
Islam yang saya pahami, merupakan agama yang tidak akan pernah mencapai ke-kaffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya. Memang, dalam al-Quran dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi Al-Quran bukan merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan kesempurnaan ide, ia masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk menuju ke-kaffah-annya itu.
Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya membaca berita tentang pemerintahan Taliban yang kabur dari Kabul, lalu orang-orang pesta pora, perempuan keluar rumah, musik diperdengarkan kembali, dan laki-laki antri cukur jenggot. Orang-orang Muslim sendiri banyak yang mengatakan, apa yang dilakukan Taliban itu tak ada sandarannya dalam Islam; itu semata-mata "medievalisme" yang barbarian. Tapi apa lacur, apa yang dilakukan Taliban, yang tampak konyol oleh kita, itulah yang sebenar-benarnya ada dalam tradisi kita, dalam ajaran klasik Islam kita.
Islam, kalau mau diterjemahkan secara harafiah, jadinya ya Taliban itu. Dan literalisme, sekarang ini, menjadi kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan akan "otentisitas", memberi rasa mantap dan yakin-diri akan kehidupan yang sesuai dengan "masa lampau" yang ideal dan suci. Berkali-kali saya katakan dalam forum ini, bahwa masa depan Islam tak bisa lain kecuali Islam liberal, setelah kita menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme yang konyol pada Taliban. Kalau orang Islam belum kapok dengan contoh ini, ya kebangetan!
Semoga dengan jatuhnya Kabul, dan kocar-kacirnya Taliban, kocar-kacirlah literalisme Islam yang melahirkan pemahaman keagamaan yang lucu itu. Sejarah bergerak secara progresif, menuju "finalitas" yang makin rasional, makin tercerahkan, makin liberal. Kalau Islam tak mau mengikuti itu, dan berkubang dalam "medievalisme" yang mesum, maka habislah agama ini. Saya masih tetap ingin Islam relevan untuk kehidupan ini, karenanya saya harus menafsir kembali dengan susah payah.
Ichan Loulembah, Puskakom, Jakarta. Pendapat saya, "Islam ibadah" bukan termasuk yang didikusikan Ulil. Yang masuk dalam kategori wacana Ulil adalah "Islam peradaban" dalam pengertian segenap perangkat nilai --yang tidak pernah atau tidak boleh selesai-- yang digunakan secara sadar maupun dibawah sadar oleh penganutnya berdasarkan rekaman emosional, psikologis maupun logis.
Masalahnya adalah "Islam peradaban" itu hanya salah satu peserta kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi muslim, dengan segenap keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang menggedor setiap detik dengan mesin peradaban modern yang sialnya beroperasi lebih canggih ketimbang Islam. Apakah ini gambaran inferioritas atau kekalahan? Terus terang saya tidak tahu.
AE Priyono, ISAI Jakarta. Dulu, saya biasa menyetel Beethoven No. 5 sambil shalat dengan niat untuk memperoleh kekhusyukan --meskipun akhirnya tetap tidak bisa mendapatkan keduanya secara sekaligus. Kini saya menginginkan suasana yang sangat sunyi untuk mendapatkan dua jenis kenikmatan yang berbeda itu.
Saya tidak pernah mengganggap serius perintah fikih yang melarang musik. Dan di kalangan fundamentalis pun isu ini tetap kontroversial. Toh sebuah jenis Islam yang lain, seperti Rumi, bisa berasyik masyuk dengan musik dan tarian justru untuk mencapai ekstase dengan Tuhan. Atau bukankah nada sengit Ulil itu sekadar skeptisisme terhadap khazanah klasik tertentu yang ditiru secara serampangan oleh kalangan fundamentalis, yang dia sendiri merasa lebih sah memilikinya?
Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya mungkin agak berlebihan. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa dunia hiburan dan leisure (baca: kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam kehidupan modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya oleh leisure ini. Tapi, Islam tampaknya abai terhadap hal yang satu ini, dan kalau mau masuk ke dalamnya, ia hanya mempunyai piranti klasik yang sudah tidak memadai.
Saya bukan penikmat hiburan yang baik; saya hanyalah seorang yang sangat amatir untuk itu. Tetapi, saya merasakan ada hal yang sehat dalam suatu ruang publik di mana dunia "leisure" bisa ditampung, di mana hiburan bisa dikembangkan dengan wajar.
AE Priyono mengatakan bahwa larangan musik tidak cukup serius di kalangan kaum fundamentalis. Saya justru berpandangan sebaliknya. Talibanisme telah menjadi hantu yang membayangi saya, sebab saya tahu, apa yang dikerjakan Taliban memang betul-betul ada sandarannya dalam salah satu jenis penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal; suatu penafsiran yang memusuhi dunia hiburan dengan obsesif.
Hantu itu lebih mengerikan karena pandangan-pandangan yang "medieval" (baca: bersifat abad pertengahan; maksudnya: sudah tak sesuai lagi) semacam itu tidak saja hendak diselenggarakan sebagai "keasyikan" pribadi, tapi mau ditegakkan melalui negara. Negara mau dijadikan aparatus pengawas "kesalehan" dengan memberangus dunia hiburan.
Saya jelas tidak menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan yang kerapkali membius "nalar yang cerah" jelas harus terus dilakukan. Untuk hal ini, umat Islam patut belajar dari studi-studi kebudayaan (dalam pengertian “cultural studies”) yang muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan saya adalah soal pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.
Luthfi Assyaukanie, JIL Jakarta. Saya agak berbeda pendapat dengan Ulil soal kaffah itu, yang karena itu pemahamannya tentang konsep itu menjadi melebar ke mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari kalau istilah itu didudukkan dalam konteks al-Quran yang sebenarnya. Ulil, menurut saya, sudah "terpengaruh" dengan penafsiran awam yang mengartikan "silmi" semata-mata sebagai "Islam." Karenanya, surah Albaqarah (208) itu dipahami secara literal: silmi=Islam, karena akar kata s-l-m sama dengan -i-s-l-m.
Padahal, kalau kita membuka tafsir-tafsir al-Quran dan membacanya secara kritis, kata "silmi" itu bukan berarti Islam, paling tidak bukan satu-satunya. Bahkan ada sebuah kiraat yang diriwayatkan dari A'masy, kata itu tidak dibaca "silmi" tapi "salami" yang tentu saja memiliki makna berbeda dari pengertian yang selama ini beredar. Perlu diketahui, kiraat ini sahih.
Zamakhsyari, imam tafsir yang menurut saya paling ahli dalam bahasa Arab, dalam tafsir Al-Kassyaf-nya, misalnya mengartikan istilah itu dengan "ketaatan kepada Tuhan." Pendapatnya ini diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut, yang sesungguhnya ditujukan bukan untuk orang-orang Islam, tapi justru untuk Ahlul Kitab yang dalam konteks itu dianggap punya kecenderungan bersikap "sinkretis."
Dalam konteks "silmi" yang berarti "islam" kita bisa membandingkannya dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang jelas-jelas akan memberikan impresi berbeda dari yang selama ini kita pahami dari kaum literalis. Ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi Madinah yang konon setelah masuk Islam tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan lamanya (ia masih menjalankan ritual sabat dan membaca taurat dalam salat!), sesuatu yang membuat para sahabat "cemburu" dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat "udkhulu fissilmi kaffah" itu sebagai protes untuk sikap keberagamaan Abdullah yang sinkretis itu.
Jadi, "kaffah" itu saya kira tak ada hubungannya dengan "berislam secara total" seperti selama ini dipahami, tapi ia hanyalah pesan untuk menghindari sinkretisme.
Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Talibanisme adalah puncak kevulgaran literalisme Islam yang dimulai sejak gerakan wahabisme merebak di tanah Nejd. Peristiwa di Afghanistan ini makin membuat saya yakin bahwa "kesalehan privat" tidak bisa ditegakkan melalui negara. Agama haruslah menjadi kesadaran invidual yang bebas, tanpa diawasi oleh lembaga ekstra-persona yang nyinyir dan cerewet.
Saya makin yakin, dengan kejadian di Afghanistan itu, kehidupan haruslah dipecah menjadi dua. Di satu pihak adalah kehidupan privat atau pribadi, di mana agama memainkan peran yang penting. Dalam kehidupan ini kita mengembangkan apresiasi dan penghayatan yang mendalam dan khusyuk terhadap dimensi-dimensi spiritual dalam kehidupan. Di pihak lain adalah kehidupan publik yang harus diatur sesuai dengan kesepakatan-ksepakatan masyarakat. Agama hanyalah menjadi inspirasi untuk pengaturan itu.
Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada voting. "Antum a'lamu bi umuri dunyakum," kata Nabi; kalian lebih tahu urusan mundan yang anda hadapi setiap hari. "Fa-ma sakata 'anhusy syari'u fahuwa 'afwun," kata Nabi dalam hadis yang lain; apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan "mubah" (diperbolehkan). Saya memandang bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana:
Pertama, kaidah dasar dalam urusan ritual adalah: semua hal yang tidak memperoleh pengesahan dari agama, adalah haram (al ashlu fil 'ibadati al hurmatu). Orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk salat. Salah ya harus seperti diajarkan Nabi itu, "Shallu kama ra-aitumuni ushalli" (salatlah sebagaimana kalian lihat aku salat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan pasti, tinggal dijalankan saja.
Kedua, kaidah untuk kehidupan mundan dan duniawi: semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Catatan saya: kaidah ini masih mengandung kelemahan. Menurut saya, kaidah ini seharusnya berbunyi demikian: sesuatu yang bersifat mundan adalah boleh, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang.
Dengan pandangan semacam ini, saya sebetulnya ingin mengatakan bahwa "birokratisasi kehidupan" yang sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling masuk akal sekarang ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat kemungkinan yang tanpa batas untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang terjadi dalam pengaturan kehidupan publik. Sebab, semua perkara ditentukan melalui proses "duniawi" yang relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu, sikap paling ideal sebagai Muslim sekarang ini adalah sebagai berikut:
Pertama, secara individual menghayati relijiusitas yang mendalam; mengembangkan penghayatan spiritual yang penuh dengan cinta pada Allah. Dengan kata lain, secara individual model yang ideal adalah Rabiah Al Adawiyah, seorang wali perempuan yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas.
Kedua, secara sosial, mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum yang dicapai secara demokratis. Kehidupan publik ia kembangkan berdasarkan inspirasi cinta ketuhanan yang feminin itu, bukan berdasarkan diktum-diktum harafiah agama, apalagi fiqh. Rasio dan nalar yang sehat adalah panduan utama dalam pengelolaan ruang publik ini. Saya tak tahu, siapa model yang baik dalam hal ini dalam sejarah Islam.
Dalam wawasan seperti ini, "ke-kaffah-an" Islam hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi. Dalam sistem sosial, tak ada suatu sistem yang "kaffah". Sistem sosial yang "kaffah" adalah sistem yang totaliter dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa dibatalkan oleh konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan pengelolaan kehidupan ramai. Sistem sosial (sebaiknya atau seharusnya) selalu bersifat provisionaris, alias sementara, bukan "kaffah", alias sudah final dan abadi.
A. Rumadi, IAIN Jakarta. Soal agama "kaffah," menurut saya, argumentasi konvensional sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pemahaman Islam sebagai agama yang "serba meliputi," menyeluruh dan seterusnya merupakan akal- akalan "misionaris" Islam untuk menyedot "pendukung." Ke-kaffah-an seolah identik dengan jaminan keselamatan seseorang hanya dengan memeluk agama itu dan cukup dengan mengucapkan "syahadat."
Di luar itu, saya kadang berpikir apakah orang beragama itu memang harus full time. Tidak bolehkah beragama secara part time. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi harus "beragama," sampai mau ke toilet pun harus "beragama." Ke-kaffah-an Islam sering kali juga di ukur dari hal-hal seperti ini. Rasanya enak sekali kalau beragama bisa part time.
A. Bakir Ihsan, IAIN Jakarta. Istilah kaffah sebenarnya multitafsir. Kaffah menurut mazhab Taliban tentu berbeda dengan kaffah menurut Ulil. Persoalannya hanya pada otoritas. Ketika Ulil melontarkan persoalan kaffah di forum ini, banyak yang menanggapinya seakan-akan itulah kaffah yang sebenarnya, atau kaffah-nya Ulil salah dan harus diserang karena akan memiliki efek lanjutan. Padahal masing-masing kita memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan kaffah.
Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah final untuk menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat keberagamaan seseorang. Manusia ini sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan dan keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi. Yang benar-benar kaffah hanyalah Tuhan. Muhammad sendiri sebagai penyebar Islam tidak kaffah dalam arti sempurna seratus persen.
Kaffah bagi mazhab Taliban adalah meniru sepenuhnya masa Nabi. Mereka berusaha memindahkan masa silam pada masa kini; memelihara jenggot, pakai sorban, perempuan pakai cadar dan sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi mereka adalah bagian dari keislaman mereka. Sayangnya mereka tidak berperang pakai pedang dan naik onta saat melawan Amerika, seperti pada masa Nabi. Tetapi inilah kekaffahan yang mereka yakini.
Saya setuju dengan Ulil bahwa doktrin keagamaan mazhab Taliban memiliki pijakan yang kuat dalam literatur Islam. Tapi ini bukan persoalan krusial, dan pijakan ini bukan satu-satunya milik mereka. Karena Ulil sendiri, dan mungkin teman-teman yang lain, memiliki alasan yang sama kuatnya untuk mempertahankan pandangannya tentang keberagamaan yang kaffah.
Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara Jakarta. Provokasi Ulil di debat ini ada adalah provokasi seorang realis, seorang intelektual tulen yang melihat dengan dingin kenyataan yang berlangsung. Ajakannya untuk tidak berislam secara kaffah adalah ajakan yang sangat bernilai. Ajakan Ulil itu, seperti dikarikaturkan oleh Bimo Ario Tejo, memang bisa diplintir menjadi dalih bagi oportunisme, bagi kepengecutan dan kemunafikan. Tapi ajakan itu juga bisa dilihat sebagai kesimpulan dari seorang intelektual muslim yang sadar akan batas-batas: sebuah ajakan yang lahir dari sikap tahu diri dan rendah hati.
Ngotot berislam secara kaffah itu secara karikatural mirip dengan ngotot menjadi prajurit TNI secara kaffah. Makhluk angker seperti ini selalu menjadi tentara bukan hanya di barak atau di medan perang, tapi juga menjadi tentara di bis kota, di masjid, di arena joget dangdut, di lapangan pertunjukan wayang, di antrean loket kereta, di pasar-pasar, di mana saja dan kapan saja. Akibatnya adalah jika ia masuk pasar ia cenderung bicara setengah membentak sebagai cara untuk menawar harga kain seragam, jika ia jum'atan orang-orang minggir memberinya jalan ke saf terdepan, jika naik metromini ia tak merasa perlu bayar ongkos dan kondektur segan menagihnya, jika ia kesenggol di arena joget dangdut ia bisa langsung menarik pistol dan mengajak rekan-rekannya menyerbu arena itu.
Sudah tentu, karikatur “kaffah” ini bukanlah hal yang kita kehendaki pada Islam. Mungkin perlu merumuskan pengertian kaffah yang lain, yang lebih tepat untuk keadaan kita saat ini.
JIL-Ulil Abshar-Abdalla : Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi
Selama tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kontroversial, menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Sampai kemudian dia mudik lagi setelah mendapat kabar bahwa Ayahandanya, KH. Abdullah Rifa’i meninggal, di pertengahan Desember lalu. “Padahal saya masih ingin berlama-lama di sini sampai buku saya selesai,” kata Ulil yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini. Ia mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Selain Ulil, tahun-tahun sebelumnya yang pernah mendapat undangan serupa adalah Dr. Nurcholish Madjid dan Goenawan Mohamad.Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal. Dalam wawancaranya dengan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal, Kamis 8 Januari 2003 lalu, dia berharap, buku ini bisa menjelaskan secara utuh pemikiran–pemikirannya yang selama ini dianggap kontroversial. Menurutnya, selama ini bukunya yang sudah terbit hanya berasal dari artikel-artikel lepas saja. Berikut petikannya:
HAMID BASYAIB (HAMID): Bung Ulil, saya ingin tahu, bagaimana respon mahasiswa ketika Anda mengajar?
ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Responnya cukup bagus. Kita tahu, di Amerika saat ini perbincangan atau pembicaraan soal Islam sangat menarik. Bisa disebut seksi lah. Di mana-mana orang selalu bertanya mengenai Islam. Dan harap diketahui, bahwa Michigan University ini adalah tempatnya orang-orang yang anti George W. Bush atau pendukung Partai Demokrat. Kumpulan orang-orang yang visinya progresif-kiri, anti perang Irak, kebanyakan orang-orang kritis dan punya simpati besar terhadap Islam.
HAMID: Ketika Anda mengajar, pertanyaan apa sih yang paling sering dilontarkan kepada Anda sebagai orang Islam dan pemikir dari sebuah negara Islam terbesar di dunia yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?
ULIL: Sebelumnya ada dua hal yang mengesankan bagi saya selama mengajar di sana. Pertama, semua orang yang mengikuti kuliah saya, tampaknya secara psikologis sudah siap menerima wejangan saya. Mereka sudah mempunyai mindset bahwa Islam tampaknya disalahpahami di Amerika. Mereka paham akan hal itu. Jadi, mereka harus belajar dari orang Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, mereka ingin mendengar Islam versi Asia Tenggara, lebih khusus versi Indonesia. Jadi, mereka datang dengan simpati yang besar, dengan persepsi bahwa Islam adalah agama yang dizalimi publik Amerika, sehingga mereka perlu mengundang saya untuk memberi informasi first hand kepada publik di sana.
Kedua, ada beberapa orang yang tidak mengerti mengapa terjadi radikalisme dalam Islam. Pertanyaan ini pernah diangkat Farid Zakaria (kolomnis senior majalah Newsweek-red) dalam edisi khusus Newsweek yang berjudul: Why do they hate us? Kenapa mereka (orang Islam) membenci kami (orang Amerika)? Ada pertanyaan mengenai hal itu. Dan menjawab pertanyaan semacam itu tidaklah mudah.
HAMID: Tadi Anda menyebut mereka ingin tahu Islam versi Asia Tenggara atau lebih khusus lagi Indonesia. Apakah mereka sudah cukup tahu tentang Islam Arab atau versi Timur Tengah?
ULIL: Harus diketahui, bahwa exposure atau informasi mengenai Islam di luar kawasan Arab itu sangat kecil. Salah satu sebabnya adalah karena populasi orang Islam dari Arab di Amerika besar sekali. Masjid pertama kali yang didirikan di Amerika pada akhir abad ke-19, di daerah Iowa didirikan oleh orang Siria. Dan memang, di negara bagian Michigan ada satu kota kecil bernama Dearbon, yang menjadi pusatnya orang Arab di sana. Dan di sana ada masjid besar. Michigan dikenal sebagai negara bagian yang mempunyai populasi orang Islam paling besar di Amerika. Sehingga perjumpaan orang Amerika dengan orang Islam di sana lebih banyak diwakili orang Arab. Hal itu sudah terjadi selama dua abad.
HAMID: Selain mengajar, saya dengar Anda juga menulis buku. Betulkah?
ULIL: Betul. Sebenarnya konsentrasi saya di sana adalah riset, membaca, dan menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan. Semoga selesai dalam waktu dekat. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang indah dalam kehidupan ini kecuali membaca, menulis, dan riset dengan bahan yang cukup. Saya tidak tahu kapan negeri ini bisa memenuhi itu semua. Perpustakaan di perguruan tinggi Amerika itu luar biasa.
HAMID: Buku apa yang Anda tulis?
ULIL: Saya menulis semacam metode penafsiran ala Islam liberal. Lebih spesifik penafsiran tentang Alqur’an. Tentu bahan-bahanya tidak semua ada, tapi sebagian yang saya butuhkan bisa tercukupi. Yang paling menyenangkan di sana adalah suasana keilmuan yang sangat kondusif.
HAMID: Apakah Anda tidak kesulitan menulis di Michigan dan Ohio, sebab ahli Islam tidak banyak, bahkan tidak ada. Padahal Anda kan membutuhkan counter part untuk kepentingan penulisan buku ini?
ULIL: Memang, itu yang tidak saya temukan di sana. Tapi ada seorang ahli perbandingan agama, hanya saja fokus studinya bukan tentang Islam, tapi tentang Hindu. Karena saya merasa counter part itu banyak saya temui di Indonesia. Di sana, saya kan menemukan dan Cuma butuh tempat yang enak untuk menulis dan membaca saja. Sekarang buku itu sudah selesai sekitar enam puluh persen.
HAMID: Selama ini Anda kan dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat kontroversial, sampai-sampai difatwa mati. Apakah proyek buku itu menjadi kelanjutan pemikiran Anda secara utuh?
ULIL: Inginnya sih begitu. Tapi kalau sekarang saya buka seluruh isinya, tentu akan membuat buku itu tidak menarik lagi. Tidak surprise. Tapi secara umum, salah satu aspek yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca adalah bahwa Alqur’an sebagai kitab suci, hanya salah satu kitab suci saja. Bukan satu-satunya kitab suci di dunia ini. Itu saya kira aspek yang dilupakan oleh banyak orang; bahwa Alqur’an adalah scripture among sciptures, dia adalah kitab suci di antara kitab suci yang banyak. Dan wahyu yang dibukukan dalam Alqur’an sebenarnya adalah revelation among revelations, wahyu di antara wahyu yang lain. Dan orang Islam saya kira layak untuk belajar jenis-jenis wahyu yang lain.
HAMID: Maksudnya?
ULIL: Menurut saya, hampir semua kitab suci itu bermuatan mukjizat. Selama ini orang Islam hanya menganggap bahwa mukjizat terbatas pada Alqur’an saja. Saya tentu sangat percaya bahwa Alqur’an adalah mukjizat dan hebat. Tapi bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. Setelah saya membaca studi perbandingan mengenai kitab suci yang lain, saya menemukan bahwa hampir semua kitab suci adalah indah, mukjizat dan mengagumkan. Bagi saya, orang Islam perlu meletakkan kitab sucinya dalam kerangka mukjizat yang luas ini.
HAMID: Lantas bagaimana dengan klaim tentang keaslian kitab suci Alqur’an yang hanya terbatas pada Alqur’an saja?
ULIL: Kita harus meninjau ulang konsep atau gagasan tentang keaslian kitab suci. Bagi saya, semua kitab suci adalah asli. Tapi harus diingat bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, tidak ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi besar, sebesar tanaman seumur 50 tahun. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase bayi, remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah manusia yang langsung jadi. Ketika kita melihat Alqur’an, Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua itu adalah kitab suci yang tumbuh. Kalau kita sebut asli bagaimana? Semua kitab suci adalah asli; semua kitab suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi dia berubah atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.
Memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci di luar Islam itu diselewengkan. Tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an dengan ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan isinya atau intinya, atau diselewengkan pada tingkat pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat pelaksanaanya, Alqur’an pun diselewengkan.
HAMID: Atau dalam istilah Alqur’annya tahrîf.
ULIL: Ya, istilahnya tahrîf. Saya kira terlalu teknis kalau saya bicarakan hal ini terlalu mendalam. Tapi intinya, saya kira banyak orang Islam yang salah memahami makna tahrîf itu. Mereka percaya, seoalah-olah proses turunnya kitab Injil dan Taurat itu sama dengan Alqur’an; melalui proses pewahyuan kepada nabi dan dicatat. Injil bukan begitu proses turunnya. Sebab, Nabi Isa tidak pernah menerima wahyu seperti Nabi Muhammad menerimanya. Jadi konsep wahyu dalam Injil itu berbeda dengan dalam Alqur’an.
Yang ingin saya tekankan dalam buku saya nanti adalah, seyogyanya orang Islam memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala Yahudi, dan lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda konteksnya, dan dinilai berdasarkan penilaiannya sendiri-sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair.
HAMID: Menurut Anda, bagaimana memahami konsep wahyu dalam agama Kristen misalnya?
ULIL: Saya tidak ingin masuk dalam detail-detail agama Kristen. Tapi intinya, banyak hal yang indah, baik, dan mengagumkan yang saya temui dalam semua kitab suci. Saya membaca Injil dan menikmati sekali. Saya menyukai beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti khotbah di atas bukit. Dalam Perjanjian Lama, pasti semua orang menyukai kidung agung the song of Solomon; kisah cinta dalam bentuk yang lembut, subtil, dan indah sekali. Intinya, semua kitab suci itu mukjizat dari berbagai seginya.
Misalnya lagi, kehebatan kitab-kitab suci di luar Alqur’an seperti Veda, salah satu kitab suci yang paling tua dari India. Inilah kitab yang selama ribuan tahun tidak pernah ditulis; sebuah kitab suci yang proses transmisinya dari satu generasi ke genarasi yang lain melalui kisah. Istilahnya, dalam studi-studi kitab suci melalui suara. Jadi ini kitab suci yang auditif, dikisahkan secara oral, dari satu generasi ke genarsi berikutnya. Kitab ini baru ditulis pada abad XIX oleh sarjana Eropa bernama Friedrich Max Muller, bukan oleh orang India sendiri. Dia yang menulis dan mengodifikasi kitab Veda. Yang mengherankan, selama ribuan tahun kitab ini tidak pernah ditulis tapi tetap terjaga. Dan tidak hilang. Banyak hal dalam tradisi oral yang hilang, tapi Veda tidak hilang.
Jadi menurut saya, ayat dalam Alqur’an yang berbunyi, innâ nahnu nazzalnâ al-dzikrâ wa innnâ lahû lahâfidzûn (Aku menurunkan Alqur’an dan Aku juga yang akan menjaganya) itu berlaku untuk semua kitab suci. Berlaku buat Injil, juga Upanishad. Kalau Anda beragama Hindu dan termasuk deretan pengagum Mahatma Gandhi, Anda bisa membaca buku yang dia tulis mengenai Tuhan. Hal ini menarik, karena Gandhi mengemukakan wawasan ketuhanan yang sifatnya universal. Semua agama sama; kitab suci semua hebat. Gandhi mengapresiasi Alqur’an, Injil, Taurat, dan seterusnya.
HAMID: Mungkin kalau banyak orang yang menghormati perbedaan agama secara proporsional, dunia ini akan damai, ya?
ULIL: Yang ideal, kita akan menjumpai situasi yang menyerupai free market of ideas atau free market of scriptures, of revelations, of religions. Pasar bebas kitab-kitab suci.
HAMID: Apa yang mau Anda simpulkan dari kunjungan ke Amerika kemarin?
ULIL: Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai.. JES -+- US
Langganan:
Postingan (Atom)